7. A Naive Girl

1280 Words
Chapter 7 A Naive Girl Sunshine memasuki kamar di mana Lexy masih terbaring, ia menghentikan langkahnya karena mendapati Jessie berada di sana. Sesuatu yang asing karena Jessie sangat jarang meluangkan waktunya untuk datang ke rumah sakit meski kakaknya telah berbulan-bulan berada di sana. Sederhana saja, ia beralasan aroma desinfektan di rumah sakit sangat mengganggunya. "Jessie," desah Sunshine seraya melangkah mendekati Jessie yang duduk di tepi ranjang pasien. "Aku tidak tahu jika kau di sini." Jessie tersenyum seraya mengulurkan satu tangannya ke arah Sunshine. "Aku merindukan kalian." Sunshine juga tersenyum, ia menyambut uluran tangan Jessie. "Kau rindu padaku?" "Ya." Jessie mengangguk-angguk. Ia menyatukan tangan Sunshine dan Lexy. Mereka baru bertemu kemarin dan Jessie mengatakan merindukannya, sedikit janggal menurut Sunshine karena mereka pernah tidak bertemu selama hampir satu tahun meski tinggal di satu kota. Dan Jessie tidak merindukannya. Tidak mengatakan merindukannya, tepatnya begitu. "Apa ibuku memberitahu kabar terbaru Lexy padamu?" Sunshine meremas telapak tangan Lexy, ia menatap Lexy yang terpejam. "Tidak, aku belum bertemu Yang Mulia akhir-akhir ini." "Dokter mengatakan jika catatan medis Lexy mengalami banyak kemajuan." Sunshine mengalihkan pandangannya kepada Jessie, matanya berpendar oleh harapan. "Berita baik." Jessie menggelengkan kepalanya membuat Sunshine sedikit bingung. Catatan medis Lexy mengalami kemajuan, seharusnya itu menjadi berita baik. "Kakakku sudah terbangun," ucap Jessie. "Terbangun?" Tetapi, hampir setiap hari ia menjenguk Lexy, tunangannya masih dalam kondisi yang sama. Sunshine semakin bingung. Jessie meremas tangan Sunshine yang berada di atas telapak tangan Lexy, tatapan matanya lembut menatap wajah kakaknya yang terlihat seperti sedang tidur nyenyak. "Aku perlu berbicara denganmu," ucap Jessie. "Tidak di sini maksudku." Ia beringsut turun dari ranjang pasien dan mengajak Sunshine keluar dari ruangan. Mereka berdua duduk di atas bangunan rumah sakit. Cuaca siang itu lumayan terik membuat Jessie menurunkan kaca mata yang berada di atas kepalanya, meletakkan ke hidungnya. Di sebuah bangku yang terbuat dari besi, Jessie dan Sunshine duduk bersebelahan. Angin cukup kencang membuat Sunshine menggulung rambutnya yang panjang. Seperti Jessie, ia juga mengenakan kaca mata hitamnya untuk melindungi matanya. "Dokter mengidentifikasi jika Lexy telah bangun," ucap Jessie terdengar murung. "Tapi, Lexy masih tertidur. Maksudku, aku tidak mengerti dengan definisi bangun untuk kondisi Lexy." "Pendengarannya berfungsi, ia merespons saat dokter melakukan beberapa tes tadi pagi." "Jadi Lexy akan segera bangun?" tanya Sunshine terdengar penuh antusias, pendar di mata gadis itu juga berkilat di balik kaca mata hitamnya. Jessie menggeleng. "Kemungkinan ia bangun masih kecil dan yang lebih mengerikan adalah ingatan Lexy mungkin terhapus sebagian karena benturan yang menyebabkan kerusakan otak." Pendar harapan di mata Sunshine meredup seketika. "Maksudnya?" tanyanya lirih, suaranya nyaris tersekat di tenggorokan. Jessie menghela napas dalam-dalam. "Lexy mungkin akan melupakan kita." Kita. Sepertinya kata itu tidak tepat karena Sunshine merasa tidak termasuk di dalamnya, tidak ada Sunshine di dalam daftar orang-orang penting bagi Lexy. Namun, membayangkan Lexy hidup tanpa ingatan membuat Sunshine merasa cemas, juga prihatin meski itu baru kemungkinan. "Kuharap, Lexy tidak kehilangan ingatannya." Walaupun jika ia tidak kehilangan ingatan, Lexy tidak akan mengingatku. Tidak ada apa pun tentangku yang indah untuk dikenang dan diingat oleh Lexy. "Ya. Dan ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu." Jessie berdiri di depan Sunshine. Menggunakan jari telunjuknya, ia menarik kecamatannya ke sedikit ke bawah. "Aku ingin kau menjauhi sahabatmu itu." Sunshine memindah kacamatanya ke atas kepala. "Siapa maksudmu?" "Yang kemarin bersamamu di cafe." Jessie sepertinya tidak sudi menyebut namanya. "Poppy?" "Terserah siapa namanya, aku tidak peduli," sahut Jessie ketus. Sunshine menghela napas. Mungkinkah kemarin Poppy tiba-tiba pergi tanpa menunggunya kembali dari toilet karena Jessie? "Yang kau pikirkan benar." Sunshine mengerutkan kedua alisnya karena Jessie bisa membaca pikirannya. "Kau bisa membaca pikiranku?" "Aku bukan Gipsy, tapi yang jelas aku tidak salah membaca pikiranmu. Ini demi kebaikanmu dan Lexy, jauhi temanmu itu. Ini perintah dari Tuan Putri," ucap Jessie sungguh-sungguh dengan nada memerintah. Sunshine tersenyum. "Apa Poppy berlaku kurang sopan padamu kemarin?" tanyanya dengan nada sangat sopan dan lembut. Jessie berkacak pinggang. "Jangan sebut namanya di depanku, aku muak mendengarnya." Sunshine menelan ludah, ia tidak berniat melanjutkan pembicaraan tentang Poppy lagi. Tetapi, Jessie belum selesai. "Dengar, kau adalah calon Anggota keluarga kami. Kau, Ratu masa depan negara ini. Kau tidak pantas bergaul dengannya." Sepanjang pendidikan yang ia terima, Sunshine tidak pernah diajarkan untuk memilih teman berdasarkan tingkat sosial. Ia tidak sepaham dengan Jessie tentu saja tetapi ia tidak ingin berdebat. Ia memilih untuk tidak menanggapi ucapan Jessie agar tidak memantik api perdebatan. Jessie mendengus. "Sunny, jangan berpura-pura naif. Jangan menabahkan diri hanya karena dia temanmu. Dia tidak pantas mendapatkan simpatimu, apa lagi kebaikanmu." "Aku tidak mengerti maksudmu," ucap Sunshine terdengar sungguh-sungguh. "Aku tahu bagaimana hubunganmu dengan Lexy yang sebenarnya. Kalian penuh sandiwara." Jessie menatap mata Sunshine. "Aku ingin kau mendapatkan hati kakakku. Bagaimana pun caranya, hanya kau yang pantas untuknya." *** "Bisakah kau duduk sendiri, sayangku?" Beck bertanya kepada Charlotte yang sangat mengganggu konsentrasinya. Charlotte memajukan bibirnya. Ia menggoyangkan tangkai anggur di tangannya di depan wajahnya. "Aku sedang menikmati anggurku, apa ada yang salah?" "Jauhkan tanganmu, Sayang." "Tanganku?" "Ya." "Beck, apa aku tidak penting? Apa pekerjaanmu lebih penting?" Beck menghela napas menata kesabarannya. "Kau lebih penting." "Melebihi apa pun?" "Apa aku harus menjawab pertanyaan yang sudah pasti jawabannya?" "Kalau begitu biarkan aku menikmati anggurku." Beck menjauhkan laptop yang diletakkan di atas paha kanannya lalu menggeser Charlotte yang duduk di samping, mendudukkannya ke pangkuannya. Menatap Charlotte dengan tatapan gemas. "Anggur apa yang kau nikmati? Mmm?" Charlotte menyeringai. "Anggur di tangan kiriku dan...." "Dan?" Beck menaikkan sebelah alisnya. "Dan hasrat calon suamiku di tangan kananku." Sejak calon istrinya bergabung di sebelahnya, Charlotte memasukkan satu tangannya ke dalam celana kain Beck dan memijat Beck dengan gerakan nakal. Menggoda Beck hingga konsentrasinya pada pekerjaan yang harus segera diselesaikan terbelah menjadi ribuan keping. Padahal lusa adalah hari pernikahan mereka. "Gadis Nakal," geram Beck. Ia menggigit bagian pundak gaun tidur Charlotte dan menurunkannya hingga membuat d**a Charlotte yang indah terekspos sempurna karena tidak mengenakan bra. Charlotte tertawa senang. "Aku harus menyelesaikan pekerjaan sebelum pernikahan kita, tetapi sepertinya aku memang harus menyelesaikanmu terlebih dulu." Beck menjilat puncak d**a Charlotte yang seolah menantinya, memohon untuk dijamah. "Beck...." Charlotte mengerang. "Bagaimana pekerjaanmu?" Itu hanya pemanis karena faktanya jari-jarinya menyelisik di antara rambut Beck, ia menekan kepala Beck seraya membusungkan dadanya. Menikmati lidah Beck yang menggoda puncak dadanya. Meski bel pintu tempat tinggal mereka berbunyi, Charlotte sama sekali tidak berniat menjauhkan Beck dari dirinya. "Kurasa tamu kita bisa menunggu atau bisa datang lain kali," ujar Charlotte. Ia melepaskan celana dalam yang ia kenakan lalu melucuti pakaian Beck. Beck memosisikan Charlotte di atasnya, dengan posisi duduk di sofa ia menikmati percintaannya dengan Charlotte, melupakan jika bel pintu rumahnya berulang kali berbunyi. Hasratnya kepada Charlotte jauh lebih besar dibandingkan hasrat ingin tahunya terhadap siapa yang menekan bel pintu rumahnya. Yang jelas, ia akan memecat penjaga gerbang rumahnya karena membiarkan orang mengganggu kesenangannya. Tidak lagi memiliki asisten rumah tangga seperti ide Nick dan Vanilla memang menyenangkan, ia dan Charlotte bebas bercinta di mana pun dan kapan pun di dalam rumahnya. Tetapi, saat seperti ini, ia memerlukan asisten rumah tangga untuk menghentikan tamu itu menekan bel. Ketika bel pintu sekali lagi berbunyi, Charlotte mengumpat, "Sial! Apa dia tidak bisa menunggu?" "Sepertinya kita harus menjeda ini." "Aku tidak akan memaafkan pengganggu itu." "Aku juga tidak, tapi yang terbaik sepertinya kita menyelesaikannya dulu agar tamu kita mendapatkan pelajaran." Keduanya sepakat menyelesaikan tanpa mempercepat permainan mereka, Beck mengimbangi gerakan tarian pinggul Charlotte, membiarkan calon istrinya yang sedang mengandung calon buah hatinya memimpin permainan hingga Charlotte selesai dan ia mengambil alih kendali. Setelah mengenakan pakaian, Beck berjalan menuju pintu diikuti oleh Charlotte. Ketika Beck menarik gagang pintu, detak jantungnya nyaris terhenti mendapati Sophie berdiri di depan pintu rumahnya dengan perut yang terlihat buncit. Bersambung.... Jangan lupa untuk tinggalkan komentar dan RATE! Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis. ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD