Irfan mau tidak mau langsung mengajak Timo membicarakan tentang Hesti.
“Ya, sore ini dia lebih berani,” ujar Timo, tidak peduli Numa mendengarnya. Lagi pula dia sudah menjelaskan ke Numa, bahwa dia hanya mencintai Numa dan tidak akan menjalin hubungan dengan siapapun kecuali Numa. Terlebih, dia sudah memberikan kesenangan ke gadis itu.
Numa sudah selesai mencuci piring, dia pikir bahwa lebih baik pergi, agar papa dan Timo lebih leluasa berbincang. Lagi pula, dia yakin Timo pasti akan melapor jika ditanya.
“Hei, nggak sapa om Timo dulu?” ujar Irfan tiba-tiba.
“Oh.” Numa pura-pura segan, dia mendekati Timo dan menyalaminya, juga mencium punggung tangan Timo.
Irfan tersenyum lebar melihat sikap Numa yang lebih sopan dari pada sebelumnya di depan Timo.
Numa dan Timo saling pandang beberapa saat, dan Numa tampak mengulum senyum. Dia bergegas pergi dari dapur, merasa tidak perlu mendengar pembicaraan Timo dan papanya.
“Dia sudah menawarkan hidup bersama, dan aku tetap dengan keputusanku,” ujar Timo.
Irfan terkekeh, yakin mantan istrinya itu tidak akan menyerah untuk mendekati Timo.
“Ketika aku menyinggung hubungannya dengan Numa, dia cepat-cepat pergi.”
“Dia begitu kalo terpojok, aku nggak heran.”
Timo menggeleng tertawa. “Aku bahkan menyuruhnya untuk rujuk denganmu. Ya, demi anak-anak kalian.”
Irfan menggeleng dengan bibir mencebik. “Dia sekarang menginginkanmu.”
“Siapa tahu dia berubah lagi, menginginkan kamu, menyadari bahwa kamu adalah pria yang selama ini sangat mencintainya.”
Irfan lagi-lagi menggeleng. “Setelah dia berselingkuh dariku?”
“Siapa selingkuhannya?”
“Brondong muda, bawahannya di kantor.”
“Astaga.” Timo tertawa kecil, membayangkan Hesti yang mempermainkan perasaan Irfan.
“Ya, aku sebenarnya nggak pantas menyuruh kamu dekat dengan si pengkhianat itu. Tapi yang menjadi pertimbanganku adalah keadaanmu, Timo. Itu saja dan tidak ada yang lain. Posisi kamu sulit, kamu sudah dibenci keluargamu dan keluarga Astrid dan sulit bertemu lagi, meskipun aku yakin Astrid menyesal. Lagi pula, Hesti akhir-akhir ini berubah, dia lebih fokus mengurus bisnis dan aku nggak pernah lagi mendengar kabar aneh-aneh tentangnya. Entahlah, aku yakin dia akan lebih baik jika menikah denganmu.”
“Ah, Astrid, dia minggu ini akan menikah.” Timo tiba-tiba terlihat lemas dan tidak berdaya, saat Irfan menyinggung Astrid.
“Aku diundang,” ujar Irfan hati-hati.
Timo tidak heran Irfan diundang, beberapa mobil berat perusahaan mantan mertuanya itu mendapat perawatan tetap di bengkel Irfan.
“Kamu nggak diundang?” tanya Irfan.
“Aku memintanya untuk tidak mengundangku.”
Bagaimanapun, Timo tetap merasa sedih karena mantan istrinya yang segera menikah. Terutama memikirkan putra kesayangannya. Dia berharap putranya dirawat dengan baik oleh papa barunya, meskipun dia tidak begitu yakin, karena dia tidak begitu mengenal dekat watak Simon.
Timo tiba-tiba tertawa, seolah mengingat sesuatu.
“Ada apa, Timo?” tanya Irfan heran.
“Nggak, aku hanya mengingat Hesti yang tidak ingin dilihat kamu.”
“Maksudnya?”
“Dia tidak mau kedatangannya ke rumah ini dilihat kamu. Ah, lucu saja.”
“Ya, begitulah. Hesti tetap Hesti. Dan dia sungguh-sungguh denganmu. Tapi … ya terserah kamu, Timo.”
“Tentu saja terserah diriku. Aku yang berhak menentukan nasib hidupku,” ujar Timo, menatap tajam Irfan, tapi pikirannya tertuju ke sosok Numa.
Irfan mengangguk tersenyum. Sebenarnya dia sudah tidak mau menyinggung Hesti di depan Timo, tapi malam ini justru Timo yang memulai, melapor kepadanya tentang kedatangan Hesti sore tadi.
***
Timo sudah kembali ke kamar, dia mengambil ponsel dan melihat dua panggilan tidak terjawab dari Numa.
Timo merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, menghubungi Numa.
“Halo, Om.”
Kali ini suara Numa terdengar ceria.
Timo tersenyum, tahu apa yang membuat suara Numa ceria.
“Kamu mau tahu saja urusan orang,” decak Timo, mengingat Numa yang sengaja memperlambat cuci piringnya.
“Ih, Om, ‘kan pacarku, ya aku harus tahu dong.”
Timo terkesiap, senang mendengar pengakuan Numa. “Bilang lagi.”
“Apaan?”
“Bilang yang tadi. Aku mau mendengarnya lagi.”
“Apa sih? Aku nggak ngerti.”
Timo berdehem sejenak. “Aku pacar kamu.”
Numa tertawa lepas di ujung sana, dan perasaan Timo sangat bahagia.
“Ketawa, mentang-mentang keenakan tadi.”
“Ih, Om nggak ikhlas ya?”
“Hei, aku bahkan ingin memberi kesenangan untuk kamu setiap saat, dan aku rela melakukannya.”
“Aaa … Om Timooo.” Numa merengek manja, dan Timo tertawa kecil mendengarnya.
“Kenapa? Mau lagi?”
“Iyalah, lagian Om bilang begitu, ‘kan aku jadi kepingin.”
“Nakal.”
“Om Timo yang sudah bikin aku nakal.”
Timo tertawa renyah, senang mendengar keceriaan Numa.
“Seru tadi ya, Om.”
“Ya, kamu suka?”
“He eh. Takut-takut enak.”
“Haha, Numa. Kebayang papa kamu marah banget kalo tahu kamu sudah kelewat nakal.”
“Alah, paling Om yang nanti ditinju papaku nanti.”
“Kamu mau ya Om ditinju di muka sama papa kamu?” Timo berpura-pura merengek.
“Nggaklah. Makanya harus pintar-pintar cari momen.”
Timo tertawa kecil, merasa lucu dengan Numa. “Daniel pernah ke kamar kamu?” tanyanya. Entah kenapa dia tiba-tiba tergerak bertanya soal Daniel.
“Ih, Om cemburu ya kalo aku bilang Daniel pernah ke kamarku.”
“Ya, aku cemburulah.”
“Haha, dia pernah sih. Tapi nggak sampe pegang-pegang.”
“Ngapain dia ke kamar kamu? Nginap?”
“Nggak! Kebetulan dia nganter aku pulang, terus aku ajak ke dalam rumah, dia pingin tahu kamarku dan aku biarin dia masuk.”
“Papa kamu lagi nggak ada di rumah juga waktu itu?”
“Ya, dia sedang di luar.”
Timo mengerutkan dahinya. “Numa.”
“Ya?”
“Apa di rumah ada kamera?”
“Ada.”
Timo mendadak gelisah.
“Haha, cemas ya? Takut ditinju papa?”
“Ck, aku nggak mau ribut.”
“Salah sendiri maksa masuk.”
“Gara-gara kamu diemin aku.”
“Haha, tenang saja, Om Timo. Kameranya sudah aku atur. Lagian papa juga jarang banget periksa-periksa kamera. Kecuali kalo ada kejadian, maling misalnya, baru dia periksa.”
“Memang pernah kehilangan?”
“Iya, dulu papa pernah kehilangan jam tangan, dan ternyata setelah dilihat di cctv, pembantu rumah tangga yang baru yang ambil. Setelah itu, papa nggak mau pakai pembantu, dia lebih suka pakai jasa harian atau mingguan … lebih bertanggung jawab.”
Timo merasa tenang dengan kata-kata Numa. “Aku … jadi rindu kamu, Sayang.”
“Aku juga rindu Om Timo. Aku tenang banget kalo dipeluk Om Timo.”
“Nanti aku peluk lagi.”
“Sampai aku puas ya, Om?”
“Ya.”
Terdengar helaan napas Numa di telinga Timo.
“Aku sayang kamu, Numa.”
“Aku juga sayang om Timo.”
Timo merasakan ketenangan luar biasa malam ini, yakin hari-hari esok akan lebih indah.
Bersambung