Bab 6

1641 Words
GRACE  -- Ada beberapa hal yang tidak bisa kumengerti di antaranya betapa penuh dan sesaknya toko peralatan itu. Aku menunggu selama hampir satu jam, berbaris di bagian tengah dan mengantre untuk membayar semua barang yang kubeli. Catatan yang dibuat Sean lebih mirip daftar kebutuhan pokok selama satu tahun. Ada begitu banyak hal yang harus dibeli dan dia menggunakan beberapa istilah khusus untuk perkakas yang tidak bisa aku mengerti. Akibatnya, aku terpaksa meminta bantuan petugas toko untuk menemukan semua alat yang dimaksud itu. Petugas toko yang melayaniku masih cukup muda. Ia pria berkulit bersih dengan sepasang mata hitam yang suka menyipit. Wajahnya tampak muram dan dia tampak tidak begitu senang ketika pekerjaannya diganggu. Sekilas aku melirik ke papan nama kecil di seragamnya: Timothy. Aku bermaksud untuk bertanya apa itu nama panggilannya atau hanya itu namanya, tapi aku menggigit bibir dan mengurung niat itu begitu Timothy menunjuk ke arah meja kasir dimana dua pria berwajah masam lainnya sedang berdiri menghadap ke antrean panjang para pengunjung toko di depannya. “Silakan mengantre disana!” katanya. “Tunggu.. dimana aku bisa menemukan alkohol?” Kedua rahangku mengeras, namun laki-laki itu menanggapinya dengan tidak acuh. “Tidak jual alkohol,” katanya. “Oke..” tapi pria itu sudah berbalik pergi menuju rak perabot. Kini setelah melewati antrean panjang, aku akhirnya bisa membayar barang-barang itu menggunakan kartu kredit yang diberi Sean, kemudian aku pergi dengan cepat meninggalkan toko. Kupikir itu akan menjadi kali terakhir aku berada di sana. Satu jam kemudian, aku memutuskan untuk membeli persediaan alkohol untuk satu minggu kedepan – mungkin beberapa hari. Aku tidak yakin masih memiliki cukup uang untuk membelinya jadi aku menerima tawaran Sean untuk menggunakan kartu kredit itu. Sekurangnya aku membeli tiga botol alkohol, dua di antaranya adalah bourbon, satu yang lain merupakan sejenis anggur merah yang belum pernah kucoba. Kali ini, aku memutuskan untuk berlama-lama di tempat umum. Terkadang, aku suka duduk dan sekadar memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Tidak hanya sekali aku menyaksikan orang-orang yang berdiri di tempat pemberhentian bus. Mereka berdiri dan menunggu kedatangan bus berikutnya. Bahkan rasanya, aku telah mengenali wajah mereka: si pria dengan topi hitam, wanita gemuk dengan tas dan sepatu favoritnya, pasangan muda yang terlihat mesra selama beberapa pekan terkahir, juga Anna. Aku melihatnya berkali-kali, Anna yang mengayunkan tas kecil hitamnya, Anna yang bergerak menyebrangi jalan, Anna yang masuk ke dalam bus bersama kerumunan orang lainnya. Aku bertanya-tanya tentang apa yang dilakukannya di sana, hendak kemana ia pergi dan dimana ia meninggalkan bayi perempuannya. Aku bertanya-tanya apa Ben sedang di rumah, sendirian ketika menjaga bayi mereka? Apa itu kesempatanku? Aku menggigit bibir. Sesekali melirik jam tanganku dan menyadari bahwa wanita itu seharusnya sudah terlihat sepuluh menit yang lalu. Mungkinkah kali ini ia memutuskan untuk tetap tinggal di dalam rumahnya – rumahku – yang nyaman? Atau mungkin aku hanya perlu menunggu lebih lama? Langit nyaris gelap. Kabut hitam tebal menutupinya dan hingga saat itu aku belum menyadari kemunculannya. Mataku menjelajah ke ujung jalan: tepat dimana tiang-tiang berdiri tegak. Lampu lalu lintas baru saja berganti warna merah dan lampu pejalan kaki berubah hijau. Aku melihat dahan-dahan pohon tinggi mengayun seakan sedang melambai ke arahku. Angin bertiup kencang. Seorang wanita tua baru saja masuk ke dalam bangunan bertingkat, kemudian aku melihatnya berdiri di ujung sana; tepat di samping bangku taman. Ia mengenakan mantel coklat dan tas kecil hitamnya yang tampak familier. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai memanjang. Matanya yang suntuk menatapku tajam dan aku berdiri dengan gelagapan hingga wanita itu berbalik dan pergi. Aku bermaksud untuk mengejarnya, tapi kubiarkan dia menghilang di balik tikungan tempat orang-orang berjalan dari arah berlawanan. Aku langsung meraih ponselku, menekan nomor yang kuhafal kemudian mendekatkannya ke telinga. Aku menunggu Ben menjawab panggilanku hingga panggilan itu masuk ke pesan suara dan aku mendesah keras. Anna sudah pergi, entah kemana, tapi dia pergi dari arah datangnya. Tebakanku wanita itu bergerak menuju stasiun. Ia akan menaiki kereta kemudian berjalan satu kilometer untuk sampai di rumahnya – rumahku dan Ben. Wanita itu akan melewati jalur yang sama seperti yang biasa kulewati, duduk di gerbong kereta yang sama seperti yang kutempati selama bertahun-tahun, menuju bangunan bertingkat yang sama seperti yang kutuju selama ini. Aku hendak mengejarnya, menjambaknya, berteriak di depan wajahnya dan memintanya untuk meninggalkan semua itu: rumahku – Ben. Berhenti mengacaukan segalanya, kau p*****r kotor! Tapi aku berbalik, tahu kemana arahku kali ini dan berharap dapat tiba lebih cepat.   ***   Sean sedang berkutat dengan mesin cuci ketika aku menemuinya di dapur. Laki-laki itu hanya menatapku sekilas kemudian melanjutkan pekerjaannya dengan serius. “Tolong letakkan barang-barangnya!” dia menunjuk ke arah meja kayu dan aku menurutinya. “Terima kasih.” Ketika aku berjalan melewati pintu kayu menuju kamarku, aku mendengar laki-laki itu berbicara lagi. “Apa kau membeli alkohol juga?” Aku hendak mengatakan bahwa aku tidak terbiasa minum alkohol pada malam hari, tapi aku menunjuk ke arah plastik hitam di seberang meja. “Oke,” katanya. Ketika laki-laki itu berdiri, aku melihat kaus putih polos yang menempel ketat di tubuhnya membentuk lekukan pinggang ramping dan lengannya yang berotot. Rambut kecoklatannya terlihat lembap dan laki-laki itu tidak lagi berbau rokok, jadi dia pasti baru saja mandi. “Aku berusaha membereskan ini,” Sean berjalan untuk meletakkan perkakasnya di atas nakas kemudian meraih sebotol bourbon dan meneguknya langsung dari sana. “Kelihatannya rusak parah. Mesinnya perlu diganti dan..” “Aku akan menggunakan jasa laundry saja, terima kasih.” Aku menutup kalimatnya dan laki-laki itu mengangguk-anggukan kepala dengan setuju. “Yah.. sudahlah.” Kini ia berjalan menuju lemari pendingin dan mengeluarkan sisa potongan ayam dari dalam sana. “Apa kau biasa melakukan ini?” aku merasa bodoh saat mengatakannya, tapi aku benar-benar tertarik terhadap apa yang biasa dilakukan pria itu. Dari mana ia berasal, apa pekerjaannya. Tess hanya mengatakan ia memiliki sepupu yang sangat menawan, namun sisanya aku tidak benar-benar tahu siapa pria ini. “Ya, terkadang aku memperbaiki mesin. Aku menyewakan jasa perbaikan selama aku tinggal di New York.” “Kau berasal dari New York?” “Keluargaku ada di Boston, aku pergi ke New York untuk menyelesaikan studiku. Hanya beberapa tahun,” Sean meraih pisau dan menggunakannya untuk memotong ayam kemudian melahap potongan besar ayam itu dengan cepat. “Kemudian aku pindah ke London, bekerja di sana dan ada urusan kecil yang harus ku selesaikan di sini.” Aku mengangguk. “Jadi kau akan kembali ke London?” “Ya, untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.” “Kau punya pekerjaan tetap?” “Tidak tetap,” sahutnya. “Traveling, pemandu tur, terkadang memperbaiki mesin, bekerja untuk proyek konstruksi, dan.. masih banyak lagi.” “Oh..” “Bagaimana denganmu? Bagaimana kau dan Tess saling mengenal?” “Kami teman sejak SMA.” Sean mengangguk. “Sudah menikah?” “Sudah berakhir.” “Tidak punya anak?” Aku menatapnya sekilas, merasakan wajahku memanas seketika kemudian kuputuskan untuk berbohong. “Tidak.” “Berapa lama?” “Tujuh tahun.” “Itu waktu yang cukup lama.” “Ya.” “Jadi kau sedang mencari pekerjaan?” “Benar.” “Sudah kau temukan?” “Belum. Umm.. aku berencana untuk bekerja di restoran,” aku berbohong padanya. Entah mengapa, tapi aku tidak ingin laki-laki ini tahu apa yang terjadi. “Itu bagus.” Ketika Sean berjalan ke bak pencuci piring untuk meletakan piring kotornya, aku tidak bisa mencegah diriku untuk memerhatikan punggungnya yang kokoh, atau sepasang lengannya yang berotot. Laki-laki itu tampan, dan ia memiliki tampilan yang berantakan. Wangi tubuhnya juga tidak mencolok seperti Ben dan bila mengingat apa yang dikatakan Tess, usianya lebih muda dariku. Sean masih begitu muda dan segar. Laki-laki itu mungkin berusia sekitar akhir dua puluhan atau tiga puluh tahun dan diusianya yang sekarang, dia mampu melakukan banyak hal. Aku berpikir gadis manapun akan tergila-gila dengannya. Tiba-tiba aku merasa tertarik dengan kehidupannya. Apa dia memiliki kekasih? Seorang teman kencan atau apapun? Apa ketertarikannya dan bagaimana dia menjalani kesehariannya? Tapi sebelum aku sempat bertanya, laki-laki itu melirikku dari atas bahunya. “Oh, Grace! Ada sesuatu yang kulupakan. Aku menerima telepon beberapa jam lalu. Pria ini mencarimu..” “Siapa?” “Aku tidak ingat dia menyebutkan namanya, tapi dia bertanya siapa aku dan bagaimana aku ada di rumahmu. Jadi aku jelaskan padanya bahwa kau tidak sedang berada di rumah dan ini bukan rumah melainkan apartemen,– ” “Itu pasti Ben.” “Benarkah? Apa dia kekasihmu atau..?” “Permisi..” aku pergi meninggalkan Sean untuk sampai di kamarku. Setelah mengunci pintunya dengan rapat, aku segera menyambar ponsel dan menekan nomor telepon Ben. Aku menunggu selama beberapa detik, bergerak mondar mandir di dalam sana dan menunggu. Panggilan pertama tidak di jawab, jadi aku mencoba lagi. Kali ini teleponku tersambung setelah nada dering kelima. Suara Ben muncul persis ketika aku membuka mulut. “Grace? Itu kau?” “Ya. Ini aku. Aku minta maaf aku tidak menjawab teleponmu.. aku serius..” “Siapa pria itu?” “Itu.. dia.. bukan siapapun.” “Terserah. Dengar, Grace! Aku katakan padamu, aku serius tentang ini, tapi bisakah kau berhenti menganggu Anna? Dia tidak suka kau melakukannya. Berhenti mengirim pesan dan berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, oke? Semua sudah berakhir, tidak ada yang perlu diperbaiki. Aku sudah selesai denganmu.” “Tidak!” Aku bisa merasakan kedua mataku menyengat dan air mataku terancam akan merebak. Kugenggam ponsel itu erat-erat, kemudian kutatap barisan tiang lampu jalanan melalui jendela. Lampu ruang tengah Mrs. Wisherman masih menyala. Wanita itu sedang berdiri di depan rak kecil dan merapikan pakaiannya. Pikiranku kacau, satu hal yang melintas dipikiranku adalah bayangan tentang Anna yang sedang berdiri di dekat bangku taman, sepasang matanya mengawasiku dengan waspada, wanita itu tampak terganggu. “Aku tidak menganggunya..” kataku. “Dia.. dia berbohong. Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang menganggunya.” “Kau mengirim belasan pesan ke ponselku, sialan! Kau mengomentari akun sosialnya dengan kata-kata kotor. Sial! Dia bisa saja melaporkanmu ke polisi. Apa kau tahu apa yang kau lakukan?!” “Aku berusaha berbicara denganmu!” aku berkilah, kali ini aku mengatakan yang sejujurnya tapi aku ragu Ben akan mendengarkanku, Anna sudah memengaruhinya – Anna si s****l k*****t itu! “Sudah cukup! Aku sudah selesai denganmu. Aku tidak akan mengatakannya lagi, jadi.. jauhi Anna! Aku serius.. jika kau mengulanginya lagi, kau tahu apa yang bisa kulakukan padamu Grace.. kau selalu menjadi sumber masalahnya. Jangan salahkan aku!” “Tidak! Ben! Dengar..” Tapi telepon sudah diputus. Aku menatap layar ponsel itu dengan resah. Jari-jariku menekan nomor telepon yang sama, kemudian panggilanku ditolak. Ayolah! Suara ketukan pintu mengejutkanku. Sean meneriakkan sesuatu dari luar sana. “Grace! Apa semuanya baik-baik saja?” Aku tidak menjawab, sembari terus mencoba aku bergerak mondar-mandir di depan jendela. “Aku ingin tahu apa aku bisa menggunakan kabel interkomnya?” “Tidak ada kabel interkom!” aku begitu kesal hingga berteriak ketika menjawabnya. “Tentu saja. Akan kucari.” Hening. Aku menghela nafas ketika mendengar suara bedebum langkah seseorang menuruni tangga. Laki-laki itu sudah pergi, satu masalah hilang.  .. - LAST WITNESS -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD