Karena banyak yang nggak tahu dimana sih klik love itu?
Jangan lupa Klik tanda bentuk jantung terlebih dulu sampai berubah jadi warna putih, untuk pengguna Handphone agar masuk ke dalam library kalian
Untuk pengguna komputer cukup klik tulisan ADD menjadi ADDED yaa :D
Nikmati dan jangan lupa Appreciate juga karyaku yaa , Terimakasih:*
Selamat membaca :)
{ 04 }
.
.
.
Lima Tahun Kemudian-
Suara-suara kecil memenuhi seluruh isi rumah. Tawa, dan derap kaki mengiringi. Pagi ini kembali mendengarnya, sebuah senyuman terukir di wajah cantik itu. Tangan yang lihai memotong sayuran serta memasukkannya ke dalam panci, suara air yang mengucur, serta uap dan aroma masakan yang perlahan menguar.
Menarik perhatian kedua anak kecil yang tadinya bermain di ruang tamu, mereka berlari kompak menuju dapur. Menemuinya,
Ibu!" Gadis kecil berusia lima tahun, membawa boneka beruang berwarna biru di pelukannya. Rambut pendek bergelombang dengan warna kecoklatan itu bergoyang-goyang, mencuat dari balik tembok. Diikuti kedatangan sang kakak.
"Huoo, Ibu masak apa hari ini?!" Seorang anak kecil laki-laki yang tak kalah bersemangat, dengan umur yang sama namun berbeda selisih tujuh menit berdiri tepat di belakang sang adik. Rambut mangkok berwarna kecoklatannya ikut mencuat dari balik tubuh sang adik.
Kedua anak kecil itu memperhatikan kegiatan ibu mereka, aroma masakan tadi sukses membuat mereka bertambah lapar. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, yang artinya sebentar lagi keduanya bisa mencicipi kembali masakan enak sang ibu.
"Aromanya enak!" Gadis kecil itu terkikik, berjalan menghampiri ibunya, berdiri di samping dan menengadahkan wajah. Melihat wanita cantik berambut kecoklatan pendek itu menatapnya dengan senyuman.
"Tunggu sebentar lagi, masakan Ibu sudah hampir selesai," Dengan lihai membalikkan telur gulung buatannya di atas wajan panas.
"Yei, telur gulung! Ella, suka!" seru gadis kecil itu riang, sambal menari-nari di tempat. Mengangkat ke atas boneka di dalam pelukannya. Adara Fredella, kalian boleh memanggilnya Ella, berlari mendekati sang kakak.
Rambut mangkok pendek itu menjadi ciri khas sosok laki-laki mungil penghuni rumah ini. Alvaro Argi Naruna.
"Ayo kita bantu Ibu," Berbisik kecil pada Argi.
"Ayo!" Kedua anak itu langsung berlari menuju rak piring dimana peralatan makan tersedia. Sang kakak berinisiatif menjinjitkan kedua kaki guna mengambil tiga buah piring untuk mereka. Berniat untuk membantu ibu mereka.
"Ugh! Sedikit lagi!" Mengerang tertahan, berusaha mengambil piring yang terletak jauh dari jangkauan tangannya.
Ella hanya bisa mengedipkan kedua manik polos, jemari mungil itu masih setia menggenggam erat baju milik sang kakak.
"Ada apa Kak?" tanya Ella cepat, saat melihat wajah kesusahan laki-laki kecil di sampingnya.
"Ugh, Kakak tidak bisa mengambil piringnya. Mereka jauh se---kali!" Jemari itu tanpa sadar menggenggam ujung dari rak piring tersebut, membuat sedikit goyangan di sana. Membawa beban tubuh mungil itu melawan gravitasi, dan terus bergoyang.
"Sedikit la-Eh!" Rak piring di hadapannya sudah tidak mampu menahan berat badan laki-laki kecil itu, membuat benda di depannya oleng, berderit keras hendak terjatuh,
"Uwaa!" Kedua anak kecil itu berteriak, Ella menutup kedua mata. Sementara sang kakak melindungi adiknya sigap, ketakutan memeluk Ella. Bersiap menerima benda besar itu menimpa dia.
"Argi, Ella!" Sebelum akhirnya suara teriakan ibu mereka menggema keras. Beriringan dengan kedua tangan yang sigap menghentikan jatuhnya rak piring dalam sekejap. Berhasil menyelamatkan kedua anaknya. Tidak ada suara piring pecah, teriakan sakit, dan tangisan.
Helaan napas panjang keluar dari bibir wanita itu. Ari, menatap cemas ke arah putra dan putrinya yang kini tengah berpelukan erat, mereka gemetar. Masih tidak mau memalingkan wajah karena takut.
Kedua maniknya yang semula panik kini berubah teduh, mengembalikan keadaan rak piring seperti biasa. Mengangkat kedua tangan menyentuh puncak kepala kedua anaknya lembut.
"Ella, Argi, kalian tidak apa-apa?" Mencoba menenangkan mereka berdua. Sampai akhirnya kedua anak kecil itu sedikit ragu menengadahkan wajah.
"I-Ibu?" Pemuda kecil itu menatap sang ibu, disertai air mata yang tertahan masih memeluk adiknya. Sedangkan Ella sendiri masih membenamkan wajah di d**a Argi, memeluk erat bonekanya.
"Ibu, Ella takut, tadi rak piringnya hampir jatuh, kak Argi coba lindungi Ella," Sesenggukan perlahan tubuh mungil itu bergerak memeluk Ari mengeratkan jemari kecil pada bajunya. Menangis takut, kejadian tadi memang sedikit mengagetkan mereka berdua.
"Ma-maafkan aku Ibu, tadi aku hampir membuat Ella terluka, padahal kami hanya ingin membantumu." Argi menunduk dalam, mengepalkan kedua tangan kuat.
Menggeleng pelan, kedua tangan Ari dengan sigap menarik lebih dalam tubuh kedua anaknya. "Ssh, tidak apa-apa, Ibu malah bangga karena kau mau melindungi adikmu."
"Tapi-"
"Lain kali jika ingin membantu Ibu, kalian harus bilang terlebih dahulu, oke? Karena Ibu akan meminta bantuan kalian untuk membersihkan mainan yang masih berserakan di ruang tamu." Tersenyum kecil, menjawil kedua hidung Ella serta Argi bersamaan. Membuat mereka terkikik geli. Menghapus air mata di wajah anak-anaknya lembut.
"Sekarang bisakah kalian membantu Ibu untuk membersihkan mainan di sana, setelah itu kita makan malam bersama~" Mengedipkan salah satu mata, dijawab anggukan cepat kedua putra putrinya.
"Oke, Bu!" seru mereka kompak, perlahan mereka melepaskan pelukan sang ibu.
"Kami menyayangimu, Ibu!" Mencium kedua pipi Ari bersamaan. Derap langkah kembali terdengar menjauh dari dapur, disertai tawa kecil yang membahana untuk kesekian kali.
Meninggalkan wanita berambut pendek itu dalam posisinya, terdiam membeku sesaat. Sampai akhirnya sebuah senyum pedih terlihat di wajah cantik Ari.
"Ibu, juga menyayangi kalian berdua~" ujar Ari lirih, kembali bangkit dari posisinya tadi. Melanjutkan aktivitasnya tadi.
.
.
.
Hari ini salju turun dengan lebat, malam hari membuat udara terasa sangat dingin. Hembusan udara yang terlihat bagaikan uap, helaan napas untuk yang kesekian kali Ari lakukan.
Pandangan maniknya terarah ke sebuah jendela kecil di dekat dapur, dengan kedua tangan yang membawa sepiring makanan.
Tatapan pedih itu masih terlihat. Tidak pernah hilang selama lebih dari beberapa tahun yang lalu. Mencari tempat tinggal yang jauh dari Jakarta namun tetap mempunyai koneksi di sana tidaklah mudah.
Apapun yang terjadi, Ari benar-benar tidak ingin meninggalkan ataupun melupakan kota itu. Dirinya masih terikat erat di sana.
"Liam," Gumaman lirih terdengar pelan, seiring dengan hembusan napasnya. Sudah hampir seribu kali Ari mengatakan nama itu berulang kali. Nama yang tidak pernah Ia lupakan. Sampai saat ini.
"Apa kau masih mengingatku? Sejak kejadian itu?" tanya Ari entah pada siapa, tapi yang pasti suara itu terdengar menyesakkan. Tertahan dan pedih, sulit bagi Ari untuk menahan air mata jatuh dari pelupuknya.
Tidak ada yang menjawab, wajah cantik itu perlahan menunduk, memperhatikan makanan yang Ia bawa. Masih terasa hangat dan aroma yang menguar. Makanan kesukaan anak-anaknya.
Kedua anak kembar namun tidak identik yang Ari lahirkan lima tahun lalu. Terlihat manis dan tampan persis seperti ayah mereka. Terutama Argi, bagaikan kopian Liam, postur wajah, kedua mata Argi sangat mirip dengan Liam sewaktu laki-laki itu kecil.
"Sudah lima tahun lebih aku tidak melihatmu." gumam Ari kembali, memikirkan bagaimana keadaan suaminya tersebut. Apakah Liam sudah makan yang benar? Apa dia sehat-sehat saja? Atau mungkin hal yang lebih mengagetkan, laki-laki itu sudah menemukan pengganti dirinya?
"Mungkin saja," Menghela napas panjang, membayangkan bagaimana suami tercintanya itu menjalin hubungan dengan wanita lain.
Jujur, Ari tidak rela. Dirinya kembali menjadi pembunuh bayaran setelah dua tahun vakum membuatnya tidak sempat untuk melihat keadaan Liam.
Diikuti dengan perjanjian sang ayah dengannya untuk tidak menyentuh laki-laki itu. Dia harus menjaga jarak sekaligus memperhatikan Liam dari jauh.
"Ibu! Kami sudah selesai!"
Pikiran wanita itu langsung buyar saat mendengar teriakan kecil putrinya. Gadis itu memperlihatkan deretan gigi putihnya dan berdiri bangga di samping sang kakak.
"Semua sudah bersih, jendral!" Argi mengangkat tangann seolah memberi penghormatan pada seorang Jendral. Ari tertawa seketika, kegundahannya lenyap,
Ari tersenyum tipis, "Baik-baik, karena kalian sudah membersihkan mainan di ruang tamu. Jadi kita mulai saja makan malamnya,"
"Yeeeii!" Berlari dengan semangat dan duduk dengan rapi, memperhatikan bagaimana Ari menaruh sedikit demi sedikit makanan ke atas meja.
.
.
.
Memperhatikan dengan seksama bagaimana kedua buah hatinya makan dengan lahap. Seulas senyum terlihat. Betapa bahagianya Ari menjadi seorang ibu dari anak-anak yang hebat seperti mereka.
Ella yang penyayang serta manis dan Argi yang mau melindungi adiknya dengan penuh kasih sayang.
Liam tidak dapat melihat mereka tumbuh besar. Bahkan mungkin laki-laki itu tidak tahu kalau ternyata dia kini sudah menjadi seorang ayah. Ayah dari putra dan putri yang sangat hebat.
"Ibu," Panggilan Argi kembali menyentakkan pikiran Ari lagi. "Ya?" Pemuda kecil itu masih asyik menyantap telur gulungnya sejenak, sampai akhirnya berbicara kembali. "Tahun depan kan aku dan Ella ‘kan sudah kelas satu sd."
"Hm, lalu?" Mencoba menyimak perkataan putranya. Memang benar tahun depan Ella dan Argi mulai memasuki jenjang sekolah dasar.
"Jadi kami berdua ingin sekolah di Jakarta, Ibu. Semua teman-teman kami mau sekolah di sana. Kata mereka sekolah di sana itu enak sekali, ada banyak toko mainan, terus taman bermain yang luas dan katanya aku bisa liat lautan super besar, tidak seperti di sini." Berbicara panjang lebar, diikuti gerakan tangannya yang melebar dan terangkat tinggi.
Lautan? Daerah Jakarta malah cenderung sesak dan penuh dengan lautan orang di sana. Kenapa Argi dan Ella tiba-tiba tertarik? Memang Jakarta itu lengkap, semua ada.
Pemuda kecil itu terlihat bersemangat, menatap adiknya yang setuju. "Iya, Ibu. Katanya di sana juga ada taman bunga matahari yang indah sekali!" Sang gadis kecil ikut mengangkat tangan. Berharap kalau ibunya mau mendengarkan dan memenuhi permintaan mereka.
Tanpa kedua anaknya tahu, tubuh Ari menegang, wanita itu terdiam lama. Tidak menyangka kalau pembicaraan kedua anaknya akan menyangkut masalah Jakarta.
"Ibu, bagaimana?" Tidak ada jawaban.
"Ibu?" Wajahnya menunduk dalam, panggilan Argi pun Ia abaikan. Bahkan untuk yang kesekian kali, di saat yang bersamaan keduanya kompak berteriak kecil. “Ibu!”
"A-ah! I-iya?" Kedua manik Ari mengerjap, sedikit panik mencoba tersenyum. Menyantap sejenak makanan di hadapannya.
"Bagaimana Bu, boleh tidak kita sekolah di Jakarta. Boleh ya?" tanya Argi kembali, mengeluarkan tatapan andalan yang sangat sulit ditolak oleh Ari.
"Tapi sayang, Ibu tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaan Ibu di sini dan pergi ke sana." Mengelak, seolah tidak menerima keputusan anaknya.
Reflek, Ella dan Argi menunduk, memanyunkan bibir mereka, memainkan makanan di hadapannya. Kecewa, Ari tahu kedua anak mungil itu sedih mendengar keputusannya.
Tapi apa boleh buat, Ari masih belum siap untuk bertemu dengan Liam. Wanita ini takut. Ditambah lagi, dengan posisinya yang menjadi seorang pembunuh cukup sulit membuatnya bergerak di sana, mengingat bagaimana keamanan yang beberapa tahun ini semakin meningkat kualitasnya.
Ketiganya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia harus mencari topik yang lain, “Bagaimana kalau kita,” Kata-kata Ari terpotong,
Telepon berdering menyentakkannya, mengganggu suasana. Mendengus kesal, perlahan wanita itu bangkit, seraya tak lupa mengusap lembut kedua puncak kepala buah hatinya.
"Kalian lanjutkan saja makannya, oke~"
Sedikit mendengar rengekan manja keduanya, Ari berpura-pura tidak sadar, "Hum,"
.
.
.
Melangkahkan kaki keluar dari dapur, siapa yang tahu nomor telepon rumahnya. Setahu Ari hanya Bibi Shizu yang tinggal di samping rumahnya-lah yang tahu. Wanita cantik paruh baya yang sering Ia mintai bantuan untuk menjaga Argi dan Ella saat dirinya bekerja.
Mengerutkan kening, melangkahkan kaki waspada, memperhatikan benda yang masih berdering di sana. Sedikit ragu tangannya segera menjangkau telepon itu dan mengangkat perlahan.
Mencoba mencari tahu siapa orang yang menghubunginya, mendiamkan selama beberapa detik,
"Ari, Ayah tahu kau ada di sana." Kedua manik itu membulat sempurna. Mendengar suara sang ayah, setelah sekian lama. Laki-laki yang menjadi ketua dari pekerjaannya ini.
Meskipun Ia sering berhubungan dengan ayahnya, tapi itupun hanya menggunakan ponsel khusus yang sengaja Ia beli untuk bekerja. Ari sama sekali tidak pernah memberikan nomor telepon rumahnya pada sang ayah. Tidak pernah!
"A-Ayah?!" Lalu darimana laki-laki itu tahu?! Suaranya tak ayal bergetar, antara takut dan kaget.
"Kemana saja kau selama dua minggu ini, tidak ada kabar, ayah ingin menyampaikan tugasmu yang selanjutnya." Mengindahkan suara bergetar putrinya. Laki-laki itu langsung masuk ke dalam inti pembicaraannya.
Mencoba menenangkan diri, Ia tidak boleh terlihat takut. Ari adalah pembunuh bayaran professional, dia tidak boleh memperlihatkan ketakutan semudah itu.
Berusaha keras, pandangan yang tadinya membulat kembali meredup, suara yang bergetar kini terdengar stabil.
Menatap ke arah dapur, kedua anaknya masih berada di sana. Ari tidak perlu menyembunyikan identitas aslinya lagi di sini.
Tanpa basa-basi, "Darimana Ayah tahu nomor ini?" tanya wanita itu dingin, rahangnya mengeras saat mendengar suara dengusan dan kekehan remeh dari sang ayah.
"Kau tidak bisa menyembunyikan semuanya dari Ayah, aku sudah tahu semuanya. Selama beberapa tahun ini kau kira Ayah tidak curiga melihat tindak tandukmu yang semakin melemah. Kinerjamu menurun,"
Bertambah tegang, kedua tangan Ari mengepal. Sejauh itukah ayahnya tahu. Wanita itu terdiam,
"Jadi Ayah meminta seseorang untuk menyelidikimu. Apa yang Ayah temukan? Dua bocah kecil yang sangat mirip denganmu? Jangan bercanda, Ari."
Membulat sempurna, tubuh tegang itu perlahan gemetar. Ari tidak tahu kalau dirinya tengah diintai selama ini, dia kira ayahnya tidak akan sadar. Buruk. Sangat buruk.
Ini benar-benar buruk, Ia tidak ingin ayahnya tahu tentang kedua anak kembarnya. Mereka bisa terancam. Kenapa dia seceroboh ini?!
Panik, pikiran wanita cantik itu melayang kemana-mana. Pandangannya tertuju ke arah dapur saat mendengar suara teriakan kecil dan tawa yang keras dari sana.
“Apa yang kau pikirkan, Ari?”
.
.
.
"Kyahaha! Kakak jangan, ahaha Ella geli!" tawa Ella membahana, beriringan dengan gadis kecil itu berlari keluar dari dapur, menghampirinya.
"Ibu, kakak nakal, dia menggelitiki perutku terus!" Tanpa mengetahui situasi, jemari mungil itu menggenggam erat baju ibunya. Mengadu, wajah manis Ella menengadah, hendak meminta gendongan dari sang ibu. "Ibu," Tapi langsung terhenti saat, kedua maniknya menatap wanita berambut pendek itu. Sosok ibunya tengah menatap dingin. Aura yang Ia rasakan saat wanita itu memasak tadi berubah, tidak lagi lembut dan ramah.
Perlahan Ella melepaskan genggamannya, berjalan menjauh serta menunduk takut. Ella benar-benar merasakan perbedaan dari ibunya. Ia takut, tubuh sang gadis mungil gemetar saat merasakan aura dingin itu.
Langsung saja berlari kecil saat mendapati sang kakak hendak menghampirinya dengan tertawa.
"Ella, jangan kabur," Berusaha mengejar adiknya, tapi yang ada. Kedua mata Argi menatap tubuh mungil Ella berjalan ke arahnya, menundukkan wajah dan terlihat gemetar.
"Kakak, Ella takut," gumam Ella pelan, seraya bersembunyi dibalik tubuh kakaknya. Tentu saja Argi kaget, apa yang membuat adiknya takut? Berani sekali!
Menatap tubuh mungil di belakang Argi, "Kenapa? Ada yang menakutimu? Dimana dia?!" teriak sosok kecil itu pelan, saat mendapati jemari mungil Ella terangkat ke arah ibu mereka.
"Ibu?" Membola, terdiam membeku. Memperhatikan bagaimana wanita di sana, terlihat menatap entah kemana, dingin dan aura lembutnya menghilang dalam sekejap. Apa itu ibu mereka?
Takut-takut, perlahan kaki Argi melangkah kembali. Menggenggam erat jemari adiknya. Tangan Argi segera menggenggam tangan sang ibunya.
"Ibu, ada apa?" Dengan suara yang sedikit naik, Ia bertanya. Mengembalikan pikiran Ari yang tadi mematung, kembali tersentak. Mengalihkan maniknya ke arah sumber suara.
"A-ah! Argi, Ella," Kedua anaknya berdiri di sana, menatap Ari penuh rasa takut. Menunduk menggenggam tangannya. Apalagi saat melihat Ella menangis.
Apa yang Ia lakukan?! Panik, tanpa menghiraukan panggilan sang ayah di seberang sana, melepaskan ganggang telepon itu.
Bergerak, segera mensejajarkan diri di hadapan kedua buah hatinya, pandangan dingin itu menghilang. Meleleh digantikan tatapan lembut kembali. Namun tidak menghentikan tangisan Ella.
"E-Ella, kenapa menangis, sayang?" Hendak menyentuh puncak kepala putrinya namun tubuh Argi menghadang Ari, pemuda kecil itu menatapnya tajam.
"Ibu, mana? Ibu kami dimana?!" teriak Argi takut, dengan tubuh gemetar. Membuat Ari semakin kaget.
Seburuk itukah aura yang Ia keluarkan tadi, aura pembunuh professional di hadapan anak kecil berumur lima tahun. Sampai-sampai membuat Argi menganggapnya bukan sang ibu lagi.
"A-apa yang kau katakan Argi, ini ibu kalian tentu saja." Mencoba kembali menyentuh putranya. Tapi kembali ditepis.
"Ibu, kami tidak sedingin itu! Ibu, tidak akan membuat adikku menangis! Ibu, mana, huaaa!" Dengan emosi tidak stabil serta bercampur aduk ketakutan. Air mata Argi akhirnya meleleh, berteriak takut dan menangis kencang. Masih melindungi adiknya.
Sesak, napas Ari tercekat saat mendengar penuturan putranya sendiri. Buah hati kecil yang kini menangis. Gara-gara dia?!
"Huaaa, Ibu mana?! Huaaa! Kenapa ibu menyeramkan sekali!!"
"Huaa, Kakak, Ella takut!!"
Tidak tahu harus apa, ingin memeluk kedua buah hatinya namun mereka ketakutan. Hati Ari bimbang, takut, apa mereka akan membencinya.
Meredup, pandangan itu mengarah ke arah lain. Kedua tangan yang tadi hendak menyentuh kedua anak kecil di hadapannya kini terangkat. Tubuh itu bangkit kembali, menjauhkan dirinya dari Argi dan Ella.
Kedua tangan itu reflek menutupi wajah. Gemetar, takut pada dirinya sendiri. Apa yang Ari lakukan, membuat mereka menangis ketakutan seperti itu.
"Maafkan Ibu, maaf." Ari ikut menangis, terisak. Merutuki tindakan cerobohnya tadi. Berujar maaf berulang kali,
"Maaf. Maaf." Tanpa Ari sadari, mendengar tangisan sang ibu. Kedua anak kecil itu justru saling memandang. Tangisan yang keluar dari bibir mereka perlahan mereda. Menatap wanita di sana menangis dengan tubuh gemetar.
Untuk pertama kali melihat wanita itu menangis, dan nampak rapuh. Ibu mereka,
Tangisan keduanya menghilang, digantikan raut khawatir, mereka saling memandang satu sama lain.
"Maafkan Ibu."
Keempat bola mata itu perlahan panik. Tangisan wanita itu benar-benar menyayat hati. Melihat sang ibu menangis, mereka tidak tega.
"Ibu, jangan menangis." Jemari mungil Ella menggenggam erat baju ibunya, walau masih terasa takut. Berani melangkahkan kaki mendekati wanita itu, keluar dari persembunyian di belakang tubuh Argi.
Argi ikut serta, menggenggam erat baju Ari, "Maafkan kami Ibu, jangan menangis. Maaf sudah membentak Ibu." Menghapus air matanya kuat-kuat saat melihat tangisan sang ibu belum mereda.
"Maafkan Ibu, sayang." Berujar terus menerus, sampai akhirnya tubuh itu merosot jatuh ke lantai. Mendapati pelukan kedua tubuh mungil di kanan dan kirinya.
"Ibu jangan menangis, Ella tidak takut lagi sama Ibu."
"Maafkan kami Ibu, ayo kita makan lagi. Ibu, jangan menangis ya."
Terdiam sesaat, kedua tangan itu perlahan menjauh dari wajahnya. Menatap penuh air mata ke arah dua buah hati Ari.
"Apa Ibu membuat kalian takut?" tanya wanita itu lirih. Argi dan Ella menggeleng kencang-
"Maaf Ibu! Ka-kami hanya takut sedikit saja kok," Hendak melanjutkan kata-kata mereka kompak sebelum kedua tangan Ari menangkup tubuh mereka berdua.
"Ibu mohon, Jangan pernah mengatakan itu lagi," Gemetar mengecup puncak kepala keduanya.
Ella mengangguk kecil, memeluk tubuh hangat itu, sedangkan Argi menenggelamkan wajah di pelukan ibunya.
"Kami janji," Dalam posisi mereka, kedua manik Ari menatap telepon genggam di dekatnya.
Pandangannya menajam sekilas, mengeratkan pelukannya. Kini sang ayah sudah tahu tentang keberadaan putra putrinya, Ia tidak bisa lagi menyembunyikan mereka lebih lama.
"Kalau begitu bagaimana kalau kita lanjutkan lagi makannya. Ibu akan memberikan berita yang menyenangkan."
"Apa, Ibu?" Tangisan keduanya berhenti digantikan pandangan bingung,
Senyum pedih Ari terlihat, "Kita bertiga akan pindah ke Jakarta tahun depan. Sekolah kalian sudah menunggu." Argi dan Ella terdiam sesaat, menyerap semua perkataan ibu mereka.
"Eh?! Benar, Bu?!" Argi berteriak senang,
"Iya, jadi cepatlah kembali makan yang banyak, oke?"
"Hore!" Mereka menari-nari, Ella terkikik senang sedangkan sang kakak berlompatan. Menarik dan berlari mengajak adiknya kembali ke dapur.
Tanpa mengetahui. Pandangan Ari meredup, tubuh yang tadinya terduduk di lantai kini kembali berdiri. Mengambil kembali telepon di hadapannya,
"Aku akan kembali ke Jakarta, tapi jangan pernah menyentuh kedua anakku."
Terdengar tawa puas di seberang sana, "Jawaban yang tepat, Ayah akan menunggumu."
.
.
.
Kembali lagi ke sana, setelah beberapa tahun menjauh. Ditambah lagi dengan beban yang harus Ia pikul. Sendiri.
"Siapa ayahnya?"
"Sudah meninggal, aku membunuhnya. Mereka hanya anak dari hasil pernikahan tidak sah.”
"Ayah, tidak menyangka kalau kau akan membuat kesalahan seperti itu, Ari."
"Ini masalahku Ayah, jadi aku minta agar Ayah tidak menyentuh mereka."
"Apa jaminanmu? Hm, kau masih punya hutang dengan Ayah, Ari. Sampai saat ini kepala kepolisian itu masih hidup, dan Ayah harap kau tahu maksudnya " Seperti dugaan Ari, laki-laki itu tidak akan cuma-cuma mengabulkan permintaannya tanpa imbalan.
"Aku akan membunuhnya, jadi jangan pernah mencari atau menghubungi kedua putra putriku, aku tidak ingin mereka tahu tentang pekerjaanku."
"Tentu."
Kehidupannya di Jakarta kembali berjalan, tugasnya semakin bertambah. Dengan adanya Argi dan Ella, apa Ari bisa menyembunyikan mereka berdua selamanya? Sampai manakah sandiwara ini harus berlangsung.
Ia sangat lelah.
.
.
.
Di Tempat lain-
Kedua manik abu-abu itu memandang ke arah jendela. Pandangannya kosong, duduk di sebuah sofa besar. Mengangkat sebelah kaki dan menghembuskan napas panjang.
'Ari, dimana kau?' Memikirkan seseorang yang tidak pernah berubah. Jemari yang kuat menggenggam sebuah buku besar. Buku yang sengaja Ia buat,
Berisikan tentang catatan criminal, dan kejahatan yang pernah Ia tangkap. Lembaran demi lembaran hampir terisi penuh. Semua penjahat di kota ini.
Termasuk,
"Papa?!" Suara kecil itu mengagetkannya, menyembulkan wajahnya dari balik tembok. Rambut lurus kehitaman terkuncir dua. Anak kecil berumur tiga tahun, dengan kaki mungilnya berlari. Mendekati laki-laki yang kini memperbaiki posisi kembali.
"Hanna?!" Hanna Leteisha, sedikit kaget saat mendapati gadis kecil itu berada di kantornya. Memeluk tubuh mungil yang menubruk tubuh tegapnya. Terkekeh pelan.
"Gadis kecil Papa, kenapa bisa ada di sini?"
"Ehehe, tadi aku kabul dali mama Sofia." Terkikik geli, memeluk tubuh ayahnya. William Aiden Abhivandya, tersenyum lebar. Mengacak rambut Hanna.
"Anak Papa, sudah mulai nakal sekarang, ayo temui mama Sofia nanti dia panik mencarimu." Bangkit seraya menggendong tubuh anak kecil itu.
"Kita makan malam belcama ya cama mama juga?!" Berteriak senang, dan bergoyang2 di dalam pelukan sang ayah.
"Baiklah~"
"Ohh, catu lagi, Papa. Nanti malam mama boleh ‘kan menginap di lumah. Katanya mama ingin mencelitakan dongeng untuk Hanna. Boleh ya?"
Menghela napas panjang, sampai akhirnya mengangguk kecil, "Tentu saja boleh." Berjalan keluar dari ruangan. Menyimpan buku yang sempat Ia genggam di atas meja kembali.
Membiarkan angin malam masuk melalui jendela yang terbuka, menerpa buku perlahan. Membuat suara gesekan lembar demi lembar kertas terlihat.
Catatan criminal. Penangkapan yang pernah Ia capai dan juga sebuah sketsa wajah seorang wanita berambut gelombang, kecoklatan panjang nampak tersenyum manis, serta sketsa wajah yang sama persis namun dengan wajah yang dingin terpampang di sana. Menjalankan semua aksi-aksinya, kejahatan yang pernah Ia capai.
Semuanya,
Tentang,
Ari sebutan saat menjalan. Tanpa marga selama ini.
Istrinya yang kini sudah lama tak Ia temui lagi. Keberadaan yang menghilang, tanpa jejak. Selain kejahatan yang berkali-kali Ia lakukan beberapa tahun ini. Liam merindukan Ari. Sangat.
'Kapan kau akan kembali lagi, Ari?'