{ 05 } Overcome

1692 Words
Karena banyak yang nggak tahu dimana sih klik love itu? Jangan lupa Klik tanda bentuk jantung terlebih dulu sampai berubah jadi warna putih, untuk pengguna Handphone agar masuk ke dalam library kalian  Untuk pengguna komputer cukup klik tulisan ADD menjadi ADDED yaa :D Nikmati dan jangan lupa Appreciate juga karyaku yaa , Terimakasih:* Selamat membaca :)   { 05 }  . . . Desember- Surabaya- Suara jerit, tangisan memohon ampun kini terdengar melolong memenuhi sebuah ruangan. Tidak ada seorang pun yang akan datang menyelamatkan mereka. Ruangan yang gelap, dan kedap suara itu sudah menjadi senjata yang berbalik arah memakan orang-orang di dalam ruangan. “Aku mohon!! Biarkan aku hidup!!!” Kembali lagi sesosok pria tua berbadan besar berlutut di hadapan seorang wanita. Sosok wanita yang berdiri dengan pandangan dingin. Kedua amber keemasan yang menggelap, bibir tanpa sunggingan, dan salah satu tangan yang memegang pisau berlumuran darah. “Sudah kukatakan percuma.” ujar wanita itu singkat, tidak ada rasa belas kasihan. Pekerjaan inilah yang membuat hatinya bertahun-tahun mati. Menjadi pembunuh bayaran memaksa Ia untuk melangkah di jalan penuh darah. Meskipun di usia yang masih tergolong muda, 28 tahun hidup dihabiskan hanya untuk membantai dan membunuh.      “Aku mohon, Nona!! Ada istri dan kedua anakku menunggu di rumah!!” Menangis, kini kedua tangan itu memeluk salah satu kakinya. Pantaskah sosok ini Ia beri ampun, setelah apa yang dilakukan laki-laki itu tadi. Pengedaran narkoba secara diam-diam melalui jalur pasar gelap, menjadikan beberapa remaja sebagai bahan percobaan. Membuat mereka kecanduan sampai akhirnya mau berbuat apapun untuk mendapatkan benda terlarang itu? Bahkan tidak sedikit remaja itu mati karena ketergantungan dan overdosis obat. Pantas-kah? Orang yang menghancurkan masa depan para remaja itu hanya demi uang, Ia ampuni?! Dirinya baru saja membunuh hampir semua laki-laki yang ada di ruangan ini. Setelah melawan beberapa bodyguard di luar sana, dan yang tersisa hanya seorang pria di depannya. Dalang dari penjualbelian narkoba ini. Mendecih samar, sang wanita berambut kecoklatan menendang tubuh besar pria itu. “Jangan menggunakan alasan keluargamu setelah apa yang kau perbuat tadi, b******n sialan?!” Menaikkan suaranya satu oktaf. Tangan yang tadinya memegang pisau tajam sengaja Ia layangkan ke segala arah untuk menghilangkan darah yang masih mengucur dari sana. “Hieeee!! Maaf!! Maafkan aku!!! A-aku janji tidak akan melakukannya lagi!! I-ini kulakukan karena terpaksa! Aku ingin keluargaku hidup berkecukupan, menjual narkoba adalah cara yang paling mudah-” Sebelum melanjutkan kalimat lebih jauh, mengharapkan belas kasihan. “Kubilang berhenti menggunakan alasan sialan itu!!!” Melayangkan kaki ke arah perut pria di hadapan wanitanya. “UAGHHH!!” Menghempaskan tubuh tambun itu, meringkuk menahan rasa sakit di perut. Menangis ketakutan, saat tahu bahwa dirinya akan menghadapi kematian sebentar lagi. Berjalan dengan pelan menghampiri sosok di sana, mensejajarkan tubuh dengan pria itu. Menggerakkan tangannya dan menangkup keras kedua pipi pria di hadapannya. “Kau lihat itu?!!” Menolehkan wajah laki-laki itu dengan paksa, membuat Ia melihat dengan jelas bagaimana lima orang remaja perempuan meringkuk lemah di sudut ruangan, ada yang mengais lantai, ada pula yang mencoba menjilat serbuk-serbuk narkoba yang sengaja orang-orang sialan itu jatuhkan di lantai. Mereka nampak tidak waras, panik bahkan tertawa sendiri. “HIEE!! MAAF!!” “Kau sudah menghancurkan hidup mereka dan sekarang meminta maaf dengan mudahnya?! Kembalikan mereka seperti semula!! Kembalikan masa depan mereka lagi, baru aku akan memaafkanmu, sialan!!”   Kemarahan wanita itu tidak bisa dibendung lagi, memanfaatkan para remaja broken home yang haus kasih sayang, menggunakan segala cara agar mereka bisa lepas dari rasa stress. Tubuh tambun di depannya semakin gemetar, merasakan keanehan saat tenaga mereka berdua nampak berbeda jauh, entah kenapa dia tidak bisa menandingi seorang wanita saja. Apa karena efek ketakutan semata? Hanya kata maaf dan tangisan yang bisa Ia keluarkan. Bagaimana pun caranya dia harus bisa pergi dari sini, melarikan diri atau berhasil membuat wanita di depannya lengah jadi bisa dengan mudah dia bunuh. Setengah ketakutan menunjuk ke arah wanita itu, “Ka-kau juga pembunuh ‘kan?! Jadi sama saja pekerjaanmu itu denganku!! Membunuh dan menghancurkan hidup mereka, itu tidak berbeda jauh!!” Berteriak mengeluarkan suara dengan lantang. Sukses membuat sang empunya terdiam, Wajah itu menunduk, dan tangkupan tangan yang menangkup wajah pria di depannya melonggar. ‘Wanita bodoh!’ Kelengahan yang sukses memberi kesempatan bagi pria tambun itu untuk mengambil sebuah pistol yang berada tak jauh dari posisinya. Tergeletak jatuh karena pergulatan beberapa teman dan bodyguardnya tadi. Mengambil benda itu cepat. Sekarang posisi mereka bisa Ia balik. Di saat wanita itu lengah, dirinya baru saja hendak menarik pelatuk pistol, “Ahahahaha!!!! Wanita bodoh!! Kau pikir bisa membunuh-” Sebelum sebuah benda tajam menancap tepat di jantungnya, memotong kalimat sombong itu seketika. Darah mengucur deras dari arah sana, tepat mengenai wajah wanita yang masih menunduk tadi. “Arghhhh!!!!” Raungan menggema, menjatuhkan pistolnya seketika. Tubuh tambun itu tergeletak di atas lantai, berguling ke kanan dan ke kiri. Menahan sakit, menutup dadanya yang masih mengucurkan darah. “Wanita sialan!!!! Arhhgggg, sakit!!! Sakit!!” Meraung dan menangis, kedua tangannya memegang jantung yang masih tertancap oleh pisau tajam. Merasakan sakit yang amat sangat, sebuah tusukan tanpa ampun yang perlahan menghilangkan kesadarannya. Sedangkan wanita cantik yang masih terdiam di tempatnya, menengadahkan wajah. Mengusap darah yang mengenai pipi, dan tersenyum sinis. “Maaf, pekerjaanku tidak bisa disamakan dengan pekerjaan bodohmu itu.” ujar wanita itu dingin. Tatapan amber semakin menggelap, tubuh rampingnya perlahan bangkit. “Aku melakukan pekerjaan ini untuk menghilangkan orang-orang sialan sepertimu, bukannya menciptakan sesuatu yang tidak berguna. Jangan menyamakanku, kita berbeda jauh, Tuan.” Tidak memperdulikan bajunya yang kini terkena cipratan darah. Ia kembali berjalan, dengan adegan slow motion. Menghampiri pria itu sekali lagi, sosok yang sudah hampir sekarat karena tusukan di jantungnya. “Kh, akan kubuat kau menyesal!!” Teriakan  histeris masih terdengar, penuh amarah tubuh itu menggelepar bak ikan kekurangan air. “Silahkan.” Sang wanita hanya mendengus, sembari mengendikkan bahu. Kedua manik itu memperhatikan detik-detik pria di sana mati. “Kh, si-alan-” Tidak perlu beberapa menit menunggu. Tidak ada umpatan, tubuh tambun itu tidak bergerak, sedangkan darah segar masih terlihat merembes dari pakaiannya. “Melelahkan~” dengus sosok itu, menundukkan tubuh, mengambil pisau yang masih tertancap pada d**a pria itu. Membersihkan sisa darah tadi, kembali bangkit. Ia menoleh ke arah jam dinding yang berada tak jauh dari posisinya, pukul sembilan malam. “Pasti mereka sudah tidur.” Wajah dingin itu kini tersenyum sendu, perlahan membersihkan pisaunya. Badan ini harus segera dibersihkan, setelah itu Ia harus menghubungi polisi. Mana mungkin ‘kan dia membiarkan remaja pecandu narkoba seperti mereka hidup di tempat seperti ini. Setidaknya karena halusinasi mereka tengah bekerja saat ini, pembunuhan yang Ia lakukan tidak perlu dikhawatirkan. Menggunakan telepon di sekitar sini tidak akan membuatnya terlacak. . . . Pekerjaannya telah selesai. Satu target penggedar narkoba sudah berhasil Ia basmi. Anggap saja, klien yang menginginkan nyawa para pengedar narkoba itu adalah pesaing dalam berjualan hal yang sama. Para polisi di wilayahnya seperti kurang berguna. Karena terlambat mengetahui kasus sebesar ini. Mereka hanya perlu membereskan sisanya dan merehabilitasi remaja-remaja itu. Tentu saja dengan tetap menyalahkan pembantaian masal yang Ia lakukan. Ia berhasil, Anindira Satya Maheswari tidak pernah gagal dalam misinya, hanya satu hal saja yang masih wanita itu pikirkan sampai sekarang. Satu kesalahan yang sama sekali tidak membuat Ari menyesal melainkan lega. Satu-satunya kegagalan terbaik Ari. . . . “Bibi Shizu,” Salah satu tangan terangkat, mengetuk pintu coklat di hadapannya. Sosok cantik itu seolah tidak sabar untuk melihat kedua buah hatinya. Satu-satu penyemangat yang sampai saat ini membuat Ari tetap bertahan.  “Ah, ya tunggu sebentar!” Suara dari dalam sana membuat Ari semakin semangat. Tidak perlu menunggu lama, pintu terbuka. Sosok wanita berambut coklat, berumur empat puluhan kini tengah menggandeng kedua anak kecil di samping kanan dan kirinya. Kedua malaikat kecil yang tengah mengusap mata mereka kompak, menguap menahan kantuk, dan menengadahkan wajah melihatnya. “Ibu, sudah pulang?” Kali ini sosok pemuda kecil berambut mangkuk mengedipkan manik, mengumbar senyum lima jari yang selama ini menjadi ciri khasnya.  Wanita itu tersenyum lembut, Ia langsung saja mensejajarkan tubuh. Mengusap rambut kedua buah hatinya. “Maaf membuat kalian menunggu, ayo kita pulang sekarang,” “Um, hoahm~” Gadis kecil yang masih memeluk boneka rubahnya kini ikut mengangguk, menghampiri sang Ibu, menerima gendongan wanita itu dan memeluk lehernya. Begitu juga sang kakak. Dengan kekuatan yang Ia miliki, mudah saja mengangkat keduanya. “Sekali lagi terimakasih, Bibi Shizu, maaf selalu merepotkanmu.” Bangkit dari posisinya, Ari menunduk singkat. Ya, tetangganya ini memang sangat baik hati, karena mau meluangkan waktu untuk menjaga Argi dan Ella selagi Ia bekerja. Selain karena alasan menyukai anak-anak. Sudah hampir satu tahun Shizu tinggal sendiri, suaminya meninggal tahun lalu karena sakit.   “Tidak masalah, Nona Ari. Aku senang bisa ditemani Argi dan Ella, mereka anak-anak yang energik,” Tertawa kecil, Shizu mengelus rambut kedua anak kecil di hadapannya. “Sekali lagi terima kasih, kalau begitu kami pamit dulu.” Berpamitan singkat, Shizu mengangguk paham. “Selamat malam, Nona Ari.” “Selamat malam, Bibi.” Ari segera melangkahkan kaki keluar dari pekarangan rumah Shizu. Rumahnya memang berada tak jauh dari rumah Shizu, diantara banyak tetangga Ari mungkin hanya wanita itulah yang paling bisa Ia percaya untuk menjaga kedua buah hatinya. Hari ini semua sudah berlalu lagi. Menggendong kedua anak kecil itu, Ia tersenyum lembut. Deru napas yang mengenai leher Ari membuat wanita itu terkekeh. Sepertinya mereka lelah sekali, sampai tertidur lelap seperti ini. “Hh, beberapa hari lagi kita akan meninggalkan tempat ini.” Gumam Ari pada dirinya sendiri, menengadahkan wajah menatap langit malam. Bintang masih terlihat bersinar jelas dari atas sana. Surabaya, Tempat yang cukuo jauh dari kota Jakarta, berada di tempat terpencil yang jarang diketahui orang-orang. Walaupun kota Surabaya memang terkenal hebat, dan besar, Ari sengaja mencari tempat tersembunyi karena pekerjaannya ini. Memelankan langkah kaki, demi menikmati waktu hening yang Ia miliki bersama kedua buah hatinya. Bibir itu tersungging namun tidak bagi mata Ari. Terpancar kesedihan yang kembali mengingatkan Ari tentang masa lalu. Sampai saat ini pun tidak ada yang bisa mengembalikan sinar matanya, yang tersisa hanya senyuman, itupun karena keberadaaan Argi dan Ella. Jika tidak ada mereka, mungkin Ari sudah hancur sejak jauh hari. Dia bisa sepenuhnya menjadi sosok boneka pembunuh tanpa hati. “Argi dan Ella, akan punya sekolah baru, teman baru, dan banyak hal yang baru menanti kalian.” Memperhitungkan dengan baik, semua sudah Ia rencanakan. Marga yang akan Ari gunakan pun tidak akan pernah diketahui oleh orang-orang di sana. Bahkan Liam sekalipun. Liam, laki-laki yang tahun ini berusia 33 tahun. Bagaimana kabar Liam sekarang? Terkekeh pedih, menertawakan kembali nasibnya. Ari menepuk kedua punggung mungil yang sedikit terganggu karena tindakannya tadi. “Apa kalian akan bertemu dengan orang itu? Apa dia akan menyadarinya?” Membayangkan kembali sosok suaminya. Sosok yang sangat Ari cintai. Sampai saat ini. “Aku harap kalian tidak akan bertemu dengannya.” Tersenyum sendu, Ari menghela napas panjang.  “Aku tidak ingin mengingatnya lagi,” Hari ini sangat melelahkan, dan beberapa hari lagi dirinya akan kembali ke Jakarta. Menjalani kehidupan mereka di sana, berhadapan kembali dengan sang ayah. “Aku harap ayah memenuhi janjinya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD