{ 08 } Less Cry

2047 Words
Karena banyak yang nggak tahu dimana sih klik love itu? Jangan lupa Klik tanda bentuk jantung terlebih dulu sampai berubah jadi warna putih, untuk pengguna Handphone agar masuk ke dalam library kalian  Untuk pengguna komputer cukup klik tulisan ADD menjadi ADDED yaa :D Nikmati dan jangan lupa Appreciate juga karyaku yaa , Terimakasih:* Selamat membaca :)   { 08 }  . . . "Ibu!" Ari masih mengecek keadaan apartement barunya sampai konsentrasi wanita itu harus buyar karena teriakan Argi. Ah, dia hampir melupakan kedua buah hatinya. Berbalik dan melihat pemuda kecil itu masuk ke dalam ruangan sambil memegang tangan sang adik. "Maaf, Ibu tadi terlalu semangat melihat ruangan ini. Ada apa?" Berjalan mendekati kedua putra-putrinya, tubuh Ari langsung mensejajarkan diri. "Tadi Ella sempat jatuh, lihat." Jemari mungil Argi tertuju ke arah lutut adiknya yang sedikit memerah, sementara Ella sendiri malah asyik melihat keluar dan tersenyum terus menerus. Tumben, gadis kecil itu tidak menangis. Alis Ari saling bertaut bingung, "Ella, tumben tidak menangis, apa cuma Ibu yang tidak dengar?" tanya Ari pada putranya, pemuda kecil itu menggeleng kecil. "Ella nangis kok tapi hanya sebentar, dia sempat panggil Ibu tadi, eh tiba-tiba ada ehmm siapa itu hm Paman-" Belum selesai bicara, perkataan Argi dipotong cepat oleh adiknya. "Paman keren!! Tadi ada Paman keren yang gendong, Ella! Wushh! Ella yang tadi jatuh langsung digendong paman itu terus dia tiup-tiup lutut Ella dan kasi mantra persis seperti yang Ibu lakukan kalau Ella sama kakak jatuh!" ujar Ella penuh antusias, Ari sempat merutuki kecerobohannya karena tidak bisa mendengar tangisan Ella tadi. Siapapun 'Paman' yang disebut  putrinya, dia harus berterima kasih. Mungkin saja kalau orang itu tidak menolong Ella tadi, bisa-bisa putrinya keburu benci dan sebal dengan apartement ini, karena sempat membuatnya terluka. "Oh, ya? Siapa paman keren itu, hm? Ibu, ingin bertemu dan mengucapkan terima kasih padanya karena sudah menolong putri Ibu yang manis ini," Menjawil hidung Ella gemas, membuat sang empunya terkikik geli. "Ayo, Ibu! Mungkin pamannya masih ada di sana!" Ella tak sabar dan langsung saja menarik tangan Ari. "Eit tapi tunggu sebentar, Ibu ingin Argi sama Ella berjanji dulu." "Janji apa, Bu?" Kedua buah hatinya bertanya kompak. Ari mengecup pipi mereka bergantian, menatap lekat dan memberikan senyuman kecil. "Berjanjilah kalian tidak akan berlari-larian seperti itu lagi, setidaknya perhatikan langkah, Ibu tidak mau melihat kalian terluka seperti ini. Lain kali berhati-hatilah, dan untukmu Argi. Seperti janji kita dulu, berjanjilah untuk selalu menjaga adikmu," Tidak perlu waktu lama bagi Argi untuk mengartikan perkataan ibunya. Pemuda kecil itu mengangguk cepat, berpose layaknya seoang polisi, "Aku janji, Ibu!" Berteriak dengan tegas. Jujur saja membuat Ari bangga dan terkekeh bersamaan. "Terima kasih sayang, nah sekarang kita temui Paman keren Ella, dan ucapkan terima kasih bersama, oke?" "Oke!!" . . . Hampir keluar dari kamar apartement, melihat kedua buah hatinya sudah berada di ambang pintu, melambai ke arah Ari. "Ayo, Ibu! Itu pamannya!" "Iya, iya," Kakinya melangkah lebih cepat, tepat saat Ari berniat menutup pintu apartement. "Paman!" "Oh, kalian!" Tubuh Ari menegang seketika, lagi-lagi suara itu sukses membuat Ia membeku. Tangan yang berniat memegang kenop pintu langsung terhenti. Ella tadi bilang dia ditolong oleh paman keren kan? "Sini sebentar, Paman! Ibu kami ingin bicara!" Argi berteriak lebih keras dan semangat, "Ah, benarkah? Tunggu sebentar ya, Paman kunci pintunya sebentar." Terdengar suara pintu terkunci sempurna. Pikiran Ari bergerak cepat, suara pintu terkunci dan keberadaan laki-laki itu. s**t!! Jadi Paman keren yang Ella bilang itu Liam?! Kenapa diantara banyak laki-laki di sekitar sini, putrinya harus bertemu Liam?! Bukannya laki-laki itu sudah turun ke lantai bawah tadi?! Kenapa dia bisa ada di lantai ini?!  'Tenang Ari, sekarang yang harus kau cari hanya-ah itu dia!' Matanya teralih ke arah tas yang sengaja Ia taruh di atas meja, berjalan cepat masuk ke dalam apartement lagi, Ari langsung mengambil sebuah wig di dalam tas itu. Tas dengan segala macam keperluannya. Tangan Ari bergerak cepat, mengikat rambut aslinya dan memakaikan bando pada bagian poni, Ari menyempurnakan pemasangan wignya dan tidak perlu beberapa menit wig itu sudah melekat sempurna di kepalanya.  Untuk seterusnya mungkin dia akan terus menggunakannya, jika tadi Ari berusaha sekuat mungkin menyembunyikan keberadaannya saat berpapasan dengan Liam. Kali ini dengan jarak mereka yang dekat, Ari tidak boleh lengah. "Ibu!" Argi dan Ella kini memanggilnya lagi. "I-iya sayang, tunggu sebentar!" Wanita cantik itu mencoba mengubah suaranya menjadi lebih lengking. Salah satu keahlian yang cukup menguntungkannya. Berhias dalam beberapa menit, mengganti  wig dan mengubah suara. Perlu waktu bertahun-tahun bagi Ari untuk menguasai keahliannya ini. Tubuh itu berbalik, menyiapkan batin, karena pada akhirnya cepat atau lambat Ari harus bertemu lagi dengan laki-laki itu. Tapi kenapa secepat ini? Dia sama sekali tidak paham dengan rencana Tuhan. . . . Jantungnya berdetak keras, berdoa dalam hati semoga laki-laki itu tidak mendengar. Melangkahkan kaki keluar dari ruang apartementnya. Hal pertama yang Ia lihat adalah sosok tegap yang bertahun-tahun Ari rindukan. Laki-laki dengan balutan baju kerja khasnya, terlihat tampan dan berwibawa. Ah, sudah berapa lama Ari tidak melihat orang itu sedekat ini. "Lho, Ibu rambutnya-" Argi yang menyadari perbedaan rambut ibunya berubah menjadi hitam pendek langsung berujar polos, untunglah Ari bergerak cepat dan menatap pemuda kecil itu. "Ka-kau tahu kan kalau Ibu tidak suka bertemu orang lain dengan rambut berantakan," Ia sudah sering mengingatkan Argi.  Kebiasaan Ari menggunakan wig sebagai alasan kalau dirinya tidak pernah suka memperlihatkan rambut aslinya di depan orang asing karena terlalu berantakan. Pemuda yang selalu ingin tahu, karena sikap Argi diturunkan dari Liam cukup membuatnya kewalahan. Pemuda itu ber-oh ria, "Oh, iya, aku lupa, padahal rambut Ibu sebenarnya tidak berantakan kok," Mengeluarkan cengiran kecilnya, Tersenyum menanggapi perkataan Argi, Ari menatap ke arah putrinya sekarang. Ella masih menatap kagum laki-laki di hadapannya. "Ini Pamannya, Ibu!" Menunjuk ke arah laki-laki itu. Mau tak mau membuat Ari menatap sosok Liam. Laki-laki berambut hitam pendek dengan ciri khas manik abu-abu dan wajah tampannya. Kedua manik legam itu menatap manik abu-abu Liam. Dalam hati Ari mencoba berusaha keras untuk menahan hasratnya menerjang Liam, mencoba menahan tangis, kedua lutut itu bahkan mencoba untuk terus berdiri tegap, jangan sampai dia jatuh di sini. Di depan Liam. Tidak! "A-ah, terima kasih karena sudah menolong putri saya tadi~" berujar singkat, dan menundukkan tubuh sekilas.  "Tidak apa-apa, tadi kebetulan saya keluar dari lift dan melihat putri anda terjatuh, untunglah saya bisa cepat mengalihkan rasa sakitnya." Tidak tahu harus berbicara apa, Ari benar-benar kaku. Begitu juga yang Ia rasakan dari Liam, laki-laki itu seolah tak nyaman dengan keberadaaannya. Sikap Liam yang asing, dan nada panggilan formal itu sungguh membuat jantung Ari serasa diremas kuat. "Paman, main sama Ella dan kak Argi, yuk!" "Hm?" alis Liam nampak berkerut, ck. Ari berdecak dalam hati, sikap teliti Liam kembali muncul, mendengar keanehan dalam nama putranya tentu saja membuat Ari sedikit ketar-ketir dalam hati. “Iya, Fredella dan kak Argi Naruna!!” Semoga laki-laki itu tidak sadar, kalau Ari memang sengaja memberi nama Fredella dan Argi jauh sebelum dia dan Liam merencanakan pernikahan mereka, nama penting yang memiliki artinya tersendiri, wajar saja jika sekarang Ari melihat reaksi terkejut Liam Tatapan berwarna abu itu kembali menatap Ari sebelum akhirnya Liam mensejajarkan tubuhnya di depan Argi. "Wah, nama yang bagus, kalau Paman boleh tahu, apa artinya?" Argi yang pertama kali mencondongkan tubuh dengan bangga, menepuk dadanya senang, “Namaku Alvaro Argi Naruna, kata ibu artinya Ppemimpin bijak yang akan menerangi jalan kebenaran bagi umat manusia!!” Giliran Ella, berdiri di samping sang kakak, “Namaku, Adara Fredella, ibu bilang tidak akan ada yang bisa mengalahkan kecantikan dan sifat periang dari seorang Ella!” Liam menatap kagum, mengangguk kecil, “Sepertinya ibu kalian pintar sekali memberikan nama, oh dan Argi. Apa kau sadar kalau kita mempunyai warna mata yang sama,” Menunjuk ke arah mata mereka berdua. Argi menatap balik wajah sang paman. Kali ini kedua anak itu makin antusias, manik mereka melebar. Pandangan mereka berbinar, "Waahh!! Iya!! Kita baru sadar!" Keduanya berteriak kompak. “Warna mata kita sama, Paman!” Argi menatap penuh binar, Liam terkekeh. "Kalau boleh tahu dari mana Argi mendapat warna mata abu-abu itu, hm? Kenapa kita bisa mirip ya, ahaha," Ari yang tadinya membeku di tempatnya tersadar seketika, pandangan wanita itu mengerjap. Pertanyaan terselubung Liam bisa Ia tangkap dengan cepat. “Dan lagi warna mata Ella indah sekali, kalau tidak salah itu warna amber ‘kan?” Ella menganga kaget, mengangguk cepat dan tersenyum. “Iya!! Kalau warna mata ini sih Ella dapat dari-” "Ella, ingat apa yang sering Ibu katakan pada kalian?" Ari dengan cepat menghentikan perkataan Ella. Dia memang agak jahat jika menyangkut hal apapun yang bisa membongkar seluruh rahasianya. Bahkan setiap hari dia selalu mengingatkan pada Argi dan Ella agar tidak terlalu akrab dengan orang yang baru mereka temui. Sekalipun orang itu pernah menolong mereka. Itu peraturannya. Apalagi mendengar Ella dengan mudah mengumbar warna matanya pada Liam. Dia tidak boleh lengah! Warna amber dan abu-abu memang sangat jarang ditemui di Indonesia, kalau bukan karena gen mereka. Ari memang memiliki ibu yang berasal dari Rusia asli, sementara Liam. Ayah laki-laki itu sendiri berasal dari Australia. Walaupun sekarang Ari sendiri tengah menggunakan kontak lensa berwarna hitam, bukan berarti dia bisa lengah. Argi dan Ella yang mendengar perkataan ibu mereka langsung diam dan menunduk. Senyuman keduanya menghilang. Suara sang ibu yang tenang dan lembut tadi mendadak berubah menjadi penuh penekanan serta datar. "Ma-maaf, Ibu-" Suara gadis mungil itu merajuk, menghentikan perkataannya. Pandangan legam Ari kini menatap Liam, laki-laki tampan yang kembali berdiri tegap, menatapnya balik. "Maaf jika saya bertanya yang aneh-aneh pada putra anda," Senyum di wajah tampan itu nampak sekilas namun berganti cepat dengan tatapan datar. Suasana hangat dan penuh tawa tadi langsung berganti kaku. Mendesah dalam hati, lagi-lagi wanita itu harus mengeluarkan aktingnya. "Tidak apa-apa," Tanpa Ia sadari salah satu tangan Liam terulur ke arahnya, "Bagaimana kalau kita berkenalan terlebih dahulu. Nama saya Aiden William Abhivandya, anda boleh memanggil saya William, seperti yang bisa anda lihat kamar saya ada di samping kamar anda." Sial! Kebetulan apa lagi ini?! Menyembunyikan kegugupannya, Ari baru saja berniat mengulurkan balik tangannya. Sebelum, Wanita itu mengingat sesuatu. Gelang dengan gantungan bunga clover masih terpasang manis di pergelangan tangannya. Gelang hadiah dari Liam yang sampai saat ini masih Ia gunakan, hadiah terakhir dari suaminya dulu. Kenapa dia bisa lupa?! Cepat-cepat menarik tangan kembali, Ari hanya bisa melempar senyum, sementara tangan kanannya masih bersembunyi dibalik punggung, mencoba melepaskan benda itu cepat. "Thenesia Aristel, salam kenal, Tuan William. Sekali lagi terima kasih karena sudah menolong Ella tadi. Panggil saja saya, Sia." Berhasil, benda itu bisa lepas dari pergelangannya. Ari dengan cepat menyembunyikan gelang manis itu di saku belakangnya. Barulah Ia mengulurkan tangan, "Ma-maaf, tadi tangan saya sedikit kotor," Tangannya memang sudah kotor sejak dulu, Tangan besar itu menangkup tangannya, "Saya bukan laki-laki yang fanatik dengan kebersihan, kalau anda ingin tahu, Nona Sia." Suara baritone itu seolah menohok Ari, wanita yang langsung bungkam dan menatap balik sosok Liam. Benarkah? Kalau Liam tahu dirinya ini hanyalah seorang pembunuh berdarah dingin. Apa dia masih bisa berkata seperti itu lagi? Setelah berhasil mengungkap rahasianya pada sosok Liam yang mungkin tidak begitu bisa menangkap perkataannya dulu. Karena efek obat yang Ia berikan,  "Saya sudah sering bertemu dengan banyak orang, mereka kadang suka melebih-lebihkan keadaan, ahaha," "Hm," sang Aiden tersenyum sekilas. Menyalurkan kehangatan, Ari memandang ke arah tangan Liam yang kini menggenggam tangannya, wanita itu reflek menggigit bibir bawah. Bahagia itu sederhana menurut Ari, hanya merasakan bagaimana hangatnya tangan Liam saja sudah mampu membuat senyuman terukir sekilas di wajahnya. "Senang bisa berkenalan dengan anda, Nona Sia," Liam-lah yang pertama kali melepas jabatan tangan mereka. Hanya Ari yang merasa kehilangan saat tangan hangat itu melepaskan jabatan mereka. Ah, dia ingin menangis rasanya. "Ibu, Ella haus," Suara rengekan Fredella mengembalikan kesadaran Ari, gadis kecil itu mulai merengek. Kedua tangan mungil terulur ke arahnya seolah meminta gendongan. "Hm, ya sudah Ibu buatkan s**u hangat ya." Menyambut isyarat Ella, Ari langsung menggendong tubuh mungil itu. Memeluknya erat, menyalurkan rasa kecewa tadi pada sang putri. "Aku juga mau!" "Oke, oke, kalau begitu kita masuk dulu yuk," Untunglah Ari selalu membawa termos kecil saat berpergian untuk jaga-jaga kalau kedua buah hatinya merengek ingin dibuatkan s**u. "s**u coklat!!" Ella berteriak semangat. "Aku s**u rasa jeruk!" Argi ikut-ikutan, hh bahkan kesukaan pemuda kecil itu mirip sekali dengan ayahnya. Penyuka jeruk dan mie goreng. Kalau mie goreng sih Argi dan Ella suka sekali. Selain telur gulung tentu saja. "Iya, iya," Pandangan hitam Ari melirik sekilas ke arah Liam, bibirnya yang terkunci rapat itu sangat tak sinkron dengan kondisi hatinya. "Kalau begitu saya masuk ke dalam dulu, Tuan William. Senang bisa berkenalan dengan anda," Mengeluarkan senyum tipisnya, Liam hanya melempar senyum kecil, mengangguk singkat dan berniat pergi. "Ah, kau sudah sampai rupanya." Tuhan sepertinya lagi-lagi tak mau berpihak kepadanya. Sebelum Ari masuk ke dalam apartementnya dan Liam pergi dari sana. Suara yang sangat Ia kenali kini bergema di telinganya. Haruskah hari ini?! Setahunya Ari sama sekali tidak memberitahu jadwal kepindahannya pada orang itu! Bibirnya gemetar, pelukan pada Ella mengencang saat kedua manik hitam itu bertatapan dengan sosok paruh baya di sana. Laki-laki yang berdiri angkuh dengan balutan baju formal dan rambut panjang yang terikat longgar. Pandangan tajam itu tertuju ke arah Liam, dan saat itu juga seringai nampak dengan jelas di wajahnya. Keringat Ari mengucur perlahan, Kenapa timingnya tidak tepat seperti ini?! "A-ayah?!"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD