{ 07 } Distance

1504 Words
Karena banyak yang nggak tahu dimana sih klik love itu? Jangan lupa Klik tanda bentuk jantung terlebih dulu sampai berubah jadi warna putih, untuk pengguna Handphone agar masuk ke dalam library kalian  Untuk pengguna komputer cukup klik tulisan ADD menjadi ADDED yaa :D Nikmati dan jangan lupa Appreciate juga karyaku yaa , Terimakasih:* Selamat membaca :)   { 07 }  . . . Ari masih menangis, tapi lambat laun suara khawatir dan rengekan dari Argi dan Ella membuatnya tersadar kembali. Ia mengerjap singkat, menghentikan isakan saat kedua manik amber Ari menatap bagaimana panik wajah buah hatinya. “Huee, Ibu jangan nangis, Kakak. Ibu, kenapa?” Ella merengek, menarik-narik baju Argi, sedangkan pemuda kecil itu berdiri di depannya. Dia menggeleng kencang, ikut menangis dengan kedua tangan menutupi wajah. “Kakak, tidak tahu!” Astaga. Isakan Ari berhenti sepenuhnya. Ia kaget melihat kedua buah hatinya kini menangis lebih keras dibandingkan dia. ‘A-apa yang kulakukan!’ batin Ari panik, cepat-cepat menghapus air matanya. Mengeluarkan senyuman andalannya, “Ella, Argi, shh jangan menangis sayang. Tadi Ibu hanya bercanda saja, lihat,” Ari sengaja mencubit kedua pipi dan membuat wajahnya selucu mungkin. Menahan air mata yang sebenarnya ingin jatuh. Ia lebih memilih memaksakan diri untuk tertawa dibandingkan melihat Argi dan Ella menangis seperti itu. “Lihat sayang, wwekkk. Ibu hanya bercanda tadi, ahaha,” Menjulurkan lidah, mengembungkan pipi.  Sikap Ari sukses membuat kedua anak kembar itu berhenti menangis, mereka menatap tak percaya, menggigit bibir bawah dan tanpa aba-aba langsung memeluk tubuh sang ibu. “Ibu, bercandanya jelek!! Huee, Ella takut!” Ella menangis sesenggukan, sedangkan Argi masih berdiri di tempatnya. Wajah manis itu tertekuk seolah marah dengan sikap Ari.  “Argi sayang, Ibu hanya bercanda saja tadi, jangan marah ya?” Ari sengaja memelankan suara, melihat putranya kini mengerucutkan bibir kesal. “Aku tidak mau bicara sama, Ibu!” Argi memalingkan wajah, bersidekap dan mencoba menjauh darinya. Sangat menggemaskan. Ari memandang putranya itu, berpura-pura sedih. “Argi, tidak mau bicara sama Ibu lagi ya?” Memperlihatkan raut sendu, dan suara yang semakin pelan. “Ibu,” Dan berhasil, sikapnya sukses membuat pemuda kecil itu merengek, tidak rela melihatnya menangis lagi. “Habis Ibu jahat, aku kira Ibu benar-benar menangis, aku kan khawatir!” Ya Tuhan, betapa beruntungnya Ari, ternyata Tuhan masih mau memberi dua buah hati yang begitu menyayanginya seperti ini. Melihat raut kekhawatiran di wajah pemuda kecil itu sungguh membuat Ari terharu. “Sini sayang, Ibu janji tidak akan bercanda seperti itu lagi,” “Bercandanya jelek!” “Ahaha, iya, iya Ibu minta maaf. Sini, sebentar lagi kita sampai,”  Masih mengerucutkan bibir, malu-malu pemuda kecil itu menghampirinya, membiarkan wanita cantik itu merengkuh dan kembali menggendong tubuhnya. Tidak perlu waktu lama untuk mereka sampai ke lantai sepuluh. Pintu Lift terbuka perlahan, lantai ini cukup luas, dengan sebuah lobi yang berisikan sofa santai, petugas penjaga, dan area bersantai menyambut mereka. Well, setidaknya di sini Argi dan Ella masih aman. “Uwaa, ini rumah kita yang baru ya, Ibu?!” Ella berteriak kecil, “Iya sayang, kita cari ruangannya dulu ya.” Berjalan keluar dari lift, keduanya langsung memberontak turun. Mereka sudah antusias melihat apartement ini, berlari-lari di lobi, melihat aquarium yang cukup besar menyambut kedatangan mereka, sebuah cafeteria kecil yang sengaja disediakan pada lantai-lantai tertentu. “Ruangan 104, aku harus mencarinya dulu,” Bergumam sekilas, Ari langsung mempercepat langkahnya. . . . Di tempat lain- “Ayo, Papa! Nanti Hanna telat!” Seorang gadis kecil melambai-lambai ke arah papanya, berharap kalau laki-laki di sana mempercepat langkahnya masuk ke dalam mobil. “Iya, iya,” laki-laki itu mencoba mengecek sekali lagi semua berkas yang harus Ia bawa hari ini. Kebetulan ada kasus yang harus diselidikinya.   Kejadian yang baru saja terjadi kemarin malam, rasa penasarannya akan selalu muncul jika menyangkut permasalahan seperti itu, apalagi kalau masalah ini berhubungan kuat dengan seorang wanita yang selalu berhasil melarikan diri setelah Ia menyelesaikan semua pekerjaannya. Walau kejadiannya bertempat sangat jauh dari posisi Liam sekarang, sejauh apapun dia memang akan selalu mencari clue dimana keberadaan wanita itu. “Ayo, Liam!” “Oke, ah tunggu dulu,” Alisnya mengernyit saat tidak merasakan amplop besar berwarna coklat ada di dalam tasnya. Tangannya mencoba mencari benda itu sekali lagi, tapi nihil. “Ck, jangan bilang aku melupakannya di meja kerja!” Mengumpat kesal, putrinya sudah hampir terlambat dan dia harus balik kembali ke ruangan. “Sofia, kau antarkan saja Hanna dulu. Aku ingin mengambil berkas di atas meja kerja, sepertinya kulupakan!” ujar Liam keras, wanita berambut pirang kecoklatan di dalam mobil itu menatapnya tajam. “Kau ini kebiasaan sekali, Liam! Pelupa! Ya sudah, yang penting kau tidak lupa dengan janji kita hari ini!” Mengerucutkan bibir kesal,   Liam mengeluarkan cengiran kecilnya, “Maaf, maaf! Oke, nanti aku akan menjemputmu dan Hanna di kantor. Tunggu saja di ruang kerjaku, aku ada urusan dengan Ares nanti!” “Awas kau sampai lupa, Hanna dijamin tidur denganku malam ini!” “Iya, iya cerewet!” Sebelum menerima protesan wanita itu, Ia sudah keburu berbalik masuk ke dalam apartement. . . . Bergumam menyebutkan angka 104 terus menerus, ruangannya berada paling ujung tapi tetap saja dia harus mengecek sekali lagi. “Ibu, lihat lihat ikannya besar-besar!” Suara teriakan Argi masih bisa Ia dengar. “Iya, sayang sebentar. Ibu mau cari kamar kita dulu ya.”  “Buu, Ibu tidak seru. Ella, ayo jalan-jalan ke sana!” Kedua anak kecil itu berlari semangat, mengitari lobby dibarengi dengan celotehan-celotehan tawa. Ari harus mencari ruangan mereka dulu, “Ah, ini dia,” Tersenyum lega saat melihat namanya terpampang di samping pintu disertai nomor ruangan di atasnya. Thenesia. Hanya marga palsu saja. Entah sudah berapa kali Ari mengganti nama. Tapi satu yang pasti, nama marga keluarganya sampai saat ini tetaplah Satya. Nama keluarga pembunuh Professional yang cukup terkenal di dunia bawah. Segera mengeluarkan kartu ruangan, tidak perlu waktu lama bagi Ari untuk masuk ke dalam ruangan. Ruang tamu menyambutnya pertama kali, dilengkapi sebuah dapur terbuka yang saling berhubungan dengan ruang tamu. Ruangan itu masih kosong dan warna yang mendominasi hanya krem, mungkin nanti dia akan mendesain ulang semua ruangan ini. Saking semangatnya wanita itu masuk ke dalam ruangan, dan mungkin dia melupakan Argi dan Ella yang masih asyik bermain kejar-kejaran di lobby. . . . “Kyahaha, Kakak ayo kejar, Ella!!” tawa Ella menggema, berlari melewati sofa-sofa, dan menatap senang kakaknya. “Jangan lari Ella, Kakak kejar kamu, groaaaaa!” Sedangkan Argi memperagakan tubuhnya bak monster kecil yang suka menjahili anak-anak. “Kyahaha!”  Kedua anak kembar itu berlari-lari, saling kejar, tidak memperhatikan sekitar dan arahan beberapa petugas untuk berhati-hati. “Adik kecil jangan berlari-lari di lobby, nanti kalian jatuh!” “Groaaa!” “Kyahaha, Kakak seram!!” Mereka terus berlari, tanpa pengawasan Ari. Sampai apa yang tidak diinginkan petugas terjadi juga. Kaki Ella tak sengaja terpeleset, dan alhasil tubuh kecil itu jatuh dengan posisi tengkurap, menimbulkan suara gedebug ringan yang sukses mengagetkan Argi. “Ella!” Gadis kecil itu seolah syok, Ella sama sekali tidak bicara. Ia reflek menggigit bibir bawahnya, merasakan denyutan sakit di bagian lutut dan hidung yang sempat menyentuh lantai. Argi langsung berlari menghampiri adiknya, Ah, untunglah ada yang mau membantu Ella berdiri, pemuda itu menghela napas lega saat seorang laki-laki yang baru keluar dari lift berjalan menuju loby dengan sigap membangunkan tubuh mungil adiknya. Perlahan suara tangisan Ella terdengar, sakit di lututnya makin terasa, dan tidak perlu lama lagi, “Hueee, sakit, kaki Ella sakit, Ibu!” Sang empunya merengek, menangis kencang, memanggil sang ibu berulang kali. Merasakan tubuhnya diangkat dan langsung digendong. “Ssh, jangan menangis adik kecil. Lutut yang mana sakit, hm? Coba Paman lihat sebentar ya,” Suara baritone laki-laki itu menghipnotisnya. Ella langsung menunjuk ke arah lutut kanannya yang agak memerah. “Yang ini Paman, perih!” Siapa sangka laki-laki bersurai pendek kehitaman itu mengelus lembut lutut kanan Ella, meniup-niup rasa perihnya beberapa saat. “Luka luka menghilanglah, haa!” ujar sosok itu mengeluarkan mantra yang membuat tangisan Ella berhenti sesaat. “Paman, ngapain?” Laki-laki itu mengeluarkan cengiran lebarnya, “Paman lagi ngeluarin mantra supaya luka di kakimu hilang, sebentar lagi pasti perihnya hilang,”  Pandangan amber Ella menatap Paman itu, Ia mengerjap, “Ibu sering melakukan itu sama Ella, mantranya juga sama. Perih Ella benar-benar bisa hilang ‘kan nanti, Paman??” Sang empunya terdiam sesaat, “Benarkah? Pasti Ibumu itu penyihir yang kuat, hm? Mantranya bisa sama seperti Paman, perihmu pasti hilang kalau pakai mantra itu,” Menepuk-nepuk lutut Ella, “Bagaimana, hm?” Tangisan Ella berhenti sepenuhnya, “Um!! Sudah hilang! Perihnya hilang!” Gadis kecil itu tersenyum lebar. “Ella!!” “Kakak!” Pandangan ambernya melihat sang kakak nampak menghampirinya dengan khawatir.  “Paman, makasih buat mantranya ya. Nanti Ella akan kasih tahu Ibu tentang, Paman~” Gadis kecil itu bergegas turun dari gendongannya. Tanpa menyadari kedua manik abu-abu sosok itu masih memperhatikan sosok pemuda kecil yang menghampiri adiknya. Pemuda yang sangat mirip dengannya saat kecil dulu. Layaknya replika, ditambah lagi, “Adik kecil,”  “Ya??”  Kedua manik mereka, sosok pemuda kecil yang memiliki warna abu-abu persis seperti dia, dan warna amber pada manis gadis kecil di dekatnya. Hidung dan postur wajah mereka. Tubuh tegap itu reflek mensejajarkan diri di hadapan kedua anak kecil di depannya. “Kalau Paman boleh tahu, nama ibu kalian siapa ya??” “Nama ibu?? Siapa ya, aku lupa, kemarin sih bilangnya, Sia-mm-Thene?” Ella berujar polos. ‘Sia? Berarti bukan Ari?’ “Apa nama Ibu kalian itu, Ari?” Kali ini bukan sang gadis kecil yang menjawab pertanyaannya melainkan sosok sang kakak yang langsung berdiri melindungi adiknya. “Nama Ibu kami bukan Ari, Paman. Namanya Thenesia, mungkin Paman salah orang,” Dengan pandangan yang sedikit curiga, Argi menarik tangan adiknya menjauh, tak lupa juga. “Oh, iya, terima kasih Paman sudah menolong adikku. Sampai jumpa!” Argi menunduk singkat, sebelum akhirnya berlari kecil bersama adiknya pergi menjauh dari lobby. Meninggalkan sosok itu. Laki-laki yang mendesah berat, terduduk di lantai lobby. Dia sampai lupa tujuannya kembali ke sini. Hh, tidak mungkin juga wanita yang Ia cari selama ini bisa Liam temukan dengan mudahnya. Mustahil, “Bodoh sekali kau, William.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD