Bab 8. Ketemu Mantan

1455 Words
Marvel benar-benar berangkat ke Hongkong dua hari yang lalu. Ia menginap di hotel yang sama dengan tempat Ari dan Ikhsan menginap. Namun, setelah menimbang beberapa kali akhirnya ia memutuskan untuk hanya mengamati Ari dari jauh. "Harusnya dia nggak senyum-senyum gitu sama cowok lain," gumam Marvel yang kini sedang mengikuti Ari di sebuah restoran. Ia menggeser vas bunga dan kotak brosur di atas meja untuk menutupi dirinya dari pandangan Ari. Tak jauh dari meja Marvel, Ari sedang menikmati makan siang bersama Ikhsan. Ia merasa senang sekali karena produk yang ia pamerkan ternyata cukup berkesan bagi pengunjung. Jadi, sejak ia acara itu dilangsungkan, Ari sedikit-sedikit tersenyum. "Aku nggak nyangka, San! Nama Franciz bisa sampai ke sini," kata Ari. Ia menjumput mie dengan sumpit lalu menyedotnya. Ikhsan tertawa kecil. Ia juga merasakan kebahagiaan Ari. Karena ia adalah kepala bidang marketing, ia tentu harus bekerja lebih keras lagi setelah ini. Banyak sekali peminat produk mereka. "Abis ini, kita harus mikirin gimana biar bisa luasin itu pabrik, Ri. Kalau cuma mengandalkan pabrik yang sekarang kayaknya nggak bakal memenuhi permintaan pasar," ujar Ikhsan. Senyum Ari sedikit pudar karena ucapan Ikhsan. Itu benar. Banyak sekali permintaan yang masuk dan ia harus berkerja lebih keras—ia dan timnya. "Gimana kalau mereka diminta lembur?" "Bisa, sih. Tapi lembur juga sebaiknya bergilir. Nggak mungkin semua mau ambil lembur dan nggak mungkin setiap hari mereka lembur. Penjahit dan karyawan kita juga butuh istirahat biar output yang dihasilkan tetap bagus," ujar Ikhsan. Ari mengangguk. Ia tahu itu. "Ya udah, nanti aku coba bikin jadwalnya. Sama ntar dikira-kira apa bisa kalau pakai sistem lembur." Ikhsan menggeleng. "Kita butuh penjahit baru, Ri. Dan tentu aja tempat yang lebih luas buat produksi. Bangunan sebelah itu disewakan. Kalau ada modal, mungkin bisa kita sewa." Ari mengulum bibirnya. Jika mereka menyewa tempat itu, ia akan kekurangan modal untuk membeli bahan dan biaya produksi dan operasional yang dibutuhkan akan meningkatkan dua kali lipat. Namun, Ari yakin, jika produksi lancar selama sebulan ia akan menghasilkan keuntungan yang luar biasa. "Gimana kalau kamu minta modal sama suami kamu, Ri?" Ari langsung tersedak mendengar pertanyaan Ikhsan. Ia menarik gelas berisi air mineral lalu minum cepat-cepat. Di tempat duduknya, Marvel mendengar samar obrolan itu. Ari membutuhkan investor. Itu yang ia tangkap. Dan pengusaha baru seperti Ari pasti belum mendapatkannya. Apakah ia harus membantu Ari? "Perusahaan Ari punya prospek yang bagus. Nggak ada salahnya aku bantuin dia," batin Marvel. Namun, Ari langsung menggeleng pada Ikhsan. "Nggak, San. Aku nggak mau terlibat urusan apa pun sama Marvel." Marvel mencibir kesal. Ia hampir keluar dari persembunyiannya, tetapi ia menahan diri. "Apa salahnya sih, minta tolong? Dasar independent woman!" Ikhsan membuang napas panjang. "Mungkin papa kamu." Ari memutar bola mata. Itu lebih mengerikan dibandingkan meminta bantuan Marvel. Tanto sama sekali tidak peduli dengan usaha kecilnya. Ia tak pernah dianggap dan ia langsung mengibaskan tangannya pada Ikhsan. "Sampai kapan pun aku nggak akan minta bantuan Papa!" gerutu Ari. Marvel mendesahkan napas panjang mendengar ucapan tegas Ari. Ia ingin tahu apa tindakan yang akan dilakukan Ari nantinya. "Kamu tahu PT Dinamika Jaya? Perusahaan itu menyediakan pinjaman bagi pengusaha baru. Kalau kita lolos tinjauan, kita bisa dapat modal," ujar Ari. Marvel mengangguk dengan bibir melengkungkan senyum tipis. Ia tahu itu adalah tindakan yang berani. Tak ada salahnya mengajukan pinjaman. Toh, ia yakin usaha Ari akan berhasil. Bahkan, ia menebak Ari akan segera mendapatkan investasi tanpa ia bersusah payah mencari. "Tuan, kenapa Anda tidak makan?" Marvel menarik bahu Rudi karena pria itu duduk dengan santai di seberangnya dan ia cemas ia akan ketahuan oleh Ari. "Kenapa? Kenapa, Tuan?" tanya Rudi kaget. Kini ia dan Marvel sama-sama merunduk ke sisi meja. Marvel bahkan mengacungkan jari di depan bibir. "Kamu bego? Aku baru ngikutin istri aku!" desis Marvel. Rudi berdecak. Ia kesal sekali melihat tingkah Marvel. Dua hari lalu Marvel sangat tak sabaran untuk menemukan Ari, giliran sudah ketemu, Marvel memilih bersembunyi. "Anda bisa menyapa istri Anda, kenapa harus begini? Dan ... waktu makan siang udah hampir lewat. Anda bisa sakit perut. Saya juga lapar, sebaiknya kita pesan makanan, Tuan," kata Rudi. Marvel menggeram. Ia mengangkat kepalanya sedikit, tetapi langsung merunduk lagi karena tak ingin terlihat oleh Ari. Di tempat duduknya Ari menyipitkan mata. Ia merasa geli melihat dua pria saling merangkul dan menunduk ke bawah meja. "Ya ampun, kita cabut, yuk. Ada orang nggak waras," ujar Ari. Ikhsan menoleh ke meja Marvel. Ia juga bergidik karena melihat dua pria itu. "Iya, yuk. Untung udah kenyang." Ari tertawa. Ia memakai jaket jeansnya lagi lalu berjalan menuju kasir dan tak terlihat lagi di kedai makan. Marvel membuang napas panjang. Begitu ia dan Rudi menegakkan tubuh, ia langsung memukul kepala Rudi. "Gara-gara kamu muncul, kita dikira orang nggak waras!" "Bukan gara-gara saya, Tuan. Tapi gara-gara Anda ajak saya ngumpet," kata Rudi tak terima. Marvel menatap ke luar kedai. Ia tersenyum tipis melihat Ari berjalan santai di sebelah Ikhsan. Meskipun memakai pakaian ala pria dan tidak terlihat seksi sama sekali, Marvel bisa melihat apa yang disembunyikan gadis itu. Dan ia langsung menggigit bibirnya karena sadar, Ari terlihat sangat keren. "Tuan, kita jadi makan?" "Ya. Buruan pesan makanan!" *** Malam harinya, Marvel bersiap-siap untuk datang ke acara penghargaan. Ari juga akan hadir di sana. Dan Marvel tak sabar untuk melihat Ari berada di atas panggung. Ia yakin Ari akan menyabet penghargaan malam ini. "Tuan, kita berangkat?" "Ya. Aku udah siap." Sebenarnya Marvel tidak diundang, tetapi ia mengenal beberapa penyelenggara acara, jadi ia berkata ingin mendukung acara tersebut dan dengan mudah ia diperbolehkan datang. Marvel sengaja datang agak terlambat di lokasi acara karena tak ingin Ari melihatnya. Ia tak ingin merusak mood gadis itu. "Kamu udah siapin buket bunganya?" tanya Marvel pada Rudi. "Ya, tentu, Tuan." Rudi memeluk buket bunga besar yang dipilih oleh Marvel sendiri sore tadi. Buket itu untuk Ari tentu saja. "Oke. Bagus. Aku udah ganteng?" "Selalu ganteng, Tuan!" Marvel tersenyum miring. Ia keluar dari lift lalu melangkah menuju ruang yang dimaksud. "Abang! Abang!" Marvel menoleh ke suara yang tak asing. Ia mengerutkan kening ketika melihat sosok Sunny, mantan pacarnya. "Ngapain kamu di sini?" tanya Marvel. Sunny memeluk lengan kirinya tanpa permisi. "Ya ampun, Bang. Nggak nyangka kita ketemu di sini. Aku nggak ngeliat ada nama kamu atau perusahaan kamu di daftar tamu." Marvel melepaskan tangan Sunny. Ia dan Sunny sudah putus tiga tahun lalu sebelum ia berpacaran dengan Salsa. Ia tahu Sunny sangat cantik, berasal dari keluarga konglomerat dan sangat cerdas. Namun, ia tidak bisa melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh gadis itu. "Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi, jadi nggak usah sok akrab." Marvel mengibaskan tangannya di depan d**a. "Aku nggak mau masuk bareng sama kamu, kamu masuk aja duluan sana." Sunny mencebik. "Kamu jangan gitu, Bang. Aku kangen tahu. Udah lama nggak ketemu." Marvel mendorong bahu Sunny saat gadis itu kembali mendekat. "Aku yakin kamu udah tahu kalau belum lama ini baru aja nikah. Jadi, jangan bertingkah!" "Lebay, deh! Emang nggak boleh kangen doang? Toh, aku duluan yang kenal sama kamu dibandingkan istri kamu itu!" gerutu Sunny. "Udah sana buruan masuk, nanti telat!" "Emang udah telat. Aku cuma temenin Papa di sini. Papa baru nyari tempat buat naruh investasi baru, di sini banyak banget peluang usaha yang bisa dikembangkan. Aku bantuin Papa milih mana perusahaan yang layak kami kasih investasi," kata Sunny dengan nada pongah. Marvel mengangguk saja. Ia agak tak tahan mendengar ucapan panjang Sunny. "Ayo kita masuk." Karena tak ingin berdebat lebih lama, akhirnya Marvel masuk bersama dengan Sunny. Marvel ditarik oleh Sunny ke arah ayahnya, Rory. "Pa, ini Bang Marvel. Udah lama banget, kan, nggak ketemu!" ujar Sunny. Rory tertawa senang. "Hai, Vel! Astaga, kenapa kamu di sini?" Marvel tersenyum tipis. "Iya, Om. Istri aku di sini." "Istri?" Rory menatap putrinya lalu kembali menatap Marvel. "Ah, ya. Kamu baru aja menikah kalau nggak salah." Marvel mengangguk. "Ya. Aku harus duduk, Om." "Ya, ya. Senang ketemu kamu lagi, Vel." Sunny terus menatap Marvel hingga pria itu duduk begitu jauh dari tempatnya. Ia masih merasa kesal karena Marvel tak lagi seperti Marvel yang dulu. Benarkah pernikahan telah mengubah Marvel? Karena kesal dan penasaran dengan sosok istri Marvel, Sunny pun langsung mencari tahu. Dari semua peserta, hanya ada dua orang yang berasal dari Indonesia dan hanya satu orang yang berjenis kelamin perempuan. Ariana Putri Kavita yang membawa brand Franciz. Sunny langsung menyenggol lengan ayahnya saat mereka menonton acara pemberian penghargaan. Ketika itu, nama Franciz baru saja dipanggil dan Ari berjalan naik ke atas panggung. "Pa, Papa jangan pernah kepikiran untuk ngasih perusahaan kecil itu investasi," kata Sunny. Rory membuang napas panjang. "Kenapa? Papa lihat perusahaan itu sangat potensial." "Pokoknya jangan!" gertak Sunny. Sunny semakin cemberut saat menoleh ke kursi Marvel. Ia mendapati mantan pacarnya itu tersenyum begitu lebar dan bertepuk tangan keras-keras untuk Ari. "Sial! Cewek itu bahkan nggak cantik, kenapa Bang Marvel bisa suka, sih?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD