Bab 10. Sekamar dengan Suami

1528 Words
Kedua mata Ari menyipit. Ia tahu siapa Marvel dan keluarganya. Namun, ia tak mau tunduk di bawah kekuasaan mereka. Cukup ayahnya yang bertekuk lutut hingga mau menikahkan putri yang tak tak pernah ia anggap dengan putra keluarga Pratama agar mendapatkan banyak investasi. "Aku nggak mau. Aku bisa ngelakuin ini tanpa bantuan kamu," ujar Ari. "Aku tahu kamu mampu, tapi ... kamu harus berhati-hati," kata Marvel mengingatkan. Ari menatap wajah serius Marvel. Ia mengangguk pelan. "Aku ngerti. Aku nggak bego." Marvel melepaskan lengan Ari. Ia akan membiarkan Ari malam ini. Toh, ini adalah hari bahagia gadis itu. Ia tak mungkin merusak momen indah Ari. Ia masih ingin menikmati senyum manis Ari dari jauh. Dan benar saja, tak jauh darinya Ari terlihat begitu senang. Gadis itu baru saja tertawa lalu menutupi bibir seolah tengah malu, tetapi jelas sekali rona kebahagiaan di wajahnya. Marvel tertawa kecil. "Sial, kenapa liat kayak gitu aja aku udah seneng banget?" "Mungkin Anda udah jatuh hati, Tuan," celetuk Rudi yang sejak tadi membuntuti Marvel dan Ari. Ia bahkan membawa buket bunga milik Ari di tangannya. "Apa? Aku apa?" Marvel menunjuk dadanya. Ia tak mungkin jatuh hati pada Ari yang tidak cantik-cantik amat itu. Ia mengambil gelas wine dari meja lalu meneguknya hingga habis. Ia lantas menunjuk wajah Rudi. "Jangan bicara hal konyol." Rudi menirukan ucapan Marvel tanpa suara untuk meledek Marvel, tetapi tentu saja ia melakukan itu setelah Marvel berjalan di depannya. Marvel menyapa beberapa tamu lain. Ia juga berbicara dengan Rory, ia ingin memastikan bahwa pria itu benar-benar memiliki minat pada perusahaan kecil Ari. *** Setelah pesta berakhir, Ari berniat pulang ke hotel dengan Ikhsan. Ia sudah memesan taksi. Ia juga harus menyiapkan barang-barang miliknya untuk dibawa pulang besok pagi. "Kamu ikut aku!" Marvel tiba-tiba datang dan menarik pergelangan tangan Ari sebelum gadis itu masuk taksi. "Kamu apa-apaan?" Ari mencoba melepaskan diri dari Marvel, tetapi pria itu kuat sekali. "Aku bilang, kamu ikut sama aku. Besok kita pulang bareng," kata Marvel. Ia mengedikkan dagu pada Ikhsan yang masih menunggu Ari di dekat pintu taksi. "Kamu masuk aja duluan. Aku suami Ari, kamu tahu, kan?" Ikhsan melihat Ari menggeleng, tetapi melihat raut tegas Marvel akhirnya ia pun masuk ke taksi dan mobil itu meluncur cepat. Ari mencebik. "Aku harus balik ke hotel. Udah malem, aku harus siapin barang-barang aku buat pulang besok." "Ehm, aku ngerti. Tapi kamu harus naik mobil sama aku," kata Marvel. Ia membukakan pintu mobil untuk Ari lalu mendorong bahu istrinya itu. "Kamu tahu di mana aku menginap?" "Oh, tentu aja. Aku juga menginap di hotel yang sama dengan kamu sejak dua malam lalu," sahut Marvel. Kedua mata Ari melebar? "Apa kamu ... kamu menguntit aku?" "Apa? Menguntit?" Marvel berdecak tak terima. "Kamu ini istri aku. Aku ngikutin kamu karena aku cemas sama kamu." Ari mendesahkan napas panjang. Pantas saja, ia merasa seperti ada yang mengikutinya di setiap tempat yang ia kunjungi. Ia lalu menoleh pada Rudi yang duduk di sebelah sopir. Apa mereka berdua menguntitnya selama ini? "Aku bukan anak kecil yang perlu kamu cemaskan," kata Ari. "Udah, buruan masuk dan duduk. Aku ngantuk," ucap Marvel. Ia kembali mendorong bahu Ari. Ari berjengit karena sentuhan Marvel. Dan ia cepat-cepat masuk ke mobil. Ia memangku pialanya dengan berdebar. Ini adalah pencapaian terbesarnya selama ini. "Ayo kita bikin party," ujar Marvel tiba-tiba. "Apa? Party?" Ari menoleh pada Marvel. Marvel mengangguk. "Kamu layak merayakan semua ini." Ari menahan senyumnya merekah. Tentu saja, ia ingin sekali mentraktir semua karyawannya dan orang-orang terdekatnya. Ia ingin membagikan kebahagiaan ini pada semua orang. Namun, itu membutuhkan banyak sekali uang. "Aku bakal bikin pesta syukuran buat kamu," kata Marvel lagi. "Kamu apa?" Ari mengerutkan keningnya. "Pendengaran kamu nggak bermasalah, kan? Aku mau buat pesta syukuran. Nanti, kalau investasi kamu berjalan dengan lancar kita bikin party yang meriah," kata Marvel. Ari mendengkus. "Nggak usah. Itu boros banget." "Nggak, itu bukan boros. Itu namanya pancingan. Aku bisa undang beberapa relasi yang lain sekaligus mempromosikan produk kamu pada mereka yang belum tahu. Ini namanya win-win." Marvel tersenyum lebar sementara Ari hanya ternganga. "Tapi, kenapa kamu ngelakuin itu? Kamu mendukung usaha aku?" "Tentu aja!" Marvel merogoh saku jasnya lalu mengeluarkan dompet Franciz dari sana. Ari melotot sempurna. Itu dompet buatannya. Keluaran tahun lalu yang merupakan produk yang rilis di awal ia merintis karir. Ia tak percaya, Marvel memilikinya. "Aku nggak tahu kalau ini buatan kamu. Tapi waktu aku beli ini, aku yakin brand ini akan naik daun. Tebakan aku benar," ujar Marvel. Dada Ari bertalu-talu. Bahkan ayahnya tak mau memakai dompet yang ia berikan. Ia sengaja membuat dompet khusus untuk Tanto. Dan dompet itu hanya teronggok di laci meja kerjanya. Sementara di sebelahnya, Marvel baru saja mengatakan kata-kata yang membuat hatinya begitu hangat. "Anggap aja itu sebagian dari bisnis. Kamu atur aja tanggal berapa nanti kita bisa selenggarakan pesta. Aku kenal sama Om Rory, dia baik. Tapi saran aku, kamu harus berhati-hati sama anaknya," kata Marvel. Ari ingat gadis cantik yang ada di sebelah Rory tadi. "Kamu juga kenal sama cewek tadi?" "Ehm, namanya Sunny. Dia mantan pacar aku. Udah lama banget putusnya sebelum aku sama Salsa, tapi dia masih suka sama aku," kata Marvel. Ari berdehem karena ia hampir tertawa. Baginya Marvel memang memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi. "Kenapa? Kamu nggak percaya?" Marvel menggeleng saat di sebelahnya Ari menutup bibir dan mengeluarkan suara tawa tertahan. "Aku nggak bohong. Suami kamu ini banyak yang naksir. Nggak heran, ketampanan aku di atas rata-rata orang Indonesia." Tawa Ari kini benar-benar lepas. Bahkan Rudi harus menggigit bibir agar tak ikut tertawa. "Hei! Kalian berdua. Mungkin kalian pikir ini lucu," gerutu Marvel. Ia melipat kedua tangannya di depan d**a lantaran kesal. "Tapi itu bener. Aku ganteng dan tajir, maklum kalau banyak yang naksir." "Ya! Ya! Aku percaya," kata Ari. Namun, ia masih menahan tawanya dan Marvel yakin Ari hanya bercanda. "Malam ini, kamu akan terpukau dengan ketampanan aku yang sejati," ujar Marvel. "Ma-malam ini?" Ari terbata. Ia tak mendapatkan tanggapan karena mobil baru saja berhenti di depan hotel. Ari mendongakkan wajahnya ke bangunan tinggi itu. "Kita tidur di kamar masing-masing. Paham?" "Nggak bisa. Aku mau tidur sama istri aku setelah aku ditinggal selama dua malam. Anggap aja ... ini malam bulan madu kita," goda Marvel. Ari memerah. Ia keluar dari mobil dengan gugup. Ia memutuskan untuk memeluk pialanya seolah hendak berlindung dari Marvel. Yah, jika pria itu macam-macam mungkin ia bisa memukul kepalanya dengan piala itu. Namun, piala itu lebih berharga dibandingkan kepala Marvel. "Kenapa kamu melotot? Ayo ke kamar!" Marvel merangkul Ari. Ari menegang. Ia jadi ingat dengan sosok Sunny yang cantik dan seksi. Gadis tadi pasti sering berjemur hingga memiliki kulit berwarna tan yang eksotis. Sedangkan Salsa, juga tak kalah cantik dengan kulit putih bersihnya. Salsa memiliki d**a yang besar dan tubuh bak gitar spanyol. Seharusnya Marvel tak akan tertarik padanya. Ia jelek dan tidak—terlihat—seksi. Ia menggeliat dari rangkulan Marvel, tetapi pria itu menahan dirinya begitu dekat hingga mereka masuk lift. "Aku tahu aku bukan tipe kamu," kata Ari. Marvel menoleh sekilas. "Dari mana kamu tahu?" "Aku udah lihat dua mantan pacar kamu. Jadi ... aku bukan tipe kamu. Aku jauh dari mereka berdua, jadi ... aku sarankan sebaiknya kamu nggak dekat-dekat sama aku kayak gini. Kita harus jaga jarak," kata Ari lagi. "Mereka cuma mantan. Tapi kamu istri aku. My wife," ujar Marvel dengan nada menggoda. Ari membuang napas panjang. "Kita nggak perlu sekamar. Aku mau beres-beres baju dan semua barang aku. Jadi ...." "Aku mau tidur di kamar kamu, titik." Marvel menarik tubuh Ari keluar dari lift. "Itu kamar kamu, kan? Ayo." "Vel, tunggu dong. Aku ...." "Bisa kamu panggil aku dengan benar?" Marvel memutar tubuhnya. Ia sedikit membungkuk agar wajahnya sejajar dengan wajah Ari. "Panggil Abang ... dan aku nggak akan gangguin kamu beres-beres." "Janji?" Ari memiringkan wajahnya. Marvel mengangguk. Ia tersenyum ketika bibir Ari bergerak, tetapi tak ada kata yang keluar. "Abang Marvel ...." Ari membasahi bibirnya dan itu membuat sesuatu dalam diri Marvel terbangun. Sumpah, ia ingin sekali menerkam Ari andai saja gadis ini tak memiliki masa lalu kelam. "Ehm ... Abang?" Ari memanggil lirih. Marvel tersenyum lebih lebar. Ia menyentuh puncak kepala Ari. "Bagus, suatu hari aku bakal bikin kamu nggak bisa berkata-kata dan cuma nama aku yang kamu ingat." Ari memerah. "Awas kamu kamu ngelakuin hal aneh-aneh! Kamu harus ingat aku bisa bela diri!" Marvel hanya tertawa. Ia menarik Ari hingga mereka tiba di depan kamar. "Buruan dibuka. Aku mau rebahan." Ari membuka pintu kamar. Ia semakin bertambah gelisah saat Marvel ikut masuk ke kamar besar itu. Ia meletakkan piala itu di salah satu meja lalu menoleh pada Marvel. Pria itu tengah membuka kancing jasnya satu persatu. Ari langsung berpaling dan ketika itu Marvel menghilang di balik pintu kamar mandi. Namun, itu tak lama karena Marvel keluar lagi dari sana hanya dengan celana pendek lalu berbaring di atas ranjang. Ari melotot sempurna saat Marvel memiringkan tubuhnya, sebelah tangan menyangga kepalanya dan membuat ia terlihat begitu seksi. "Lihat? Suami kamu tampan, kan?" pamer Marvel. "Sinting!" desis Ari. Ia melemparkan bantal ke d**a Marvel dan pria itu hanya tertawa. "Katanya nggak mau gangguin!" batin Ari. "Doyan banget bikin mata aku tercemar!" "Cepat berberesnya, My Wife ... aku tunggu kamu di sini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD