Sindiran Halus

1132 Words
“Hah… sanggah lah sepuasmu, sebentar lagi aku akan mendapatkan anakmu itu dan membawanya kemari. Sekarang keluarlah! Ingat, kamu hanya punya waktu seminggu untuk memulihkan kondisimu itu!” pria itu kembali memeberikan isyarat agar para wanita yang sedang menunggu di luar ruangan untuk masuk dan melanjutkan tugasnya. Mereka pun kembali bersenang-senang dan menertawakan Laura yang masih bersimpuh di lantai. Ia menatap pria itu dengan tajam sebelum berdiri dan keluar dari ruangan yang memuakkan itu. Laura berjalan pincang menuju kamarnya. Sakit yang ada pada tubuhnya tidak bisa dibandingkan dengan sakit yang menyiksa di hatinya. Ia sudah tidak tahan lagi berada di tempat seperti ini. Ia harus segera pergi membawa putrinya menjauh dari orang-orang b******k itu. Laura duduk di sisi ranjang dan menatap langit-langit ruangan. Begitu sesak, begitu menyiksa. Dendam yang belum sepenuhnya terbalaskan, sakit hati yang belum juga hilang, semua menyatu menjadi satu muara dalam perasaannya. Ia ingin membalas setiap orang yang telah membuatnya seperti ini, ia tidak akan berhenti sampai mereka benar-benar hancur dan merasakan apa yang ia alami. Air matanya mengalir, membenci kenyataan hidupnya. Namun, jika wajah lugu nan cantik Lina terbayang, ia pun kembali bersemangat. Sungguh hanya putrinya itulah yang membuatnya untuk tidak menyerah. Dihapusnya air mata yang membasahi wajah itu lalu bangkit. Ia pun mengambil tas dan keluar dari kamar. *** Sinar mentari menembus jendela kaca apartemen Rizal yang sengaja tidak ia tutup tirainya dari semalam. Ia masih tertidur pulas. Terdengar suara berdering, karena ia baru tertidur pada dini hari, ia yang biasanya bangun pada jam 5 pagi baru bisa membuka mata saat deringan teleponnya terus menerus berbunyi. Tangannya pun meraba ponsel yang ada di meja dekat ranjangnya. Tanpa melihat siapa yang melakukan panggilan, ia langsung menjawabnya. “Halo…” suara berat seksi khas bangun tidur pun terdengar. “Kau baru bangun?” suara Winda tiba-tiba terdengar. Rizal pun dengan cepat membuka mata dan memastikan siapa yang menelepon. Dilihatnya jam yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ternyata ia kesiangan. “Hmm, sayang. Selamat pagi…” sapa Riza dengan mesra. “Pagi, sayang. Aku baru tahu ternyata kau punya kebiasaan bangun siang sekarang, apa kebiasaan Bagun subuh sudah h memudar?” sindir Winda. kalimatnya terdengar biasa saja, tapi Rizal langsung paham apa maksud dari sindiran itu. “Kau meneleponku untuk membahas sesuatu? atau hanya sekedar menyindir pacarmu lagi-pagi begini?”pancing Rizal. “Dua-duanya, karena baru saja aku mendapat sesuatu yang sangat membuatku sedikit terkejut. Makanya aku langsung meneleponmu. Aku langsung saja, ya. Jadi apa kau bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di gambar ini, sayang?” Rizal membuka foto yang Winda kirim. Ia pun menghela nafas dalam. “Apa kau percaya yang kau lihat ini?” tanya Rizal kemudian. “…” Winda tidak menjawab. “Sebenarnya kau tidak perlu meneleponmu lebih dulu, sayang. Aku baru akan menjelaskan kepadamu karena yakin gambar ini pasti akan sampai kepadamu. Aku memang berencana menjelaskannya padamu. jadi tolong jangan salah paham dan dengarkan baik-baik.” Rizal pun menceritakannya tentang foto yang Wida kirimkan, gambar saat ia dan Lina terlihat seperti berciuman. Winda tidak berkomentar sepanjang Rizal menjelaskan kejadian itu, gadis itu hanya terdengar berkali-kali menghela nafas dalam. “Rizal, kau tahu kan, sebelum aku berangkat waktu itu, aku memintamu untuk menjaga jarak dengan gadis itu karena aku cemburu padanya. Aku percaya padamu tapi tidak kepadanya. Hubungan kita sekarang terhalang oleh jarak yang jauh, meskipun kita mengakui kekuatan cinta kita masing-masing akan terus kuat walau badai besar apapun menerjang, tapi jika salah satu diantara kita sudah mencoba memberi sedikit saja celah untuk orang lain, memberinya kesempatan untuk dekat denganmu, terlepas apapun alasannya, aku sudah tidak bisa yakin lagi akan kesucian hati kita. Karena kau tahu sendiri, kan. Kita tidak punya kuasa apa-apa untuk mengendalikannya, ada zat yang bisa dengan mudah membolak-balikkan keteguhannya. Jadi, jika aku meminta padamu untuk menjaga jarak dengan pasienmu itu, apakah kau bisa melakukannya? Setidaknya lakukan ini setahun saja, sayang. sampai aku berada di sisimu. Setelah itu, kau bebas melakukan apapun untuk membuatnya sembuh. Apakah kau bisa bersikap biasa saka dengan Lina? tolong jangan terlalu dekat dengannya, aku mohon…” Rizal terdiam, ia tahu jika kekasihnya ini sangat khawatir, wanita mana yang tidak akan berpikiran macam-macam jika kekasih yang ia cintai kedapatan berpose seperti itu dengan wanita lain? iya, mungkin ia yang keliru. Terlalu menganggap enteng setiap kedekatan. Mungkin ia bisa menjaga hatinya tetapi ia tidak bisa menyakinkan kekasihnya ini untuk tidak khawatir. “Baiklah, sayang. Aku akan melakukannya untukmu. Maaf, sudah membuatmu khawatir,” ucap Rizal. Mulai sekarang ia akan berusaha untuk tidak memperlakukan Lina dengan khusus lagi. aku “Terima kasih,” sahut Winda. *** Dua hari pun berlalu, Lina terlihat sudah tidak sabar. Ia berkali-kali mematuk wajahnya di cermin, berputar dan mengamati detail penampilannya sambil tersenyum manis. Meskipun 2 hari ini dokter Rizal tidak pernah menghubunginya, dan ia pun tidak berani menghubungi dokter itu lebih dulu. Hari ini gadis itu sangat bahagia, ia akan bertemu dokter untuk sesi terapinya. Ah seandainya waktu di dipercepat saja. Ia sudah tidak sabar, masih ada beberapa jam lagi sebelum gilirannya. Dokter Rizal pasti masih menangani pasien yang lain, dan untuk pasien khusunya ini, tentunya akan ia tangani setelah semuanya selesai agar sang dokter bisa lebih maksimal menghabiskan waktu bersamanya. Tiba-tiba ponselnya berdering, buru-buru ia mengambil ponsel yang ia taruh didalam tasnya. Tapi seketika ia terdiam saat melihat siapa yang sedang menghubunginya. “Winda…?” Ia menghela nafas dalam lalu menjawabnya. “Ha-halo, Kak Winda? apa kabar? Apa kuliahmu baik-baik saja di sana?” sapanya mencoba bersikap normal. Padahal nyatanya jantungnya sedang bergemuruh tegang. Ada apa gerangan wanita ini menelepon nya? “Aku sangat baik di sini. Aku selau usahakan tidak ada kuliah yang tertinggal dan memastikan semua lancar agar bisa segera kembali dan bersama Rizalku lagi,” jawab Winda. Nyut… hati Lina seperti tertusuk. Bagaimana bisa ia melupakan jika ada wanita yang menjadi satu-satunya harapan Rizal ini? Winda benar, wanita ini sangat benar. “Iya, Kaka. Tentu saja. Saya juga berdoa semoga kakak cepat menyelesaikan kuliah dan kembali ke tanah air,” jawab Lina. “Yah, semoga ucapanmu itu benar-benar tulus…” komentar Winda. “Apa maksudmu, Kak?” tanya Lina bingung. Sepertinya ada hal tajam yang tersirat dalam semua ucapannya “Ah, tidak usah dipikirkan,. Aku hanya asal bicara. Oh, ya. Aku hanya ingin berpesan, selama aku di sini, apakah kau bisa menjaga hatimu untuk tidak tertarik dengannya. Aku tahu kau adalah pasiennya yang paling spesial, Rizal memperlakukanmu lebih baik dari pada pasien-pasiennya yang lain. Terus terang hal itu membuatku sedikit terganggu, tapi selama kau tulus dan hanya ingin sembuh, hal itu tidak akan jadi masalah. Kecuali jika kebaikan calon suamiku itu kau salah artikan, itu akan menjadi masalahmu seorang diri. Jadi sebelum semuanya menjadi lebih rumit, tolong jaga hatimu. Baiklah, hanya itu saja. aku juga dokakan semoga sakitmu cepat sembuh agar calon suamiku cepat menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD