Begitu Dekat

1124 Words
Rizal mengulurkan tangan, dengan senyum malu-malu Lina menyambutnya. Mereka pun berjalan menuju lantai dansa. Saat alunan musik terdengar, Rizal menatap Lina dengan dalam, gadis cantik itu pun membalasnya. Senyum bahagia tersungging di bibir manisnya. Lina menatapnya dengan penuh damba, biarlah ia merasakan keindahan ini untuk sesaat saja, biarlah ia melepas semua perasaannya dan menikmati saat indah ini sekarang. Hanya untuk saat ini saja. Rizal tersenyum, ia mulai melakukan gerakan tubuh seiring musik. Lina pun mengikutinya dengan gerakan yang seirama, mereka menyatukan gerak dengan irama musik dansa romantis. Lina seakan mengungkapkan seluruh perasaannya kepada Rizal dalam gerak dansa yang ia mainkan. Begitu dekat, begitu intim, begitu mendalam. Mereka terlihat seperti pasangan yang sedang di mabuk asmara. Keduanya bergerak seirama berpadu dalam alunan musik nan romantis, mata semua orang tertuju pada mereka. Gerakan keduanya membuat semua orang terpana, bagaimana bisa mereka memiliki keahlian dansa itu? Gerakan mereka begitu harmonis tanpa cela, mereka terlihat sangat indah. Satu persatu pasangan maju dan ikuit berdansa bersama, sampai semua pasangan pun ikut serta. Music dansa yang awalnya sangat manis dan romantis telah berubah menjadi musik disko. Tentunya ada DJ juga. Semua orang pun berdansa dengan bahagia seakan tiada hari esok. “Dokter, aku sudah capek,” keluh Lina saat ia merasa sesak di lantai dansa. “Baikalh, ayo kita keluar dari sini!” Rizal pun menarik tangan Lina dan berjalan menauhi kerumunan orang-orang. Mereka memilh duduk berdua dan menyaksikan mereka yang berdansa. “Dokter, kau tahu, aku sangat senang. Aku tidak menyesal ada di sini,” ucap Lina sambil memandangai orang-orang yag sedang asyik berdansa ria. “Oya? Baguslah kalau begitu. berarti aku tidak akan merasa bersalah karena menbuatmu tidak nyaman akibat sikap Rudi,” sahut Rizal sambil meneguk wine yang ada dalam gelas di tangannya. “Hmm, aku sebenarnya sering ke klub bersama teman-temanku, tapi acara reuni seperti ini tidak pernah, apalagi menyewa klub dan berkumpul dengan teman-team saja. Ini pengalaman pertmanku,” ungkap Lina. Rizal tersenyum, ia kembali meneguk minumannya sampai habis. Ia tersu menatap Lina sambil tersenyum, menyadari jika Rizal hanya menatapnya, wajah Lina memerah. “Do-Dokter…” Rizal tidak menjawab, pria itu hanya terus memandanginya dengan dalam. Ada apa dengan pria ini. Apa ia sudah mabuk? “Dokter, kau tidak apa-apa, kan?” Lina menyentuh pundak Rizal. Pria itu tersentak, ia sekaan tersadar dari lamunannya. “Oh, ah… maaf. Aku tadi jadi terbawa suasana, oh, ya sebaiknya kita pulang. Ini sudah larut. Kamu belum mengabari orang tuamu, kan?” ucap Rizal. Lina menggeleng, ia sebenarnya masih ingin bersama Rizal lebih lama di tempat ini, tapi ia tidak mungkin berani mengatakannya. “Ayo…” ajak Rizal sambil beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah salah satu pria yang berdiri tiak jauh dari mereka. Rizal berbisik ke telinga pria itu lalu melangkah melanjutkan langkshnya keluar, Lina pun mengukutinya dari belakang. “Aku langsung mengantarmu pulang saja, ya? sudah larut malam. Mobilmu nanti biar sopir yang bawa,” ucap Rizal sambil memasang sabuk pengamannya. Lina juga melakukan hal yang sama tapi tiba-tiba ia kesulitan memasangnya. Gadis itu terus mencoba tapi sepertinya terjadi sesuatu pada tali pengaman itu jadi ia kesulitan. “Kau bisa melakukannya?” tanya Rizal saat melihat gadis itu kesulitan memasang sabuk pengamannya. “Seharusnya sih bisa, tapi kok sepertinya nyakut,” keluh Nayya sambil terus mencoba memasangnya. “Sini, biar ku bantu.” Rizal lalu mendekat ke arah Nayya dan mencoba memperbaiki tali sabuk pengaman itu. “Hmm, sepertinya memang tersangkut, ah.. coba kita lihat. Permisi sebentar.” Jantung Lina kembali berdetak kencang, bagaimana tidak, jarak dokter dengannya begitu sangat dekat. Bahkan ia bisa merasakan lembutnya sentuhan kulit mereka yang tidak sengaja saling bergesekan. Wangi tubuh dokter Rizal begitu harum memabukkan, ia seketika membayangkan, betapa menyenangkannya jika wangi tubuh itu menempel pada tubuhnya. Apa?! kau sudah gila, Lina. Bisa-bisanya kau berpikiran m***m di saat seperti ini! “Ehm, dokter, a-apa sudah selesai?” tanyanya dengan gugup. “Tunggu sebentar lagi, tahan dulu,” sahut dokter sambil terus memperbaiki tali sabuk pengaman itu. Lina sampai menahan nafas saking gugupnya. Apalagi saat tali sabuk pengaman itu sudah kembali berfungsi, Rizal langsung membantunya memasang. Lina tidak bernafas sama seali. “Nah, beres…” ucap Rizal lalu kembali ke tempatnya. “Huuff…” tanpa sadar Lina menghembuskan nafasnya lega. “Loh, sepertinya tadi kau nahan nafas, ya?” tanya Rizal. “Ah, enggak kok.” sanggah Lina salah tingkah. Ia tidak mungkin jujur, kan? Malu. “Iya, deh. Sepertinya kau tadi gak nafas.” Rizal terus menyudutkannya. “Enggak dokter, mana bisa aku bisa aku nahan nafas selama itu. Kalaupun iya, itu karena jarak dokter itu sangat dekat, jantungku sampai mau meledak saking gugupnya tau!” karena kesal, Lina akhirnya mengungkap jujur. “Oh, jadi kamu gugup tadi aku dekati? Tapi kau baik-baik saja saat bedansa tadi. Kau bahkan sangat lihai dan menikamti kedekatan kita” bukannya berhenti, Rizal malah mengungkit kejadian saat bendansa tadi membuat Lina semakin kalang kabut karena malu. “Loh,kok dokter malah ingat dansa tadi, sih. Itu kan karean aku menikmati musiknya, i-iya musiknya bagus dan terdengar romantis, jadi wajarlah kalau aku ingin terlihta sempurna. Apalagi kita menjadi pasangan pertama yang jadi sorotan, aku mana mau terlihat konyol!” Lina beralasan. Yang sebenarnya adalah karena memang ia sangat menikmati kedekatannya dengan Rizal. “Hmm begitu rupanya. Berarti aku salah mengira dong. Ya sudah lah, kita lanjut,” ucap Rizal sambil menyalakan mesin mobilnya. “Dokter tunggu, ucapan dokter itu… tolong beri tahu aku, apa maksudnya.” Lina tanpa sadar menyentuh tangan Rizal. Pria itu menatap tangan Lina yang menyentuh tangannya lalu tersenyum. “Tidak usah dipikirkan, aku tadi hanya asal bicara. Lupakan saja. ayo kita pulang,” ucapnya dengan lembut sembari melepas tangannya dari tangan Lina. Lina hanya bisa pasrah menyadari kenyataan jika Rizal memang hanya murni menganggpanya sebagai adiknya saja. Ah, perasaan sepihak yang ia rasakna ini, membutanya semakin berani menghanyal yang bukan-bukan. Bisa-bisanya ia berpikir Rizal akan berpaling padanya dan melupakan cintanya kepada Winda. Berhetilah bermimipi Lina…. “Terima kasih, Dok,” ucap Lina lalu turun dari mobil. Rizal mengangguk, “Tunggu Lina!” panggilnya lagi. “Iya dokter?” “Sampai jumpa 2 hari lagi di klinik,” ucap Rizal tersenyum. Lina mengangguk dan terseyum. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Setelah Lina masuk ke dalam, Rizal lalu melajukan mobilnya menembus malam yang begitu dingin. Di dalam mobil ia terlihat hanya fokus memandangi jalan dan beberapa kali menarik nafas dalam. Di saat yang sama, Lina juga terlihat gelisah. Berguling kesana kemari di atas kasur. Ia terus saja memikirkan kejadian demi kejadian yang telah ia alami dan terekam jelas dalam benaknya. Ia merasa resah, gelisah, tersiksa dan semakin cinta. Ia sudah jatuh ke dalam kubangan cinta yang indah namun menyakitkan ini. Tuhan, ambil saja hatiku, agar aku bisa menghilangkan perasaan cinta ini kepadanya….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD