Mendapat Petunjuk

1134 Words
Di saat keyakinan mulai memudar, kepercayaan pun berangsur hilang. jika pun masih memaksakan, hal itu hanya akan menjadi cikal bakal kekerasan. Biarlah hati memilih tempatnya bergantung, tanpa harus menyiksa perasaan. *** Lina membuka mata, ia terkejut menatap sekeliling. Ruangan remang yang hanya diterangi dengan sorot lampu yang berasal dari luar. Ia pun dengan cepat bangkit dari tempatnya dan berlari menuju pintu. Ia masih bisa melihat pintu karena pantulan cahanya yang masuk ke dalam ruangan. Tapi, saat ia mencoba untuk membukanya, ternyata pintu itu terkunci. Lina berusaha membuka pintu itu berulang kali, tapi tidak berhasil. “Tolong buka pintunnya…!” ia mulai berteriak panik. Tapi tidak ada jawaban. Ia terus memukul-mukul pintu itu sambil berteriak, tapi percuma saja, tidak ada yang mendengarkan. Lina menjadi putus asa, sambil menangis, ia jatuh terduduk di lantai. Ia kembali teringat kejadian saat Alex memaksa ikut dengannya. “Kenapa Alex bisa bersikap seperti ini padaku? hiks… hiks… siapa yang akan menolongku? Mama…” Lina semakin terisak. Ia jadi mengingat kedua orang tuanya. Lama ia menangis tanpa bisa berbuat apa-apa, wajahnya tertunduk dalam. Tiba-tiba ia tersentak, seakan mengingat sesuatu yang sangat penting. “Ponsel, di mana ponselku?” Lina berajak dari tempatnya lalu mencari tasnya. Beruntung, tertanya Alex tidak menyita tas yang ia bawa. Ia sangat bersyukur karena ponselnya juga masih ada. Lagi-lagi ia merasa sangat senang karena ponselnya masih aktif. “Aku harus cepat-cepat menelpon dokter Rizal,” gumannya sambil berusaha mencari kontak Rizal. “Tolong angkat, dokter,” gumannya dengan perasaan cemas. “Ha-halo dokter, to…” “Braak…!” Baru saja ia berbicara, pintu langsung terbuka dan Alex muncul dari balik pintu dengan senyum seringai menakutkan. Dengan cepat Lina menyembunyikan ponsel itu, tapi sayang, Alex sudah menyadarinya. Pria itu berjalan perlahan menuju ke arahnya. “Rupanya aku melupakan sesuatu yang sangat penting,” ucapnya lalu merebut ponsel yang Lina sembunyikan. “Jangan…!” Lina berusaha mempertahankan ponselnya, tapi kekuatan Alex jauh melebihi tenaganya yang lemah. “Ho… rupanya kau sudah menghubungi seseorang. Siapa ini? dokter Rizal? Kau menguhungi seorang dokter? Buat apa kau menelpon dokter? Ada-ada saja, aku kira kau akan mencari bantuan polisi, hah… ! Ingat Lina, kau akan selamanya berada di sini jika tidak mau menyetujui ucapanku,” ucap Alex sambil merebut ponel itu dan meninggalkan tempat itu. “Hah… syukurlah dia tidak tahu kalau yang aku hubungi itu adalah pria yang pernah ia temui. Aku mohon dokter, kau harus menemukanku di sini,” gumannya penuh harap. Ia sangat berharap Rizal akan datang menolongnya. Sementara itu, Rizal semakin melaju dengan mobilnya menuju arah deteksi di ponselnya. Apalagi ia baru saja mendapatkan telepon dan mendengar suara Lina, tapi sayangnya sambungan tiba-tiba terputus. Rizal terus melaju bersama mobilnya sampai akhirnya ia berhenti tidak jauh dari kawasan apartemen Alex. Ia sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh agar tidak ketahuan. Alex bisa melihat setiap kendaraan yang masuk dan keluar dari balkon. Sehingga Rizal harus berjaga-jaga. Ia memperhatikan sekeliling sebelum masuk dengan memakai masker dan topi sebagai penyamaran. Ia melangkah menuju lift ke lantai 12. Saat lift terbuka ia berjalan menuju pintu yang bernomor 345. Sementara itu, Alex yang sedang duduk di kursi terlihat sedang gelisah. Ia beberapa kali menghela nafas. Ini kali pertama ia menyekap seseorang. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk memkasa Lina ikut dengannya, tapi penolakan Lina membuatnya gelap mata dan tidak berpikir jernih. Ia pun membawa Lina begitu saja mengukuti kemarahannya. Apalagi saat Lina mengatakan ingin berpisah dengannya, ia sangat tidak terima. Ia sudah terlanjur bergantung dengan wanita itu dan tidak ingin berpisah dengannya. “Apa yang harus aku lakukan?” ia beranjak dari kursi dan berjalan kesana kemari dengan gelisah. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Alex tersentak. Dengan penuh waspada, ia berjalan menghampiri pintu dan mengintip. Ia melihat seorang pria bermasker dan memakai topi hitam sedang berdiri di depan pintunya. “Hah? si-siapa dia? Apa dia polisi yang ingin menggeledah tempat ini?” Alex semakin tidak tenang. Bel kembali berbunyi, ia semakin gelisah, ia tidak segera membuka pintu karena takut. Tapi bel terus menerus berbunyi membuatnya terganggu. Lama-lama ia merasa kesal juga. “Siapa…!!!?” bentaknya penuh emosi. “Paket…!” jawab pria yang berdiri di luar itu. Alex menghembuskan nafas lega karena ternyata pria itu bukan seorang yang ia pikirkan. “Taruh saja di depan pintu, dan pergilah!” serunya. “Tidak bisa, Pak. Saya harus mendapatkan tanda tangan sebagai bukti penerima,” ucap pria itu lagi. Lama Alex berpikir, sebelum ia memutuskan untuk membuka pintu. Ia tidak langsung membuka lebar pintu apartemennya. Ia hanya mengintip memastikan apakah orang itu benar-benar seorang kurir pengantar paket. Saat pintu terbuka sedikit, pria itu memperlihatkan sebuah dus. Alex pun yakin kalau dia benar-benar seorang kurir. Ia pun membuka pintu lebar-lebar dan dengan cepat mengambil kotak itu. “Di mana harus aku tanda tangani?” tanya kepada pria bermasker itu. Pria itu pun mengeluarkan sebuah kertas dan menyerahkannya kepada Alex. “Pulpennya mana?!” tanya Alex, ia menjadi kesal karena kurir itu seperti sengaja mengulur waktu padahal ia harus segera menutup kembali pintunya. “Oh, maaf. Ini,” ucap pria itu lalu menyerahkan sebuah pulpen. Akan tetapi, disaat Alex hendak mengambil pulpen itu, pria bermasker itu tiba-tiba menerobos masuk. “Hei, apa-apaan kau…!” teriak Alex emosi. Bisa-bisanya kurir ini bersikap kurang ajar dengan menerobos masuk ke dalam tanpa izin. “Keluar sekarang juga atau aku panggil keamaanan!” Alex sangat terkejut, ia pun mengancam pria itu padahal dalam hati dirinya sama sekali tidak ingin terlibat dengan keamaan apapun. Pria itu bergeming, pada saat ia membuka maskernya dan tersenyum, Alex terkejut bukan main. “Ka-kau…?!” ucapnya terbata. Ia bahkan sampai mundur beberapa langkah. “Ke-kenapa kau bisa ada di sini? kau perlu apa, hah?!” Alex sudah merasa tidak tenang. “Tentu saja aku datang ke mari untuk menjemut seseorang!” ucap Rizal sambil melangkah menghampiri Alex yang terus melangkah mundur. “Apa maksudmu? a-aku hanya sendirian di sini. Tidak ada siapa-siapa. Sekarang pergi kau atau aku akan memanggil satpam untuk mengusirmu pergi!”Alex kembali mengancam. “Kau ingin memanggil satpam, Kenapa tidak sekalian piolisi saja? aku bisa bantu menelpon mereka.” Rizal mengeluarkan poselnya dari saku celanaya dan hendak menelpon. “Jangan…!” Alex panic bukan main. “Loh, kenapa? bukannya kau hendak mengusirku dari sini? kalau cuma satpam aku tidak takut. Sekalin saja panggil polisi agar tempatmu ini bisa mereka geledah!” Rizal mulai menatap tajam Alex. “Sungguh, ti-tadak ada siapa-siapa di sini. Kau hanya membuang waktumu. Pegilah k*****t!”Alex tiba-tiba menerjang ke arah Rizal dengan melayangkan tinjunya tapi dokter tampan itu adalah ahli bela diri, sehingga serangan tanpa strategi Alex bisa ia atasi dengan mudahnya. Rizal mencekal pergelangan tangan Alex dan menguncinya ke arah punggung sehingga Alex menjerit kesakitan. “Ah lepaskan, sakit…!” pekiknya kesakitan. “Aku akan melepasnya tapi kau harus membebaskan seseorang yang kau sembunyikan atau tangamu akan patah!”ancam Rizal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD