Berusaha Merebut Hati

1130 Words
Mendapat teguran dari orang yang tidak ia kenal membuat pria itu marah. “Hei, kalau kau tidak tahu apa-apa, jangan ikut campur. Dia telah mekukan kesalahan fatal, itulah sebabnya kenapa aku memberinya pelajaran. Kau sebaiknya masuk saja ke dalam kamarmu,” ucap pria itu tidak terima. “Hei, Pak! Aku telah merekam semua perbuatanmu. Siapapun dirimu, jika ini tersebar tentu saja reputasimu pasti akan berakhir. Jadi jangan coba-coba mengancam atau berbuat masalah di depan kami!” ucap Winda, ia masih memegangi ponselnya, memang ia sempat merekam apa yang orang itu lakukan pada si wanita. Pria itu terkejut, ia menjadi semakin marah. Berani-beraninya orang asing ini ikut campur dengan masalahnya. “Apa katamu?! Dasar wanita menyebalkan, hapus semua yang kau rekam itu, hapus…!!” pria itu tanpa ragu langsung menerjang Winda tapi Rizal dengan cepat menghadangnya, mencekal dan mengunci tangannya di belakang punggung. “Akhh…! Lepaskan k*****t, sakit…! kau tidak tahu siapa aku!? Aku akan membuatmu menyesal!” pria itu masih mengancam. “Bicara saja sepuasmu, tapi jika kau berani menyentuh wanita yang tidak berdaya apalagi berniat menyakiti kekasihku, kau tidak akan selamat?” ancam Rizal dengan suara sedingin es. Pria itu terlihat semakin kesakitan, Rizal mencekal tangannya sangat kuat, bahkan terlihat pucat karena kesakitan. ‘ “Ahkkk.. lepaskan, sakit…!” pekik pria itu. Tapi Rizal tetap mencekal tangannya tanpa peduli teriakan kesakitan pria itu. “Rizal, lepaskan saja dia. Aku tidak apa-apa. Kita tidak perlu ikut campur sampai sejauh ini. Yang jelas aku sudah mengantongi bukti. Jika dia berbuat ulah, video ini akan tersebar. Dan juga, CCTV akan membantu. Ayo kita masuk saja,” ucap Winda sedikit khawatir Rizal benar-benar akan mematahkan tangan pria itu. Rizal pun melepaskan cekalan tangannya lalu masuk ke dalam kamar mengikuti Winda. Sementara pri itu hanya menatapnya dengan geram, ia menoleh mencari wanita yang ia siksa tadi, tapi wanita itu ternyata sudah tidak ada. *** “Huffttt…” Winda menghela nafas panjang, ia tidak menyangka kedatangannya ke tempat ini malah membuatnya stres. Ia hanya duduk termenung di sofa. Rizal melangkah mendekatinya. “Katanya sudah tidak apa-apa? Masih kaget?” Rizal menyentuh pundaknya dengan lembut. “Ah, aku baik-baik saja, hanya sedikit kepikiran dengan nasib perempuan itu. Kasian sekali dia. Dia dipukuli seperti itu oleh orang yang ia percaya,” ucap Winda dengan raut wajah sedih. Winda menjadi sedih, seketika kejadian itu kembali memenuhi pikirannya. Peristiwa dimana ia menyaksikan ibunya disiksa oleh ayak kandungnya sendiri hingga tidak bisa berjalan sampai akhirnya lumuh hingga sekarang, tanpa sadar tangannya mengepal menahan sesak. “Sekarang kau istirahat saja, sudah malam juga. Ingat, ayahmu bilang pulangnya jangan siangan karena penerbanganmu sore. Ada banyak hal yang perlu kau persiapkan juga, kan.” Rizal mengingatkan. “Tapi kau juga harus tidur di dekatku, kau sudah janji” pinta gadis itu dengan manja. “Iya, aku sebentar lagi tidur. Kau duluan saja, aku mau cek kerjaan dulu,” ucap Rizal. Ia lalu duduk di sofa dan membuka laptopnya. Winda baranjak ke kasur dan merebahkan tubhnya. Ia menatap ke arah Rizal yang sedang serius dengan laptopnya. “Sayang…” panggilnya. Rizal menagangkat kepalanya dan menatap ke arahnya. “Iya?” “Aku tidak akan kembali setelah setahun kedepan. Aku akan pulang jika sudah menyelesaikan urusanku di sana. Apakah kau bersedia menungguku?” Rizal menghentikan kerjaannya dan menatap Winda dengan serius. Ia pun beranjak dari sofa dan berjalan menghampiri kekasihnya itu. “Aku selalu meyakinkanmu tentang ini tapi aku akan mengulanginya bahkan sampai kau merasa bosan untuk mendengranya. Winda, kita sudah sudah menjalin hubungan selama 5 tahun, dan selama itu pula aku tidak pernah bosan untuk selalu menyayangimu. Karena rasa cintaku semakin hari semakin bertambah. Kau tahu, sejak lama aku menginginkanmu untuk menjadi istriku, andai orang tuamu memberi izin. Tapi kita masih harus bersabar. Winda, aku akan menunggumu sampai kau datang padaku dan bersedia menjadi istriku. Aku berjanji padamu.” tutur Rizal, tatapannya penuh ketulusan dan kejujuran. Winda bisa merasakan itu. Hatinya kembali menghangat, ia jadi merasa bersalah telah meragukan kekasihnya itu. Padahal ia tahu pasti kalau kekasihnya itu adalah pria yang sangat setia. Manusia memang tidak ada yang sempurna, tapi ia sanggup mangatakan jika Rizal adalah sosok lelaki tanpa cela. Dan ia merasa sangat beruntung memilikinya. Winda menyentuh wajah Rizal, wajah tampan itu tersenyum lembut kepadanya. “Terima kasih atas cinta yang sangat besar ini, sayang. Aku juga akan menjaga diri dan hatiku sampai kita bisa selamanya bersama. Aku berjanji padamu,”ucapnya sambil mendekatkan bibirnya ke bibir Rizal. Detik kemudian mereka pun larut dalam kehangatan yang mereka bagi bersama. *** Lina berada di dalam kamarnya. Setelah di antar pulang oleh Leo, Lina hanya mengurung diri di dalam kamarnya. Leo sudah beberapa kali menelponnya meminta untuk bertemu malam nanti tapi Lina menolaknya. “Hah… aku kira melupakan seseorang itu segampag mengucapkan kata-kata. Tapi ternyata sulit sekali rasanya. Perempuan itu juga, sombong sekali, bisa-bisanya dia menyindirku tentang pendidikan. Memangnya kenapa kalau aku hanyan lulusan SMA, dia sudah sombong karena kuliah kedokteran di luar negeri begitu? dasar!” ia menggerutu sendiri. Rasanya sungguh sayang jika Rizal yang sangat baik itu memiliki pasangan yang wataknya suka merendahkan orang lain. “Ah jadi kangen deh sama pak Dokter… astaga! Apa yang kau pikirkan, Lina. Bagaimana bisa kau memikirkan pria milik orang lain. Hah… padahal Leo juga ganteng dan tajir, tapi kenapa aku tidak bisa melupakan Rizal, ya? uh,,,!!” Lina jadi gusar sendiri, ia pun menghempaskan tubuhnya di atas kasur, pikirannya kalut. Keesokan pagi, Lina terbangun karena mendengar suara dering ponsel. Dengan malas ia membuka mata dan meraba mencari ponselnya. “Keningnya berkerut mencoba menyesuaikan mata dengan cahaya ponsel. Terlihat nama Leo tertera di layar. “Halo…”sapanya dengan suara khas bangun tidur, terdengar manja dan seksi. Tak pelak Leo yang mendengarnya di ujung sana menjadi semakin bersemangat. “Iya, halo, Lina. Kau baru bangun?” sapanya. “Hmm, baru saja. Ada apa?” tanya Lina sambil merenggangkan tubuh. Lega sekali. “Enggak, hanya ingin mendengar suaramu pagi-pag,” ucap Leo mulai melancarkan rayuannya. “Kamu bisa aja merayunya, pak CEO. Aku sudah terbiasa dengan ucapan gombal seperti itu, tidak akan berpengaruh!” sanggah Lina. “Tapi ini bukan rayuan, aku serius. Aku ada meeting penting pagi ini dan sebentar lagi aku berangkat ke kantor. Aku ingin sedikit dukungan mangata aku menelponmu, kamu gak keberatan, kan?” ucap Leo membela diri. “Memangnya kau tidak punya pacar sampai menelponku segala” tapi Ya uda, selamat kerja. Semoga meetingmu sukses,” ucap Lina. “Terima kasih, ya. Aku sangat berharap setiap pagi kau mendoakan aku seperti ini. Aku pasti akan semakin bersemnagat,” Ucap Leo. “Uda ah , jangan gombal terus Nanti aku enek, mendengaranya.” Tolak Lina. Ia sudah biasa mendegarkan rayuan para pria yang mengejarnya. Pria itu hanya tertarik pada kecantikannya saja. Sehingga disaat mereka tahu kalau dirinya mengidap penyakit tertentu, mereka akan langsung meninggalkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD