4. Not First Kiss

2258 Words
Seperti yang sudah Lamia duga, Rex akan menjawab bahwa mereka baru saja bertemu. Keras kepala sekali, huh? Mungkinkah Lamia perlu melepas high heels lancipnya ini untuk ditancapkan ke kepala lelaki itu supaya dia ingat? "Aku tidak mengerti kenapa kau bersikeras berkata bahwa kita saling mengenal?" Nada suara Rex memelan di bagian akhir, dia meminum anggurnya dengan tenang seolah tidak pernah terjadi percakapan apa pun. "Mungkin aku salah orang," Lamia angkat bahu. "Bukan 'mungkin' tapi kau benar-benar salah orang," kata Rex membenarkan. "Lihat, aku baru saja kembali dari Jerman. Aku menetap di sana selama lima tahun lamanya." "Oh, mengurus pekerjaan?" Sesungguhnya Lamia tidak menyukai topik itu, seluruh informasi tentang Rex memang tidak dia sukai, namun Rex nampaknya senang mereka banyak mengobrol. Diskusi kerja mereka telah selesai beberapa saat lalu, dan Lamia menetap karena Rex berkata akan mentraktirnya makan. "Tidak sepenuhnya. Ada satu dan dua hal pribadi yang harus kuurus." "Pribadi? Pergi berlibur dengan tunanganmu?" Kalimat Lamia terdengar tak sopan di depan orang yang baru saling kenal, padahal dia sama sekali tak berniat untuk memberikan kesan buruk. Justru dia harus menggoda Rex, 'kan? Shit! 'Ini tidak akan berhasil, Anna.' Lamia menggumam. "Maaf, lupakan kalau aku pernah bertanya." Dia mengubah posisi kakinya dengan anggun, membuat bagian gaunnya yang terbuka memperlihatkan pahanya. "Aku bingung harus bicara apa." Lalu Lamia juga bingung kenapa dia harus minta maaf. "Aku mengerti kalau kau sedikit bosan." Rex maklum. "Setelah makan hidangan penutup, kita akan menyudahi obrolan ini." Keheningan sementara diisi Lamia untuk mengintip isi tas tangannya sebagai pengalih. Pelayan tiba-tiba datang membawakan dessert tiga menu berukuran mini, semuanya manis. Tanpa diminta, Lamia mengambil satu piring cake dan memasukkannya ke mulut; rasa lembut kapas segera menyebar ke langit-langit mulutnya. "Enak," gumamnya tanpa sadar. "Itu cloudy bread, rekomendasi di sini." Rex dengan bangga mengatakannya. "Kepala chef restoran ini adalah teman lamaku saat kuliah, dia orang yang cukup hebat." "Aku tidak pernah makan yang seperti ini." "Ingin kupesankan lagi? Kau bisa pesan berapa pun, aku akan membayar semuanya. Kau juga bisa memesan untuk take away." "Dasar lelaki kaya yang menyebalkan." Lamia menggerutu tanpa sadar. "Maaf?" Kepalang tanggung, Lamia melanjutkan, "Lelaki kaya itu selalu menyebalkan. Menggoda wanita dengan berkata; 'Aku akan membayar semua yang kau beli' dengan bangga membuat wanita bertekuk lutut lalu mencampakkan mereka seperti tulang." Rex terdiam di bawah tatapan kesal Lamia, sepenuhnya merasa tidak mengerti dengan isi hati wanita di hadapannya ini. Penampilannya tidak begitu mencolok dan mungkin agak tomboy, mulutnya kadang-kadang tajam seperti ujung jarum tipis. Berdasarkan karakternya, dia mungkin adalah wanita yang biasa hidup keras. "Kau tidak bisa menyamaratakan semua lelaki kaya. Kurasa aku lelaki yang cukup bertanggungjawab." Rex mulai menyantap dessert miliknya. Dahi Lamia mengerut dalam-dalam. "Yah, kau terlihat cukup menjanjikan." "Apa maksudmu?" "Huh? Apa? Tidak ada." Dengan pelan garpu yang dipegang Rex kembali diletakkan di piring. Tatapannya lurus tajam pada Lamia. "Apa mungkin kau sedang menyamakan lelaki yang pernah menyakitimu dengan aku?" Lamia mengerjapkan mata. "Sebelumnya, kau bersikeras berkata bahwa kita mungkin saling mengenal. Apa aku dan mantanmu begitu mirip?" 'Lelaki itu adalah kau sendiri, Rex sialan!' Tidak langsung menjawab, Lamia mengusap bibirnya dengan serbet secara teratur. Tubuhnya maju dengan tersendat hingga perut menabrak pinggiran meja. Sengaja merunduk menampilkan belahan dadanya ke depan. Posisi ini sangat ambigu, seperti pelacurr. Tapi, ini kata Anna adalah posisi favoritnya untuk menarik perhatian lelaki karena saat itu lantang pandang mereka sangat minim. "Mana mungkin aku menganggap kalian sama, Mr. Winston? Kau lelaki baik dan menawan. Apalagi kau sopan dengan wanita." Alis Rex naik. "Terima kasih pujianmu." Tak disangka Lamia, pria itu berdiri mengambil jasnya dengan gerakan terlampau cepat. Otaknya masih belum mencerna dengan benar ketika jas itu melayang melewati kepalanya dan tersampir di bahunya yang terbuka. "Kurasa AC di sini cukup dingin dan pakaianmu cukup terbuka." Rex memanggil pelayan setelah melakukan itu. Lamia tertegun. "Aku pesan beberapa kotak dessert untuk take away. Berapa usia anakmu, Mrs. Ainsley?" "Empat tahun," jawab Lamia masih linglung. Suara-suara di sekitarnya mendadak bersatu membentuk angin puyuh yang besar. Tanpa sadar Lamia mengusap kain jas itu, teksturnya lembut, harum parfum maskulin. Kemudian beberapa paperbag telah hadir di mejanya, tepat setelah Lamia sadar. "Beberapa makanan ini untukmu. Anggap saja sebagai hadiah untuk kerja sama kita." "Kurasa tidak perlu." Lamia duduk tegak, jas jatuh dari bahunya. Dalam situasi ini, ada perasaan ganjal yang tiba-tiba hinggap pada Lamia, sehingga untuk mendistraksi otaknya, dia mengambil jas itu perlahan. Masih keras kepala untuk menonjolkan belahan dadanya. Lamia tidak percaya kalau Rex tidak tertarik dengan keseksiannya, atau mungkin Lamia memang terlalu norak untuk dikagumi? "Ini tidak repot sama sekali, Mrs. Ainsley." Rex mengambil jas yang disodorkan Lamia, tangan pria itu bersentuhan dengan jemarinya tanpa sadar. Seperti punya efek setrum, Lamia menarik diri secepat kilat. "Jas itu terlalu mahal untuk punggungku yang murahan," sindir Lamia tiba-tiba. "Kau tidak murahan. Menurutku kau wanita yang cukup hebat. Kenapa kau selalu merendahkan diri?" "Terkadang aku memang rendah diri." Rex meraih paperbag di meja dan mengajak Lamia keluar dari tempat itu. "Rendah diri tidak selalu berakhir baik. Kau bisa diinjak oleh orang lain." Mereka berdua beriringan masuk ke dalam lift, sebelum pintu perlahan menutup, menyembunyikan percakapan pribadi ke udara. Saat lift mulai turun, wajah Rex yang tanpa ekspresi tercermin di pintu baja. Di sisi lain, Rex tampak menjaganya saat ada pengunjung lain masuk ke lift. Tubuhnya yang besar memengaruhi keberadaan Lamia sehingga tak bisa dilirik. Rex menoleh dari bahunya. "Tolong pegang tas ini." Di tengah lift yang lumayan penuh, Lamia melirik ke bawah dan melihat tangan Rex. Mengambil paperbag itu. "Kau tidak perlu—" Ucapannya tertahan ketika tubuh Rex berbalik dan mereka saling berhadapan. "Kau boleh menolak, tapi aku memberikan cake itu untuk anakmu." "Kalau begitu terima kasih." Dari awal hingga akhir, Lamia sadar bahwa meskipun Rex bicara dengan manis tapi tidak pernah ada senyum di wajahnya. Hanya ada kesan tegas dan dingin, seperti lelaki dewasa maskulin. "Siapa nama anakmu?" tanya Rex. Lamia terdiam sebentar sebelum menjawab, "Miki." "Nama yang cukup imut." Lift yang sempit terasa sangat lama untuk turun. Percakapan mereka bisa dibilang hanya basa-basi tidak penting. Lamia tahu bahwa Rex berusaha keras mencairkan kebekuan, tapi dia tak menyangka bahwa seiring mereka mengobrol, dia menemukan ketertarikannya pada sifat pria itu. Di sisi lain, ketika dia mulai tergerus aliran sungai, dia mulai berpikir bahwa sikap baik Rex mungkin hanya kamuflase. Pria itu mungkin sengaja menumbuhkan kesan bahwa dia adalah pria baik, sehingga mudah untuk membuat wanita bertekuk lutut. Sorry to say, Lamia tidak akan tertipu lagi. Berakting untuk pura-pura baik dan menggoda ternyata lebih sulit dari bayangan Lamia. Misinya gagal total. "Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu," tawar Rex begitu lift hampir tiba di tujuan. "Tidak perlu, Mr. Winston. Aku tidak bisa merepotkanmu lagi." Dahi Rex mengerut. "Panggil aku Rex, kurasa usia kita tak jauh berbeda. Aku akan memanggilmu Lamia." "Baiklah, Rex, berapa usiamu?" "Tahun ini aku genap 32 tahun. Kau sendiri?" "Aku 27 tahun." Rex nampak terkejut. "Wow, usia yang cukup muda untuk mempunyai anak berusia 4 tahun." Lamia hanya mengangkat bahu. "Bisa dibilang begitu." 'Memangnya siapa yang membuatku jadi begini, berengsek?!' rutuknya dalam hati. Dibanding rekan bisnis, mereka tampak seperti sedang menjalani fase perkenalan dalam perjodohan orang tua. Kecanggungan ini begitu alami. Lamia ingin muntah. Bunyi lift tiba menjadi oase baginya. Meskipun dia tak meminta, Rex nampaknya sengaja membiarkan orang lain terlebih dahulu baru membimbingnya keluar. Lift itu mengarah langsung ke lobi dan udara di sini lebih dingin menusuk. Sial sekali, dia harus memakai dress minim seperti ini. Sialan kau, Anna! "Aku akan mengambil mobil sebentar, tunggulah di sini." "Tidak perlu, Rex. Aku serius." "Naik taksi malam-malam tidak selalu aman, dan kau wanita." Lamia segera putar otak. Aman atau tidak rasanya taksi lebih baik daripada dia harus satu mobil dengan Rex. "Temanku bisa menjemput, kurasa dia ada di sekitar sini." Rex mengalah. "Baiklah, aku duluan kalau begitu." "Berhati-hatilah." Meskipun berkata akan pulang duluan, nyatanya Rex tidak segera melakukan itu. Sebaliknya dia berdiam diri di dalam mobil merahnya dan menjatuhkan punggung di sandaran jok. Tidak ada hal penting yang dipikirkannya, namun bayangan Lamia masuk begitu saja di otak. Memang pada awalnya dia hanya bersikap baik karena mereka rekan kerja, semua hanya dipengaruhi bisnis. Hanya saja sikap yang ditunjukkan Lamia terasa ganjal baginya. Biasanya wanita akan berusaha keras untuk membuat Rex terkesan bagaimanapun caranya, tapi Lamia, dia secara terang-terangan menunjukkan bahwa dia wanita yang bermulut tajam. Ini sangat lucu. Tanpa sadar setengah jam hampir berlalu, Rex segera memutar mobilnya dan keluar dari basemen parkir. Dia sengaja lewat lobi restoran untuk memastikan Lamia telah pergi, dan wanita itu benar-benar sudah pergi. Namun ketika dia telah keluar dari halaman restoran dia menemukan wanita itu masih berada di pinggir jalan. "Naiklah." Rex membuka kaca gelap mobilnya dan memerhatikan bagaimana Lamia agak menggigil karena udara malam. "Jangan menolak lagi, kau bisa mati kedinginan." Mata Lamia bergerak tak nyaman. Rex turun untuk membuka pintu penumpang sambil menghadapi Lamia secara langsung. "Kau mungkin tak masalah untuk pulang terlalu malam, tapi bagaimana dengan Miki?" Wanita itu masih saja keras kepala meskipun pintu sudah dibuka dengan lebar. "Temanku mungkin akan—" Sebelum Lamia menyelesaikan kalimatnya, tangannya dicengkeram oleh Rex, dan dia didorong masuk agak paksa. Kepala Rex menyembul dari pintu. "Kau bisa menunggu di dalam. Udara malam tak bagus untuk kesehatan." Rex masuk ke kursi kemudi dan menyalakan penghangat. "Pakai jas ini." "Kau tidak perlu repot-repot begini, aku sebenarnya terbiasa sendiri." Rex menjawab, "Laki-laki tidak bisa disebut jantan jika mereka membiarkan wanita sendirian di pinggir jalan." "Apa aku terlihat begitu murahan karena berdiri di pinggir jalan?" "Aku tidak berkata begitu." "Aku sedang bertanya padamu." Agak geram, Rex akhirnya menghadapinya. "Kenapa kau nampak begitu menghindariku? Apa aku benar-benar mirip dengan mantanmu?" Lampu-lampu pinggir jalan tampak temaram dan kendaraan jarang melintas. Kesunyian membuat Lamia merasa semakin dingin di bawah tuntutan mata Rex. Nyatanya, meskipun dia berusaha untuk tidak menaburkan kebencian, mulutnya tanpa sadar melakukan itu. Dia menghela napas. "Maaf, mungkin aku telah membuatmu tersinggung dengan sifatku." "Daripada tersinggung, aku hanya bertanya-tanya." Sinar kuning dari lampu terdekat menyorot ke kaca depan, tepat menyinari sisi wajah Rex yang tampan. Bulu-bulu tipis janggutnya secara teratur membentuk bayangan di sisi wajah yang lain. Walaupun membencinya setengah mati, Lamia tetap tak bisa membohongi dirinya bahwa lelaki itu sangat menawan. Lamia menunduk. "Aku punya sedikit trauma dengan laki-laki. Aku sama sekali tidak bermaksud bersikap tidak menyenangkan, itu mungkin naluri." "Sepertinya aku paham situasimu, aku juga ingin meminta maaf." "Minta maaf?" Lamia menoleh dan menemukan Rex telah bersandar seutuhnya di jok mobil. Bayangan lampu menyembunyikan sebagian tubuhnya yang tinggi dan tegak. Wajahnya lurus ke depan, diterpa sinar lembut. Setelah diam agak lama, Rex akhirnya menjawab, "Tempo lalu di toko baju, aku melakukan pelecehan terhadapmu. Aku sangat menyesal." Daripada ingat tentang pemerkosaan yang dilakukannya lima tahun silam, Rex malah mengingat tentang hal yang cukup remeh. Seberapa banyak hal yang ingin selalu dia sembunyikan ini? Apa Lamia benar-benar salah menduga pelaku? Tidak! Tidak mungkin! Lamia yakin sekali pria malam itu adalah Rex Winston, walupun di ambang kesadarannya sekalipun, dia tak akan pernah lupa dengan wajah Rex muda yang berjanggut. Dia bahkan masih memiliki kartu namanya. "Kau mau memaafkanku, bukan?" Suara Rex membuyarkan Lamia yang terpasung. "Itu bukan masalah besar lagi. Kita sekarang rekan bisnis. Aku seharusnya tak emosional." "Wanita emosional itu wajar saja. Itu sifat yang unik dari kebanyakan wanita." Lamia mengangkat bahu. "Ini sudah terlalu larut, sebaiknya aku antar kau pulang," Rex menghidupkan mesin mobil tanpa persetujuan. "Kali ini kau tidak bisa berdalih lagi." "Jadi aku begitu mudah ditebak?" Rex tidak mengiyakan atau menyanggah, mesin mobil berderam di jalanan aspal dengan bunyi yang rendah. Setengah jam berikutnya mereka sampai pada kawasan rumah Lamia yang berada tak jauh dari jalan raya. Kanan kiri perumahan tampak sudah menyalakan beberapa lampu, sinarnya begitu terang benderang. Rex turun untuk membuka pintu. "Itu rumahmu?" Lamia sedang berusaha keras bergerak saat ujung heels sepatunya tersangkut di bawah. "Iya," jawabnya. "Kenapa lampunya tidak menyala?" Tanpa mendengar jawaban Lamia, Rex tiba-tiba terkejut karena tubuhnya ditarik jatuh. Karena terlalu mendadak, dia tak bisa menjaga keseimbangan, namun tangannya sempat mencari pegangan ujung pintu. Rex tidak bisa berkata-kata ketika jaraknya dengan Lamia terlampau tipis, terlebih bibir mereka bersentuhan dalam posisi yang kaku untuk beberapa saat. "Apa yang kau lakukan?!" Lamia menutup mulutnya dengan jari-jarinya yang ramping. Rex berdeham. "Seharusnya aku yang bertanya. Kau tiba-tiba menarik tangannya dan aku jatuh." Adegan ini seperti pernah mereka alami di suatu tempat, bedanya saat itu mereka tidak sampai berciuman. Setelah terbata-bata sementara, Lamia menghela napas. "Kakiku tersangkut di bawah, saat akan berdiri aku terjatuh, tanpa sengaja menarikmu. Jadi, ini salahku, maaf sudah berteriak." Tanpa menjawabnya, Rex berjongkok untuk memeriksa kakinya. Tali-tali yang mengait di kakinya dilepas secara lembut. Lamia menegang saat jemari Rex bersentuhan dengan kulitnya, pria ini benar-benar seperti listrik. Rex bahkan tak keberatan mengangkat kakinya keluar dari mobilnya terlebih dahulu. Rupanya ujung heels sepatu Lamia benar-benar tersangkut. "Kau sepertinya tidak terbiasa memakai sepatu tinggi," komentar Rex. "Yeah." Setelah mengotak-atik beberapa saat, sepatu itu berhasil keluar. Agak tergores sedikit. "Jangan pakai sepatu terlalu tinggi jika kau merasa tak nyaman." Lamia yang telah berdiri dengan satu kaki saat itu pasrah saja saat Rex membantu memasangkan sepatu itu, bahkan mengikat tali-talinya dengan rapi. Gerakan pria itu bahkan sangat lembut dan menjaganya. Lamia tidak mengerti apa ini benar-benar sifat Rex yang sesungguhnya. "Beruntung sekali wanita yang menjadi pacarmu saat ini, Rex. Kau begitu perhatian." Lamia basa-basi. Siapa sangka Rex akan memberikan senyum tipis. "Kuharap dia merasa seperti itu." Yang dimaksud pasti wanita bernama Rose Wylmar dan Lamia merasa tak ingin melanjutkan topik pembicaraan lebih jauh. Dia berkata, "Dia pasti wanita yang sangat beruntung memilikimu." 'Seandainya dia tidak tahu kalau kau adalah lelaki busuk, Rex. Tapi ... sebentar lagi dia pasti akan mencampakkanmu,' tambah Lamia dalam hati. tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD