Bab 5. Hari yang Menyebalkan

1278 Words
"Oliv, lo nggak apa-apa 'kan? Pak Bos ngomong apa aja sama lo di dalam sana. Lama banget sampe kita semua cemas," ucapan dengan nada khawatir itu menyambut Olivia saat gadis itu kembali ke ruang divisi keuangan. "Semuanya baik-baik saja," sahut Olivia singkat menenangkan sang teman yang menatapnya khawatir. Mana mungkin dia mengatakan mengenai kesepakatan gila yang ditawarkan oleh Panji saat ini. Bisa-bisa dia akan dicap sebagai gadis halu yang menjadikan Panji sebagai suami khayalannya. Biar saja mereka semua tahu saat yang bersangkutan menjalankan ide gilanya itu. "Olivia, nggak usah ditutup-tutupi lagi. Lo pasti di dalam sana diomelin habis-habisan sama Pak Bos 'kan. Makanya punya mulut itu dijaga, jangan asal jeplak aja kayak tadi. Nggak enak 'kan dapat kesan buruk di hari pertama Pak Bos berkantor," ejekan yang meluncur seketika itu membuat suasana hening. Olivia menatap tajam seorang gadis yang dengan riasan super tebal dan baju ketat. Sambil menyunggingkan senyum sinis Olivia mendekat ke arah rekan satu divisi yang sering berseteru dengan dirinya. "Yang diomelin 'kan gua, kenapa yang repot lo. Dan kalau punya banyak waktu untuk bergunjing, seharusnya kerjaan lo sudah selesai. Tapi mana kenyataannya? Jangan menghambat kerjaan satu tim karena lo yang nggak kompeten!'' Gadis itu langsung menciut nyalinya saat Olivia membentaknya. Bahkan semua rekan tim Olivia tidak ada yang berani bertanya lagi jika gadis itu sudah marah besar. Olivia akhirnya dapat menghela napas lega, setidaknya untuk saat ini dia akan aman dari rasa ingin tahu rekan satu divisinya. Tidak ingin terlarut dalam pikirannya, membuat Olivia langsung mengerjakan tugasnya yang sudah menumpuk. *** Sore itu saat sebagian besar karyawan sudah meninggalkan gedung perkantoran, hanya Olivia yang masih bertahan di ruangannya. Gadis itu tidak ingin berebutan untuk menaiki bus Transjakarta yang pastinya akan ramai di jam pulang kerja seperti ini. Lagipula sesampainya di kontrakannya, Olivia ingin tidur seusai makan malam. "Kenapa belum pulang?'' Suara berat itu menarik Olivia dari fokusnya. Gadis itu menoleh dan melihat Panji yang berdiri di sampingnya. Tinggi menjulang seperti raksasa, sehingga Olivia merasa keberadaannya sangat kecil. "Ini cowok memang gantengnya spek dewa. Yuda mah kalah jauh," ucap Olivia di dalam hatinya mengagumi Panji. "Hey, kenapa jadi bengong? Kamu nggak kesurupan 'kan? Mulai besok saya harus memerintahkan bagi HRD agar tidak ada yang mengambil lembur. Saya nggak mau ada karyawan yang kelelahan karena bekerja terlalu giat," ujar Panji dengan suara yang cukup keras. "Ekh, maaf Pak. Saya sempat melamun tadi. Kenapa Bapak ada di sini?'' tanya Olivia yang merasa jika dirinya seperti orang bodoh saat ini. "Pertanyaan sama untuk kamu. Kenapa masih ada di sini padahal sebagian besar rekan kamu sudah pulang?'' Bukannya menjawab Panji malah memberikan Olivia pertanyaan. "Masih macet jam segini Pak, males juga kalau harus dempet-dempetan naik bis," jawab Olivia yang kini memutuskan untuk membereskan pekerjaannya. Sudah jam 17:50 dan perut Olivia mulai terasa lapar. Tidak ada gunanya juga bekerja dengan perut kosong. Panji hanya terdiam lalu mengernyit saat melihat Olivia sedang merapikan penampilannya. Hanya mengelap wajahnya dengan selembar tisu basah tanpa berdandan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan karyawati lainnya. Namun anehnya wajah chubby Olivia justru memancarkan kecantikan alami yang tidak akan pernah Panji bosan untuk melihatnya. "Saya pulang dulu ya, Pak," ucap Olivia yang kini meninggalkan Panji namun dengan cepat pria itu memegang lengan Olivia sehingga gadis itu tak jadi melanjutkan langkah kakinya. "Pak? Pak, lepasin tangan saya. Udah nggak tahan mau ke toilet ini, kalau saya ngompol bagaimana?'' Olivia hanya dapat memejamkan mata setelahnya, dia merutuki kebodohannya yang berbicara sembarangan. Sementara Panji hanya tertawa kecil dan menggandeng Olivia menuju ke dalam ruangannya. Pikiran Olivia sudah berkelana ke mana-mana, termasuk pergulatan panas dirinya dan Panji tempo hari. "Hentikan pikiran m***m kamu itu, saya nggak akan mengotori kantor untuk berbuat hal itu," ucap Panji sembari menyentil dahi lebar Olivia. "Aduh! Bapak kenapa sih sasarannya jidat mulu? Terus atas dasar apa Bapak menuduh saya memikirkan kejadian malam itu?" Protes Olivia dengan memberengut. "Biar pikiran kotor kamu hilang semua. Muka kamu itu sudah mengatakan semuanya. Cepat sana tuntaskan panggilan alam kamu, setelah itu saya antar kamu pulang," ucap Panji yang kini mendorong tubuh Olivia ke depan pintu kamar mandi. 10 menit kemudian, Olivia keluar dengan perasaan yang lebih lega. Panji masih berdiri dengan menyandarkan tubuh di dingin dan menyilangkan kedua tangannya. Pose uang yang bagi Olivia persis seperti model. "Kita pulang sekarang," ajak Panji yang kini memasukkan ponsel ke dalam saku vest rompinya. Panji sudah melepaskan jasnya sejak siang tadi karena tidak tahan dengan udara panas yang melanda Jakarta dalam beberapa minggu terakhir. "Tapi saya mau makan ayam goreng di tempat pecel lele langganan saya, Pak," ujar Olivia yang berharap jika Panji akan merasa ilfeel dan memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. "Ayo, kebetulan saya juga sudah lapar." Olivia terkejut, tidak menyangka jika Panji akan mengikutinya ke warung makan untuk rakyat jelata. Akhirnya dengan pasrah Olivia mengikuti langkah kaki Panji. *** Suasana rumah makan sore ini tidak terlalu ramai. Mungkin pengaruh dari azan magrib yang sedang berkumandang. Hanya ada beberapa meja yang terisi. Setelah menyebutkan pesanannya kepada pemilik warung, Olivia segera menarik tangan Panji menuju meja yang kosong. Panji hanya terdiam saat baru saja melangkahkan kakinya memasuki tempat ini. Olivia tidak dapat menyalahkan sikap pria itu. Orang dengan kekayaan melimpah mana mungkin sudi menjejakkan kaki di tempat yang menurut mereka kumuh. "Kalau Bapak nggak mau makan, bagian Bapak dibungkus saja biar nggak mubazir. Ini belinya pakai duit bukan daun," ucap Olivia dengan ketus saat melihat Panji seakan enggan menyentuh makanan yang ada berada di piringnya. "Ya saya juga tahu kalau beli sesuatu pakai uang bukan daun, terus apa masalahnya kalau saya nggak mau memakannya." Olivia tercengang saat mendengar jawaban angkuh dari Panji itu. "Ckck, dasar orang kaya," sindir Olivia yang lalu melanjutkan makannya. "Wah Kak Oliv ternyata makan di sini juga toh. Aku kira Kakak maunya makan di restoran mahal saja." Sebuah suara terdengar dan keduanya serempak menoleh ke sang pemilik suara. Olivia tertegun saat melihat Yuda yang sedang merangkul Belinda dengan mesra. Luka dihatinya yang belum mengering kini kembali ternganga dan perih bak tersiram air garam. Untung saja Olivia sudah menyelesaikan makannya, tak terbayang bagaimana dia harus mengunyah makanan di tengah rasa sakit yang masih menguasai hatinya. "Hari ini sungguh menyebalkan sekali, nggak di kantor nggak di sini buat emosi aja." Maki Olivia di dalam hati. Panji memutuskan untuk diam sembari mengamati interaksi diantara ketiganya. Jika keadaan sudah menyulitkan bagi Olivia, baru Panji akan turun tangan sekaligus memberi pelajaran kepada Yuda bagaimana menghargai wanita. "Adikku koq sejak menikah makin d***o aja, ya. Ini 'kan tempat umum jadi suka-suka gua dong. Masalah buat lo?" ucap Olivia dengan nada tengil, mencoba menahan rasa sesak di d**a. Belinda yang sempat merasa tersinggung mencoba menetralkan raut wajah dan kembali menyahuti sang kakak tiri. "Kak Oliv mah nggak mau ngaku ya ke pacarnya kalau udah diusir Papa karena tidak pulang semalaman waktu pesta pernikahan aku. Kak, ikhlasin aja aku menikah dengan Mas Yuda. Dia terlihat lebih bahagia saat ini daripada saat masih bareng kakak." Tanpa ragu Belinda mengatakannya dengan harapan jika pria yang sedang bersama Olivia akan menjadi ilfeel. Bayangan Olivia yang kembali menangis menjadi kesenangan bagi Belinda. Olivia menggeram sembari mengepalkan kedua tangannya, sebenarnya dia bisa saja menghajar keduanya saat ini. Tapi Olivia masih memiliki akal sehat, dia tidak ingin mempertaruhkan reputasinya hanya untuk meladeni Belinda yang ingin melihatnya merah. "Benar apa kata Belinda, Oliv. Aku sudah bahagia karena sudah menjadikan Belinda istriku. Lebih baik lupakan saja kenangan kita berdua, ya? Aku kasihan lihat kamu seperti ini ..." Belum sempat Yuda menyelesaikan kalimatnya, Panji sudah memotongnya, "Sudah cukup kalian bicaranya? Kalian tidak perlu mengkhawatirkan Olivia. Karena mulai sekarang dia adalah tanggung jawab saya, bilang pada orang tua kamu jika saya akan melamar Olivia secara resmi secepatnya." "Itu semua pasti bohong!'' teriak Belinda yang tidak terima akan perkataan Panji.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD