Bab 6. Acara Lamaran yang Kacau

1295 Words
"Tidak mungkin! Katakan jika semua itu adalah bohong, mana mungkin ada seorang pria yang tertarik dengan penampilan kakakku yang seperti ini?'' Belinda langsung tersulut amarahnya saat mendengar Panji yang akan melamar Olivia di depan Johan-ayah mereka. Jelas saja Belinda tidak terima jika Olivia cepat mendapatkan pengganti Yuda. Apalagi Panji jelas jauh lebih tampan daripada sang suami. Teriakan Belinda tak ayal mengundang rasa penasaran para pengunjung rumah makan itu. Bahkan ada beberapa orang yang bersiap merekam, karena merasa mendapatkan konten yang bagus untuk di-posting pada media sosialnya. Tipe manusia yang memanfaatkan kesusahan orang lain demi mencari keuntungan sendiri. "Apanya yang tidak mungkin, Nona? Saya mencintai kakak Anda dan tidak ingin kehilangannya. Jadi wajar saja kalau saya melamarnya untuk menjadi istri. Terus bagian mana dari Olivia yang tidak sempurna? Bukannya semua anggota tubuhnya lengkap, Olivia juga sehat dan tidak memiliki penyakit yang mematikan. Itu YANG PALING PENTING." Belinda tidak dapat berkata-kata lagi saat Panji menekankan 3 kata terakhir dalam kalimatnya. Apalagi pria itu mengatakannya dengan suara dingin membuat Belinda merinding. Beberapa pengunjung wanita yang mendengar perkataan lantang Panji itu akhirnya terbagi dalam dua kubu. Kubu pertama yang memuji Olivia beruntung karena memiliki kekasih yang gentle. Dan tentu saja kubu yang mencibir Olivia karena merasa jika gadis bertubuh agak tambun itu tidak pantas bersanding dengan Panji yang memiliki wajah yang tampan. Sementara itu Yuda menatap tak suka Olivia yang akan segera menikah dengan pria lain. Pria itu juga sama seperti sang istri yang yang tak percaya jika Olivia sudah melupakan dirinya. "Pak, ayo kita pergi dari sini sekarang. Saya akan meminta makanan Bapak untuk dibungkus saja," ucap Olivia yang mencoba memecahkan ketegangan di tempat ini. *** "Bapak tidak serius 'kan dengan ucapan Bapak yang akan melamar saya di depan Papa saya?'' tanya Olivia saat mereka sudah berada di dalam mobil Panji. "Olivia, saya ini masih memiliki adab. Tidak mungkin saya akan menikahi anak gadis orang tanpa memintanya dari orang tuanya. Itu terdengar tidak sopan dan kurang ajar," jawab Panji yang mulai melajukan mobilnya meninggalkan tempat makan sederhana itu. "Tapi bukannya pernikahan ini hanya kesepakatan bisnis di antara kita berdua? Dan saat tujuan Bapak dan saya tercapai, tidak mungkin kita akan melanjutkan pernikahan ini. Kita pasti tidak akan bahagia karena tidak saling mencintai," ucap Olivia yang sebenarnya tidak mau menaruh harapan yang tinggi terhadap Panji. "Olivia!!!" bentakan itu membuat Olivia terperanjat. "Kenapa Bapak membentak saya? Bukankah apa yang saya katakan itu adalah kebenaran?" protes Olivia dengan nada tidak kalah tingginya. "Saya ini adalah tipe pria yang menjunjung tinggi komitmen. Dan saat saya memutuskan untuk menikah ..." Panji yang mulai stabil emosinya menurunkan nada suaranya. "Itu artinya saya memilih untuk menjalani hubungan dengan satu wanita sampai maut memisahkan." "Lagaknya saja menjunjung komitmen, padahal pacarnya di mana-mana," gerutu Olivia dengan suara pelan. "Olivia ... Jangan berasumsi yang tidak-tidak jika belum mengetahui kebenarannya. Cepat beritahukan kepada papa kamu kalau saya akan melamar kamu secepatnya." Titah Panji yang hanya direspon Olivia dengan memajukan bibirnya. "Tidak perlu diberitahu, keluarga saya selalu ada saat Kamis malam. Bapak bisa datang di hari itu," kata Olivia dengan ketus. Menjalani hal yang menyebalkan sepanjang hari ini membuat mood Olivia jatuh hingga jurang yang tak mendasar. "Kamis malam bukannya itu malam Jumat? Sebenarnya saya mau melamar kamu atau Mbak Kunti sih?'' ucap Panji dengan mendengkus kasar. "Kamis malam, Pak. Jangan lupa itu," timpal Olivia yang tidak mempedulikan Panji yang terus mengoceh tidak jelas. *** Sesuai apa yang dikatakan oleh Olivia, Panji membawa sang ayah beserta kakek dan neneknya untuk mengunjungi rumah Johan pada hari Kamis malam. Panji telah menceritakan secara singkat mengenai Olivia dan alasannya memilih gadis itu untuk menjadi istrinya. Panji juga mewanti-wanti kepada ketiganya untuk merahasiakan dulu mengenai status keluarga mereka pada keluarga Olivia. Meski awalnya sempat merasa keberatan akhirnya ketiga orang itu menyetujui usulan Panji. Panji menjemput Olivia sesuai dengan tempat yang telah diberitahukan oleh gadis itu sebelumnya pada jam 05.00 sore. Kebetulan juga hari ini adalah hari libur sehingga membuat Olivia dapat bersiap-siap sejak dari jam 04.00 sore. "Mau apa kamu datang lagi ke sini? Sudah kapok kamu meninggalkan rumah ini?'' tanya Johan dengan arogan saat melihat kedatangan sang putri dengan beberapa orang yang tak dikenalnya. Olivia menekan rasa sakit di hati akibat perlakuan Johan kepada dirinya. Gelengan kepala dia lakukan agar air mata tidak meluncur dengan tiba-tiba, akan sangat memalukan dan dia juga tidak mau dianggap lemah oleh siapapun juga. "Maaf boleh kami masuk?" tanya seorang pria paruh baya yang mengabaikan bentakan Johan kepada Olivia. "Siapa kalian?'' tanya Johan yang membangun benteng kewaspadaannya. "Saya papanya Panji, itu Opa dan Oma Panji. Kedatangan kami hari ini berniat untuk melamar putri Bapak yang bernama Olivia. Apakah kedatangan kami kemari diterima baik atau tidak?'' ucap Andreas-ayah Panji yang merasa kasihan melihat Olivia yang tidak disambut baik oleh sang ayah. Bahkan Johan tidak mempersilahkan para tamunya untuk masuk, membuat kakek dan nenek itu merasa geram karena sikap kurang ajar Johan kepada mereka. "Jangan bercanda kalian! Memangnya siapa pria bodoh yang mau menikah dengan wanita seperti ini?'' ucap Johan dengan nada sinis. Sekarang Panji mengerti alasan Belinda dapat melontarkan kalimat penghinaan seperti itu kepada Olivia, semuanya karena Johan yang tidak menghargai putrinya sendiri dan malah menyanjung anak orang lain. "Sayalah pria bodoh yang Bapak tanyakan itu. Seperti yang tadi papa saya bilang jika kedatangan kami ingin melamar Olivia sebagai istri saya. Apakah Bapak menerima lamaran saya?" Johan terkejut saat mendengar suara Panji yang terkesan menusuk itu. Dengan cepat dia menetralkan raut wajahnya lalu memandang Panji dengan garang. "Saya harap kamu tidak akan menyesal saat menikahinya, anak muda," ucap Johan dengan arogan. "Kenapa saya harus menyesalinya, Olivia adalah paket lengkap untuk saya. Jadi bagaimana keputusan Bapak?'' Andreas hanya dapat menepuk jidatnya saat mendengar pertanyaan Panji dengan nada yang terkesan menantang itu. "Maafkan kelancangan anak saya, Pak Johan. Kedatangan kami ini dengan maksud baik untuk meminang Olivia, putri Bapak. Apakah Bapak menerima lamaran kami? Karena Panji sepertinya sudah tidak sabar untuk mempersunting Olivia," terang Andreas dengan perlahan. "Baiklah jika itu keinginan kalian maka saya menyetujui lamaran ini. Dan masalah resepsi urus saja sendiri karena saya tidak mau tahu dan ikut campur," timpal Jonan dengan ketus. "Saya akan menikahi Olivia secepatnya, hanya saja untuk resepsi saat ini saya belum bisa melakukannya. Jadi untuk sementara ini pernikahan kami hanya tercatat secara resmi di mata agama dan hukum negara," ucap Panji dengan nada tenang. "Orang miskin ternyata rupanya. Oliv, apa kamu yakin mau menikahi pria kere ini? Mau dikasih makan apa kamu sama dia?'' tanya Johan yang semakin menunjukkan sifat arogannya. Jika saja Andreas tidak menenangkan kedua orang tuanya, mungkin saja sudah terjadi pertempuran darah pada rumah ini. "Olivia akan saya kasih makanan manusia. Saya ini kerja jadi ada uang untuk membeli makanan," ucap Panji yang meniru ucapan Olivia di rumah makan tempo hari. Olivia yang mendengarnya mengulas senyum tipis. Setidaknya Panji mengingat apa yang dia katakan. Bukankah itu terdengar romantis. Namun sedetik kemudian dia menyadari sesuatu. "Sadar Olivia, itu semua hanya akting untuk mengecoh Papa," ucap Olivia di dalam hatinya. "Baiklah, kalau kalian memaksa. Maka ambil saja anak itu menjadi bagian keluarga kalian, saya sudah mengatakan pada anak itu jika tidak mau mengurusnya lagi." Olivia sudah tidak dapat menahannya lagi, rasa sakit dan sesak yang menjadi satu membuat air matanya keluar dengan derasnya. Nenek Panji segera menghampiri gadis itu dan membawanya ke dalam pelukan. "Kalau begitu, mulai sekarang Bapak tidak ber-hak lagi kepada Olivia. Dan jangan cari dia jika suatu saat nanti Bapak menyesali tindakan Bapak sama dia," ucap Panji dengan nada menantang. "Itu semua tidak akan pernah terjadi, anak muda. Sekarang saya minta tinggalkan rumah ini dan bawa anak yang tak berguna itu sekalian," ucap Johan dengan jumawa. Panji segera mengajak semuanya untuk meninggalkan kediaman Johan. Dan dari kejauhan ada sepasang mata yang memandang puas kejadian itu. Dengan senyum mengembang orang itu berkata, "Akhirnya anak sialan itu benar-benar pergi dari kehidupan Johan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD