4. Apakah Pernah Bertemu?

1366 Words
“Jadi, nama kamu Azkia?” tanya pria itu. Azkia mengangguk. “Ada urusan apa kamu dengan adik saya sampai membawanya kabur dari rumah selama dua hari?” tanya pria itu lagi dengan nada menyelidik. Apa?! Azkia tersentak mendengar pertanyaan pria itu. Dia baru saja mengenal Fey. Itu pun karena terpaksa. Jika kakak Fey menuduhnya membawa kabur gadis itu, Azkia tidak mau menerima. Enak saja main tuduh sembarangan, geram Azkia dalam hati. Dia kemudian menoleh ke arah Fey. Tatapannya yang sedikit menajam meminta penjelasan gadis muda tersebut. Tidak Azkia sangka ternyata Fey cepat tanggap. Gadis itu kemudian mewakili Azkia menjelaskan keadaan yang tentunya hanya pura-pura semata. “Mas nggak usah marah sama Kak Azkia. Fey pergi sendiri dari rumah karena Fey kesal Mami dan Papi yang selalu mendikte setiap tindakan Fey. Fey harus beginilah. Fey harus begitulah. Fey itu sudah gede. Nggak harus selalu diatur. Masih untung Fey perginya ke rumah Kak Azkia, bukan ke tempat lain,” katanya. Si kakak kemudian melihat ke arah Azkia. “Benar begitu?” Azkia sebenarnya tidak ingin mengiakan, tetapi Fey tiba-tiba saja menggelendot kepadanya dan berlagak sangat akrab. Azkia jadi teringat pada adiknya yang berusia tidak jauh berbeda dengan Fey. Azkia akhirnya mengangguk mengiakan. “Iya. Dia tidak pergi ke mana-mana selain ke rumah saya.” “Kenapa kamu harus mengantarkan dia pulang tengah malam begini?” selidik pria itu sambil matanya tak berpaling sedikit pun dari wajah ayu Azkia. “Karena saya baru bisa membujuk adik kamu untuk pulang malam ini. Saya tidak mau menunggu sampai besok. Saya khawatir adik kamu akan berubah pikiran lagi.” Terlanjur masuk ke dalam cerita yang dibuat Fey, Azkia berbohong sekalian. Terlepas dari semua kebohongan yang dia katakan, Azkia sebenarnya ingin segera terbebas dari drama dadakan yang tercipta. “Baiklah. Terima kasih sudah mengantarkan adik saya pulang.” Pria itu mengulurkan tangannya ke hadapan Azkia. “Saya Fattan.” Terpaksa, Azkia akhirnya berjabat tangan dengan pria itu. “Saya Azkia. Kalau begitu, saya permisi. Saya mau pulang.” “Rumah kamu di mana?” tanya Fattan. “Di Bogor.” “Baiklah. Sopir saya nanti akan mengantarkan kamu pulang, tapi sebelumnya kamu harus ikut ke rumah kami dulu. Orang tua kami perlu penjelasan dari kamu.” Pundak Azkia melorot. Ternyata semua usahanya gagal total untuk melepaskan diri dari semua ini. Sesaat kemudian mobil berjenis SUV kuning berlogo banteng emas datang ke hadapan mereka. Mereka berempat kemudian pergi dengan mobil tersebut. Lelah hati dan fisik membuat Azkia terdiam di sepanjang perjalanan. Isi kepalanya masih dipenuhi hinaan Elvano dan ibu mertuanya. Cara mereka memperlakukan dirinya sungguh sangat kejam. Tanpa Azkia sadari butir-butir bening berjatuhan dari mata ke pipinya. Beruntung, cahaya temaram di dalam mobil tidak memperjelas tangisannya. “Terima kasih ya, Kak.” Penuturan Fey membuat Azkia terperanjat. Azkia buru-buru menyapu air mata di pipinya dengan jemari. Meskipun tidak terlihat dengan jelas, tetapi Azkia berusaha tersenyum. “Kakak tenang saja. Mami sama Papi saya nggak galak kok.” Fey berusaha menenangkan Azkia seolah-olah dia tahu kekhawatiran wanita itu. “Yang galak, cuma yang di depan itu,” lanjut Fey sambil menunjuk Fattan dengan ucapannya. “Fey!” Peringatan Fattan menyambar sedetik kemudian. “Iya, emang Mas Fattan galak kok,” sembur Fey. “Bisa diem nggak?!” balas Fattan dengan nada agak keras. Azkia merasakan vibe adik-kakak yang sebenarnya. Dia dan adik laki-lakinya pun hampir sama seperti Fattan dan Fey. Mereka kerap bertengkar meskipun untuk hal yang sepele. Meskipun begitu, mereka akan segera akur lagi. Entah sudah berapa lama mereka melintasi jalanan, mobil yang membawa mereka memasuki gerbang tinggi sebuah rumah besar berlantai tiga dan berhenti di carport bertudung beton dan berhias lampu downlight di setiap sudut. Sesaat setelah turun dari mobil tersebut, persisnya di teras rumah, seorang wanita yang mengenakan pakaian serba cokelat menyambut kedatangan mereka. “Anak Mami! Oh, Sayang, kamu ke mana saja?” Wanita itu berjalan cepat menghampiri Fey lalu memeluk gadis itu. “Ih, Mami. Biasa aja deh,” keluh Fey setelah maminya mengurai pelukan. “Kamu nggak apa-apa, Sayang?” Wanita berusia 56 tahun itu menangkup wajah putri bungsunya. “Nggak, Mam. Fey sehat walafiat,” tutur Fey. Mami lalu melihat ke arah Azkia yang sedari tadi berdiri beberapa meter di belakang Fey dan kebetulan juga ada di samping Fattan. “Oh, siapa ini?” tanyanya dengan nada selidik. Wanita itu kemudian memalingkan pandangan ke arah anak sulungnya. “Dia pacar kamu, Tan?” “Mami apaan sih?” tepis Fattan sambil gelagapan dan salah tingkah. “Mm, dia ini yang mengantarkan Fey pulang,” imbuhnya. “Oh, iya?” Mata Mami melebar seolah-olah tidak percaya, tetapi senyuman di bibirnya yang berkembang di bibirnya menyadarkan Fattan bahwa maminya itu sedang meledeknya. “Mam, dia itu temannya Fey,” jelas Fattan. “Oke,” kata Mami masih dengan nada tidak percaya. Sesaat kemudian dia memperkenalkan diri pada Azkia. “Saya Wulan, maminya Fey dan Fattan.” Azkia tersenyum kaku, lalu membalas perkenalan diri Sang Mami yang bernama Wulan itu. “Saya Azkia, Tante.” “Nama yang cantik secantik orangnya,” ucap Wulan. “Ehmm.” Tenggorokan Fattan mendadak gatal mendengar pujian Wulan terhadap wanita yang baru saja dikenalnya. “Apa tidak sebaiknya kita bicara di dalam bersama Papi, Mam?” sarannya kemudian. “Iya. Tentu saja. Papi kamu pasti senang kamu pulang bawa cewek,” ledek Wulan sambil mengedipkan satu matanya. “Maaa!” Peringatan terlontar dari mulut Fattan. Semburat merah tampak mewarnai wajahnya yang terpapar cahaya lampu teras. “Oke. Kita masuk, yuk!” ajak Wulan. Azkia merasa sedikit terhibur oleh sikap hangat dan sedikit jenaka anggota keluarga Fey. Namun, semua itu tidak bisa menghapus kesedihan yang masih merangkul dan membebaninya. Bahkan, perkenalannya dengan ayah Fey yang memiliki darah campuran Jawa, Kanada, dan Maroko serta memiliki selera humor tinggi pun tak mampu melenyapkan sengatan rasa sakit yang disematkan Elvano dan ibunya. Meskipun begitu, Azkia tetap berpura-pura tenang ketika duduk bersama keluarga itu di ruang keluarga. “Terima kasih kamu sudah mengantarkan putri kecil kami pulang,” tutur Faqih Al Ghazy, ayah Fey dan Fattan. “Untungnya Fey punya teman dewasa kayak kamu. Coba kalau dia pergi bersama teman-teman seusianya yang sama-sama mash labil, Fey bakal lupa jalan pulang,” imbuhnya, lalu tertawa ringan. “Papi kalau ngomong suka asal deh,” protes Fey yang duduk di antara mami dan papinya. Sementara itu, Azkia yang duduk terpisah di kursi ottoman dan berseberangan dengan Fattan hanya bisa tersenyum merespons ucapan Faqih. Di luar pengetahuannya, Fattan sesekali mencuri pandang dan mengamati Azkia. Pria itu berpikir keras ketika memorinya dipaksa untuk mengingat sesuatu. Namun, usahanya seketika buyar saat Azkia angkat bicara. “Baiklah. Tugas saya sudah selesai. Saya permisi mau pulang.” Azkia memberanikan diri berpamitan. “Sopir saya akan mengantar kamu,” ucap Fathan sambil berdiri dan kemudian berjalan menghampiri Azkia. Azkia yang sudah dalam posisi berdiri, menggeleng pelan. “Tidak perlu. Saya pulang naik taksi saja.” “Sudah hampir jam 01.00. Saya rasa kamu lebih aman diantar supir saja,” desak Fattan. “Iya, Kak. Mas Fattan benar. Sekarang kan banyak kejadian aneh-aneh dan mengerikan. Kakak sebaiknya pulang diantar sopir,” dukung Fey. “Sudahlah. Panggilkan Bang Ago, Fey.” Wulan tidak memberi Azkia pilihan untuk menolak lagi saat dia memerintahkan Fey untuk memanggil sopir mereka. Mereka akhirnya keluar dari rumah guna mengantarkan kepulangan Azkia. Sebelum Azkia memasuki mobil yang akan dikemudikan sopir mereka, Fey tiba-tiba berlari kecil menghampiri Azkia. “Kak!” Azkia menoleh ke belakang dan berbalik. “Iya. Ada apa?” “Terima kasih ya, Kak,” ucap Fey. “Sama-sama.” Tidak hanya Fey yang menghampiri Azkia, ternyata Fattan juga menghampirinya. Pria itu terlihat sedikit kaku dan membuat Azkia menunggu apa yang akan dia ucapkan. “Maaf, saya sudah membentak kamu di dalam stasiun tadi,” ucap Fattan memupus ketidaksabaran Azkia. Azkia menipiskan bibirnya membentuk garis lurus, lalu merespons, “Tidak apa-apa. Saya juga salah karena berjalan sambil melamun.” Fattan tersenyum lega lantaran keduanya menyadari ada yang salah dalam diri masing-masing sehingga mereka bertabrakan tadi. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Maksud saya, sebelum di stasiun tadi?” Fattan melontarkan rasa penasarannya. Azkia mengernyitkan alisnya mencoba mengingat. Wanita itu kemudian menggeleng. “Sepertinya tidak.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD