Pertengkaran mereka rupanya mengusik ketenangan penghuni rumah yang lain. Shumay dan Rendra Ghaus, suaminya, terpaksa bangun dari tidur mereka. Kedua mertua Azkia itu kemudian tergopoh-gopoh menaiki anak tangga untuk mengetahui apa yang terjadi.
“Ada apa ini, Van?” kehadiran Rendra menghentikan debat panas antara Azkia dan Elvano untuk sementara.
“Dari tadi siang, kamu bikin masalah terus.” imbuh Shumay sambil memandang kesal ke arah Azkia. “Kalau kamu tidak suka Elvano punya pacar, kamu tahu diri dong. Minta cerai sama dia, lalu segera angkat kaki dari sini.”
“Ma, ngomong apa sih Mama ini?!” ketidaksetujuan terlontar dari mulut Rendra. Pria tua berkumis tebal itu kemudian mengalihkan pandangannya pada Azkia. “Ada apa, Kia? Kenapa kalian bertengkar?”
“Sudahlah, Pa. Ini bukan urusan Papa dan Mama. Ini urusan Vano sama Kia,” sambar Elvano.
Rendra tidak memedulikan peringatan putra tunggalnya. Dia butuh klarifikasi atas ucapan istrinya tadi. “Mamamu bilang kamu punya pacar. Kamu berselingkuh dari Kia?”
“Mau Vano punya pacar atau tidak, bukan urusan Papa.” Sekali lagi Elvano mencoba mengelak.
“Kalau apa yang dikatakan mamamu benar, berarti Papa sudah gagal mendidik kamu menjadi laki-laki yang bertanggung jawab!” sergah Rendra.
Elvano tersenyum pahit. “Papa tahu sejak awal Vano tidak mencintai menantu kesayangan Papa ini, tapi Papa memaksa Vano untuk menikahinya.”
“Itu karena kamu harus bertanggung jawab atas perbuatan kamu pada Kia!” tandas Rendra dengan nada geram.
“Sudahlah, Pa. Si Azkia ini sama bapaknya sama saja. Mereka cuma mau memanfaatkan kita. Papa itu dibodohi sama mereka. Mama yakin betul kalau dulu Azkia hanya pura-pura disekap dan diperkosa Vano supaya bisa dinikahi anak kita. Kalau benar Vano melakukan itu, Azkia pasti sudah hamil. Buktinya, sampai sekarang dia tidak hamil juga.” Shumay kemudian menatap keras pada Azkia. “Jangan-jangan, kamu mandul. Dasar perempuan licik! Sok jadi korban, padahal kamu yang memancing perkara,” lanjut Shumay.
Tuduhan Shumay bagai belati yang ditancapkan langsung ke ulu hati Azkia. Ibu mertuanya itu sudah sering kali menghina dengan kalimat yang sama. Namun, kali ini Azkia merasa benar-benar dihancurkan.
“Saya dan ayah saya sama sekali tidak ingin memanfaatkan kalian. Saya dengan penghasilan saya sendiri mampu membiayai kehidupan ayah dan ibu saya.” Azkia menyanggah dakwaan Shumay dengan suara bergetar lantaran menahan marah dan sedih.
Shumay mencebik. Tatapan mencelanya seolah-olah sedang mengatakan, “Memang mampu?”
“Sudah, sudah!” Rendra berusaha menengahi. “Mama juga sebagai orang tua malah memperkeruh suasana.”
Shumay mengerucutkan bibir sambil melemparkan wajah ke samping. “Memang seperti itu kenyataannya. Papa saja yang selalu menutup mata.”
Rendra hanya bisa menggeleng-geleng melihat ketidakdewasaan sikap istrinya di usia menjelang senja. Fokus pria yang mengenakan setelan piama putih itu kemudian kembali kepada Elvano.
“Kamu tidak boleh memperlakukan istrimu seperti ini, Vano,” katanya.
Elvano berdecak kesal. “Dia tidak pantas jadi istri Vano, Pa.”
“Kalau saya tidak pantas jadi istri kamu, ceraikan saya,” sambar Azkia.
Ekspresi Elvano seketika berubah. Pria itu mengeraskan rahangnya sambil memandang dengan geram pada Azkia.
“Azkia, Vano, bicarakanlah dulu masalah kalian dengan kepala dingin,” saran Rendra.
Alih-alih menanggapi dengan lebih lembut, Elvano justru menepis saran ayahnya dengan sinis. “Dia pantas mendapatkan semua ini, Pa.”
“Vano!!!” bentak Rendra, “kamu tidak boleh menyiksa Azkia seperti ini. Jangan jadi pengecut! Kalau kamu tidak mau menjalani pernikahan kamu dengan Azkia, lebih baik kamu ceraikan dia. Jangan menyiksanya seperti ini.”
“Dulu, Papa yang memaksa Vano menikahi perempuan itu.” Elvano menunjuk Azkia dengan dagu dan dengan nada merendahkan. “Sekarang, Papa minta Vano menceraikannya. Baiklah. Vano akan menuruti keinginan Papa. Vano akan menceraikan dia, tapi jangan pernah meminta Vano untuk minta maaf kepadanya.” Elvano kemudian pergi meninggalkan mereka dan kembali ke kamarnya.
Segenggam sesal tertelan oleh Rendra. Dia tidak menyangka anak semata-wayangnya benar-benar bersikap seperti seorang pengecut. Rendra lalu mengalihkan pandangannya pada Azkia.
“Maafkan Papa, Kia. Papa tidak bisa mendidik Vano untuk menjadi suami yang baik buat kamu. Tidak ada orang tua yang menginginkan pernikahan anaknya bercerai-berai, tetapi—“
“Tidak apa-apa, Pa,” potong Azkia, “Kia juga sudah tidak berharap banyak dari pernikahan Kia dengan Vano.”
“Bagus kalau begitu.” Dengan penuh antusiasme, Shumay menyambar bagai bensin. Wajah wanita yang hobi memamerkan kesombongannya di segala suasana itu kini tampak berseri-seri. “Tunggu apa lagi? Cepat keluar dari rumah ini! Tidak ada yang menerima kamu di sini,” usirnya kemudian.
“Ma!” protes Rendra.
“Tidak apa-apa, Pa,” ucap Azkia pasrah. “Kia akan pergi.”
“Tapi ini sudah malam, Kia.”
Azkia berusaha terlihat setenang mungkin meskipun gelombang rasa sedih tengah menghantam dirinya dengan sangat keras. Dia tidak ingin menyusahkan Rendra. Selama Azkia tinggal di rumah itu, hanya Rendra yang selalu bersikap ramah layaknya orang tua terhadap anaknya. Rendra pula yang selalu memberinya dorongan semangat. Namun, kali ini Azkia tidak bisa mengandalkan kebaikan orang tua itu lagi. Ucapan dan sikap Shumay yang tidak lebih baik dari anaknya membuat hati Azkia tercabik-cabik. Sudah cukup Elvano dan Shumay menistakannya selama ini, pikir Azkia.
“Kia bisa pulang naik taksi, Pa,” tutur Azkia.
“Jangan,” cegah Rendra, “biar Pak Surip saja yang mengantar kamu.”
Malam itu juga Azkia keluar dari rumah keluarga Ghaus diantar supir kepercayaan Rendra. Di sepanjang perjalanan Azkia hanya membisu. Meskipun sesekali Surip berusaha untuk mengajaknya mengobrol, tetapi mulut Azkia kesulitan untuk berkata banyak. Wanita itu hanya menjawab pertanyaan si supir dengan iya dan tidak. Beruntung hanya membawa tas selempang berisi kartu identitas, kartu p********n elektronik, dan ponsel pintar, Azkia tidak harus repot-repot mengeluarkan banyak tenaga ketika minta diturunkan di stasiun kereta. Sayangnya, KRL terakhir menuju stasiun Bogor sudah lewat. Azkia termenung selama beberapa saat di depan gerbang peron. Di saat hati dan kepalanya dipenuhi oleh kepedihan dan kemarahan, di saat yang sama semesta pun turut menambah kecewa. Dengan langkah malas, Azkia meninggalkan peron dan kembali ke luar.
Buuuk!
“Auw!” Azkia merasakan bahu kanannya seperti baru saja menghantam tembok beton. Dia memegangi bahunya sambil meringis kesakitan.
“Punya mata nggak sih?!”
Belum habis keterkejutan Azkia lantaran benturan dan rasa sakit di bahunya, kini suara tenor bernada marah dan keras kembali membuatnya tersengat kejut. Azkia mengangkat pandangannya dan menemukan seorang pria berjaket denim biru tengah memelototinya.
“Ma-maaf. Saya tidak melihat Anda,” tutur Azkia dengan gugup.
Pria berambut cokelat dan bertubuh tinggi itu tidak menanggapi permohonan maaf Azkia. Dia justru berbalik lalu pergi. Azkia mengembus napas. Rasa sedih kembali berdenyut di setiap nadinya. Kadang Azkia berpikir dosa besar apa yang sudah dia lakukan sampai semua orang memperlakukannya dengan buruk, termasuk pria yang baru saja membentaknya. Azkia kembali melanjutkan langkah sampai dia keluar dari stasiun. Malam semakin larut. Dia harus pulang ke rumah orang tuanya dan taksi adalah satu-satunya jawaban yang bisa membawanya ke sana.
Azkia terus berjalan menyusuri sisi luar stasiun sambil berharap menemukan taksi. Meskipun suasana di sekitar stasiun tersebut belum sepenuhnya senyap dan lampu-lampu masih menyinari dengan terang benerang, tetapi perasaan waswas berjalan sendirian di tengah malam tetap membuatnya ketar-ketir. Di saat semua rasa tengah memerangkap jiwa, tiba-tiba saja langkah Azkia terhenti oleh sebuah panggilan.
“Hei! Hei, tunggu!”
Azkia menoleh ke belakang. Dia melihat seorang gadis belasan tahun yang mengenakan celana jeans pendek dan kaus oversize hitam berlari ke arahnya.
“Tunggu dulu,” katanya sambil terengah-engah.
Azkia berbalik dan memperhatikan ABG cantik berambut cokelat sebahu itu selama beberapa saat sebelum bertanya, “Ada apa?”
“Nama Kakak siapa?” tanya gadis itu.
Azkia mengernyitkan dahi. Untuk apa gadis itu menanyakan namanya? Pikir Azkia.
“Nama Kakak siapa?” ulang gadis itu.
“Nama?”
“Iya,” tegas gadis itu, “nama Kakak siapa? Cepet jawab.”
“Saya Azkia.”
Gadis itu mengembus napas. Dia berdiri tegak di depan Azkia sambil mengatur napas. Beberapa detik kemudian dia menatap Azkia. “Saya Fey. Ya, panggil saja Fey. Kalau ada yang nanya tentang saya, bilang saja saya pergi sama Kakak. Oke?”
“Maksudnya?” Azkia sontak dibuat bingung oleh titah gadis itu. Kenal pun tidak, gadis itu sudah berani memerintahnya.
“Ya, pokoknya bilang saja begitu.”
“Fey!” Belum terjernihkan pemikiran Azkia akan Fey dan semua titah dadakannya, wanita itu kembali dibuat kaget oleh sosok pria yang memanggil Fey.
Azkia mengenali pria tersebut. Pria yang memiliki warna rambut dan mata cokelat itu adalah pria yang tadi menabrak dan membentaknya. Ada hubungan apa gadis ini dengan pria galak itu?
“Apa sih Mas?” Fey memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap pria yang memanggilnya. “Ribet banget jadi orang,” gerutunya kemudian.
“Apa sih, apa sih! Kamu tahu, kamu itu sudah bikin panik seisi rumah!” balas pria itu dengan nada geram. Dia kemudian menatap Azkia. Kali ini tatapannya tidak setajam saat dia menatap dan memelototi Azkia di dalam stasiun tadi. Tatapan pria itu tampak lebih lembut. “Kamu siapa?”
“S-saya—“
“Dia Kak Azkia, teman Fey,” potong Fey sambil memegangi tangan Azkia dan berlagak akrab. “Dia mau nganterin Fey pulang, tapi Mas keburu datang.”
Azkia menelan ludah. Baru saja dia merasa sedikit terbebas dari jerat Elvano, sekarang dia terperangkap dalam masalah orang-orang yang tidak dikenalnya. Azkia tidak ingin terlibat lebih jauh ke dalam yang bukan menjadi urusannya. Azkia akhirnya memutuskan untuk berkata yang sebenarnya.
“Dengar, saya tidak tahu masalah kalian dan saya tidak—“
“Kamu jelaskan saja nanti di rumah kami,” potong pria itu.
Apa?! Azkia tersentak dengan pernyataan pria itu. Tidak. Dia tidak boleh terlibat terlalu jauh dengan urusan mereka. “Dengarkan saya, saya—“
“Ssst!” Pria itu kembali memangkas usaha penjelasan Azkia dengan memberi isyarat agar Azkia diam. Dia menekan bibirnya dengan jari telunjuk sementara tangannya yang lain menekan earphone yang menjejali telinga kirinya. “Dia sudah ditemukan. Cepat bawa mobilnya ke depan stasiun,” katanya sesaat kemudian pada seseorang di ujung telepon.
Sial. Terbebas dari kandang buaya, masuk ke kandang macan, pikir Azkia.