“Iya. Oke. Fey akan berusaha membujuk Kak Azkia, tapi Fey nggak janji dia bakal mau.”
“Yang penting, kamu usaha dulu,” tandas Fattan, “Mas tunggu kabarnya besok.”
“Yang benar saja, Mas?” Fey mengerucutkan bibir sambil menatap kesal pada Fattan. “Besok Fey sekolah. Mana ada waktu untuk bertemu Kak Azika?”
“Kamu kan punya nomer HP-nya. Bisa dong menghubungi dia via telepon?”
Mamp*s gue! Fey mengumpati dirinya dalam hati. Dia tidak punya nomer telepon Azkia. Bagaimana dia bisa menghubungi sang dewi penolongnya itu? pikir Fey.
“Iya. Fey usahakan nanti, tapi Mas jangan bilang ke Mami dan Papi soal cowok itu. Sebenarnya cowok itu teman Fey—“
“Mas nggak peduli dia teman atau pacar kamu,” potong Fattan, “yang Mas mau, kamu bujuk dia supaya menerima endorse dari Ale.”
“Iya, iya.” Fey memangkas desakan sang kakak dengan nada sedikit tinggi.
“Bagus.” Fattan tersenyum lega. Dia kemudian meninggalkan Fey yang masih dilanda kebingungan tingkat dewa karena harus mencari tahu nomer ponsel Azkia.
Seuntai senyuman masih berkembang di wajah tampan Fattan saat pria itu masuk ke kamarnya. Perasaan senang, gundah, dan tidak keruan bercampur aduk memenuhi dirinya. Dia sungguh tidak mengerti apa yang bergejolak di dalam hatinya. Namun, dia merasakan keterikatan yang begitu kuat pada sosok Azkia. Terlepas dari memori yang tersimpan bahwa dia pernah bertemu Azkia sebelumnya, Fattan menaruh campuran gejolak emosi itu ke dalam ruang kosong di dirinya.
Fattan duduk di tepi ranjang lalu menghempas tubuhnya ke belakang hingga punggungnya jatuh di atas kasur empuk. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan sesaat kemudian di tertawa kecil.
“What the hell am I thinking about?” Fattan kemudian membuka tangan dan menyimpannya di belakang kepala. “Mungkin saja dia sudah punya pacar atau bahkan sudah menikah,” lanjutnya berbicara sendiri.
Rasa penasaran dalam diri yang timbul akibat pertanyaannya sendiri membuat Fattan bangkit tanpa ragu-ragu. Pria itu membuka vest-nya dan hanya menyisakan kemeja biru yang lengannya digulung hingga ke siku. Dia kemudian membuka laptopnya dan berselancar di dunia maya. Pria itu berusaha menemukan akun Azkia di dua aplikasi berbagi video yang cukup viral saat ini. Hasilnya, Fattan tidak banyak menemukan informasi mengenai wanita itu selain konten-kontennya yang berisi tentang make up dan ulasan mengenai produk kecantikan. Wanita itu menutup rapat-rapat kehidupan pribadinya. Mungkin dia lebih butuh privasi daripada afirmasi. Bisa jadi dia membuat konten hanya untuk mengisi waktu dan tidak dijadikan pekerjaan, pikir Fattan.
***
Tiga hari kemudian
“Anda akan dikenakan biaya penalti sebesar dua persen dari harga pokok rumah jika Anda ingin melunasi cicilan sekarang,” jelas staf bank ketika Azkia yang didampingi Ali meminta detail biaya yang harus dia keluarkan untuk melunasi hipotek rumahnya.
“Iya, saya mengerti hal itu, Pak.” Sebagai mantan mahasiswi jurusan Bisnis Manajemen yang tidak pernah diwisuda, sedikit banyaknya Azkia mengetahui tentang penalti bank berupa denda atas pelanggaran kontrak, seperti keterlambatan pelunasan pokok atau pelanggaran ketentuan rasio kas. Pelunasan lebih cepat akan membuat keuntungan bank semakin rendah. Oleh karena itu, penalti kontraktual dikenakan pada debitur sebagai kompensasi atas kehilangan keuntungan tersebut. Azkia sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu karena yang dia inginkan adalah segera menyelesaikan masalahnya dengan Elvano.
“Baiklah. Saya akan menjelaskan skema biaya pelunasan yang harus Anda bayarkan, Bu Azkia. Tenor cicilan masih kurang enam puluh bulan lagi. Jumlah keseluruhan cicilan Anda adalah satu milyar dua ratus juta rupiah. Ditambah biaya penalti sebesar dua persen dari harga pokok rumah sebesar dua puluh empat juta rupiah, jadi total biaya yang harus Anda bayarkan adalah satu milyar dua ratus dua puluh empat juta rupiah.” Si staf memerinci.
“Saya akan membayarnya sekarang.” Tanpa pikir panjang, Azkia memutuskan untuk membayar lunas sisa cicilan tersebut. Dari penghasilannya sebagai vlogger yang memiliki jutaan pengikut, Azkia sudah mengisi rekeningnya dengan pundi-pundi rupiah yang lebih dari cukup dari nilai yang disebutkan staf bank tadi.
Sementara itu, Ali melihat beban yang dipikul putri sulungnya sangat berat. Pria yang masih aktif mengajar dan menjadi guru besar di sebuah universitas swasta di Jakarta itu kemudian mengungkapkan keinginannya untuk sang anak. “Kia, Ayah punya tabungan yang bisa meringankan setengah beban kamu. Izinkan Ayah membantu.”
“Jangan, Yah,” tolak Azkia, “uang tabungan Ayah itu untuk biaya kuliah Ary. Ayah simpan saja.”
“ Kia,—”
“Ayah,” sambar Azkia tidak membiarkan Ali melanjutkan kalimatnya. “Kia sudah berniat membelikan Ayah dan Ibu rumah sejak rumah kita yang dulu dijual untuk biaya operasi Ibu di Singapura. Ayah tenang saja. Kia punya uangnya. Ayah fokus saja pada pendidikan Ary.”
“Terima kasih, Nak.”
“Ayah. Jangan begitu.” Azkia tersenyum sambil menatap Ali penuh kasih. “Kia yang seharusnya berterima kasih kepada Ayah dan Ibu.”
“Maaf, Bu Azkia. Jadi keputusannya bagaimana?” Si staf menginterupsi diskusi dadakan antara Azkia dan Ali.
“Saya akan melunasinya sekarang.”
Hari itu juga Azkia melunasi semua cicilan rumahnya. Tidak membuang waktu, setelah urusan mereka dengan pihak bank beres, Azkia dan Ali kembali ke rumah mereka. Namun, mereka dikejutkan oleh penampakan sedan hitam yang mulai familier di mata Azkia terparkir di depan pintu pagar rumah mereka.
“Dia lagi.” Azkia bergumam dengan suara pelan nyaris tidak terdengar.
Ali akhirnya menghentikan laju mobil yang dikendarainya di belakang sedan hitam itu lantaran pintu pagar rumahnya terhalang.
“Mobil siapa sih? Kok, ya, parkirnya di depan gerbang?” Nada kesal terdengar dari pertanyaan yang dilontarkan Ali.
“Kayaknya itu mobil teman Kia deh, Yah,” jelas Kia memupus rasa penasaran sang ayah meskipun dia masih meragukan sangkaannya.
Ali mengernyitkan dahi sambil menatap Azkia dengan tatapan penuh selidik. “Teman? Laki-laki atau perempuan?”
Azkia tidak punya jawaban pasti. Yang dia tahu, mobil mewah itu adalah milik Fattan. Entah Fattan datang sendirian atau bersama Aleida, Azkia masih menduga-duga dan tidak berani menyimpulkan.
“Ayah lihat saja nanti.” Hanya itu yang menjadi jawaban Azkia.
“Kamu ini, Kia. Orang tua kok disuruh main tebak-tebakan.”
“Sekali-kali Ayah bermain tebak-tebakan sama Kia. Seru kan, Yah?” Azkia tersenyum kaku sambil berusaha keras untuk tetap bersikap santai. Dengan perasaan tidak karuan dan jantung berdenyut kencang, Azkia sengaja keluar dari mobil lebih dulu dari Ali. Wanita yang mengenakan setelan blus merah muda dan rok span hitam sebatas lutut itu berjalan tergesa-gesa memasuki pelataran rumah. Dari carport yang berkanopi PVC hijau bening, Azkia melihat seorang pria duduk memunggungi halaman di kursi teras. Pria berambut cokelat yang mengenakan kemeja biru tua itu hanya duduk sendirian.
Ya, Tuhan. Apa yang sedang Fattan lakukan di rumahku? Apa kata Ayah dan Ibu kalau ada pria yang mengunjungiku sementara proses perceraianku dengan Vano baru saja dimulai?