Bab 7

1211 Words
Ketika sampai di kantor yang berada di area perkebunan, Lyra tidak lagi mendapati Jenar di sana. Kinarsih pun tampaknya sudah kembali ke rumah karena perempuan itu pun tidak ada di tempat itu. "Mbak Kinarsih sudah pulang?" tanya Lyra kepada Dewangga. "Iya. Setelah mengantarkan sarapan, aku langsung menyuruhnya pulang. Karena tadi kamu salah ambil jalan, makanya kita nggak berpapasan sama dia," jawab Dewangga. "Sebaiknya kamu naik ke lantai dua, di sana ada kamar, kamu bisa beristirahat di sana. Aku masih harus menyelesaikan beberapa hal dulu," tambah Dewangga seraya menunjuk kertas yang berada di atas meja kerja. Lyra menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya. “Tapi, Mas jangan lupa buat makan dulu. Sarapan.” “Iya,” balas Dewangga tersenyum kecil ke arah Lyra. Setelah itu Lyra meninggalkan Dewangga menuju lantai dua kantor tersebut. Lantai dua terdiri dari dua ruangan yang difungsikan sebagai kamar tidur dan juga ruang kerja. Ada sebuah toilet di dekat tangga. Lalu, ada juga ruang terbuka yang berisi sofa serta meja yang difungsikan sebagai ruang santai. Lyra berjalan mendekat ke arah jendela yang berada di dekat sofa. Pemandangan hutan di belakang kantor membuat Lyra bergiding ngeri. Entah kapan Lyra akan terbiasa berada di tengah-tengah antah berantah seperti ini, Lyra tidak tahu. Lyra menghela napas dalam seraya mengempaskan diri ke sofa. Mendadak saja ia jadi merindukan keluarganya. Terutama Kalina, adiknya. Meskipun mereka lahir dari rahim yang berbeda, tapi mereka cukup dekat. Meskipun tak jarang juga mereka bertengkar merebutkan barang-barang di rumah, bukan berarti mereka tidak saling menyayangi. Ibu tirinya pun bukan orang yang jahat sebenarnya. Beliau memperlakukan Lyra dengan cukup baik. Lyra tidak pernah dikasari. Bahkan, Lyra selalu mendapatkan apa yang dia mau. Hidup Lyra di rumah orang tuanya ternyata tidak buruk-buruk amat. Pertama kalinya dikasari oleh ayahnya pun ketika Lyra ingin kabur dari rumah. Dan Lyra terselamatkan oleh kedatangan Adipati. Dari lantai satu Lyra mendengar percakapan antara Dewangga dengan seorang pria. Mereka tengah membiacarakan sesuatu yang berhubungan dengan panen dan juga teh. Sepertinya Dewangga memang sedang sibuk seperti pengakuannya kepada Lyra. Menunggu Dewangga sendirian di sini tanpa melakukan apa-apa membuat Lyra bosan setengah mati. Hingga rasa bosan itu tergantikan oleh rasa kantuk yang membuat kelopak matanya terasa berat. Tanpa bisa dilawan, akhirnya Lyra tunduk kepada rasa kantuk itu yang membuatnya tertidur lelap di sofa. Dalam bunga tidurnya, Lyra melihat seseorang berjalan memasuki kantor yang berada di area perkebunan. Langkah kakinya tampak begitu anggun yang membuat Lyra tahu bahwa orang itu adalah perempuan. Lyra hanya bisa melihat kaki jenjang berbalut rok panjang melebihi lutut. Sepatu berhak berwarna kuning melekat indah di kedua kaki itu. Lyra berusaha untuk menatap wajah perempuan itu. Tapi, tidak bisa. Lyra hanya melihat langkah kaki yang saat ini sudah menaiki tangga menuju lantai dua. Ketika Lyra ingat dirinya saat ini sedang berada di lantai dua, sontak saja Lyra merasakan panik luar biasa. Ada rasa takut memeluk erat dirinya. Dengan napas tersengal-sengal Lyra memaksakan diri untuk membuka mata. “Lyra,” panggil suara lembut di sampingnya. Lyra menoleh dengan panik ke arah tersebut. Dilihatnya Dewangga tengah mengamatinya dengan raut wajah penasaran. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Dewangga. Lyra menegakkan badan. Sontak ia menoleh ke arah di mana tangga berada. Lyra menunggu seseorang, atau sesuatu muncul dari sana. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. “Ada apa, Lyra?” tanya Dewangga lagi. Lyra menarik napas dengan berat seraya menggelengkan kepala. “Nggak ada apa-apa,” jawabnya. “Seeprtinya hanya mimpi,” tambahnya. “Kamu bermimpi apa?” Dewangga menatap Lyra dengan tatapan serius serta penasaran. “Aku bermimpi melihat seorang perempuan masuk ke kantor ini. Lalu, dia menaiki tangga menuju lantai dua,” kata Lyra. “Namun, aku tidak bisa melihat wajahnya. Dan aku tidak tahu siapa perempuan itu.” Dewangga tersenyum kecil mendengar perkataan Lyra itu. Diusapnya lembut sisi kiri kepala Lyra. “Itu hanya mimpi, Lyra. Dan sebenarnya, itu bukan mimpi yang menyeramkan bukan?” Lyra ingin membantah. Namun, kalau dipikir-pikir, mimpi itu memang tidak menyeramkan. Tidak ada sosok hantu muncul dalam mimpinya. Hanya seorang perempuan yang berjalan. Lyra menganggukkan kepala menanggapi ucapan Dewangga. “Omong-omong, sudah berapa lama aku tertidur?” “Sekitar satu jam,” jawab Dewangga. Lyra membelalak kaget. “Selama itu?” “Iya.” Padahal, Lyra merasa baru saja tertidur. Namun, ternyata dia sudah terlelap selama satu jam. Lyra benar-benar tidak menyangka. “Oh ya, kapan kita pulang ke rumah?” tanya Lyra kepada Dewangga yang saat ini duduk di sampingnya. “Nanti siang. Aku masih menunggu orang untuk membahas pekerjaan,” jawab Dewangga. “Kamu sudah bosan di sini?” “Iya. Habis aku sendirian, sih. Mas sibuk sama kerjaan. Kalau di rumah kan, aku bisa mengobrol sama Bi Dalimah, Mbak Kinarsih atau sama Pak Adipati,” jawab Lyra dengan helaan napas dalam. “Adipati sedang tidak ada di rumah.” “Iya kah?” Dewangga mengangguk singkat. “Iya. Aku menyuruhnya keluar untuk melakukan sesuatu. Soal pekerjaan,” katanya. “Bahkan sebenarnya bertemu dengan Jenar itu tugas Adipati. Tapi, berhubung dia tidak ada di sini, jadi aku yang harus menemui Jenar secara langsung.” Lyra mengangguk mengerti. Jadi, bisa dibilang pertemuan Dewangga dan Jenar itu bukanlah keinginan Dewangga bukan? “Oh ya, apa boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Lyra. “Apa?” “Apa benar orang tua Mas sudah nggak ada?” Dewangga tersenyum tipis seraya menganggukkan kepala. “Benar,” jawabnya. “Mereka sudah meninggal sejak lama.” “Mas nggak punya keluarga lain?” “Nggak ada keluarga lain,” jawabnya. “Pasti Mas kesepian,” ucap Lyra mendadak merasa sedih. “Tidak juga. Aku baik-baik saja, Lyra,” katanya tersenyum lebih lebar. “Lagi pula, mereka sudah meninggal cukup lama sampai membuatku terbiasa sendirian. Aku hampir tidak mengingat wajah mereka,” gumamnya dengan tatapan menerawang. “Begitu, ya,” kata Lyra mengangguk-anggukkan kepala mengerti. “Ibuku, ibu kandungku, juga sudah meninggal sejak lama. Sejak usiaku tiga tahun. Aku tidak banyak mengingat tentang Ibuku karena usiaku yang masih sangat kecil. Tapi, tetap saja rasanya aku selalu merindukannya.” “Apa ibu tirimu jahat?” tanya Dewangga kepada Lyra. Lyra menggelengkan kepala. “Tidak. Ibu tiriku tidak pernah bersikap kasar sampai main tangan. Paling juga hanya mengomel dan memarahiku saja.” “Bagus kalau begitu,” kata Dewangga terdengar agak lega. “Oh ya, boleh tanya satu hal lagi?” Lyra menatap Dewangga penuh harap. Dewangga kembali menganggukkan kepala. “Apa yang ingin kamu tanyakan?” katanya tanpa banyak berpikir. Seoalh Dewangga tidak akan keberatan dengan apa pun yang hendak Lyra tanyakan. “Kenapa Mas pilih aku sebagai pengantin Mas? Padahal kita nggak pernah ketemu kan?” Dewangga tersenyum penuh arti. “Sebenarnya bukan aku yang memilihmu, Lyra. Tapi, Ayahku.” Lyra mengernyit bingung. “Tapi, katanya Tuan Dewangga yang memilihku sebagai pengantinnya. Jadi, bukan Mas yang dimaksud?” “Dewangga adalah nama keluargaku, Lyra. Ayahku pun bernama Dewangga,” ucap Dewangga. “Ah, sepertinya kamu belum tahu nama lengkapku.” Suami Lyra itu tersenyum kecil. “Namaku Hasta Prabu Dewangga. Sedangkan ayahku bernama Mhadani Dewangga. Orang-orang memanggilku Tuan Dewangga karena aku adalah penerus ayahku.” “Jadi begitu,” kata Lyra mengerti. Selama ini Lyra mengira Dewangga lah yang memang memilihnya. Namun, ternyata bukan. Jadi, mereka menikah ketika mereka berdua sama-sama orang asing? Dan Dewangga menerimanya begitu saja? Bagaimana bisa? Lyra kan tidak secantik itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD