Sepanjang sarapan berlangsung, tak ada yang berbicara sama sekali. Semua orang masih terbawa suasana makan malam yang kurang baik karena adanya obrolan tentang olimpiade.
"Kok nggak dihabisin?" Akhirnya ada yang membuka suara—Wanda. "Res, Bunda ngomong sama kamu. Kenapa nggak dijawab?"
Nares yang tadinya sudah hendak beranjak, terpaksa kembali duduk. Perutnya mual luar biasa. Rasanya seperti diaduk dengan blender. Susah payah ia menahan untuk tidak muntah. Wanda malah bertanya macam-macam.
"Kenapa kamu berubah, sih, Nak? Mana anak Bunda yang manis dan sopan sama orangtua? Kenapa kamu jadi kayak gini?" Wanda terlihat sedih.
Sandi mengelus pundak sang istri untuk menenangkan. Hima dan Atha diam menyimak. Nares gemas ingin menjawab dengan jujur. Bahwa Atha lah yang membuatnya berubah. Apalagi semenjak Atha tinggal di sini.
Namun Nares berusaha menahan emosinya. Jika ia jujur, ujung-ujungnya ia sendiri yang sakit hati karena lagi-lagi orangtuanya akan membela Atha. "Aku nggak enak badan, Bun," jawab Nares akhirnya.
"Kamu sakit? Kenapa nggak ngomong?"
"Aku nggak apa-apa. Cuman meriang dikit."
"Tahu sakit begitu, harusnya kamu makan yang banyak, Res." Sandi mulai ikut-ikutan. "Kamu udah besar. Udah saatnya kamu bertanggungjawab sama kesehatan kamu sendiri. Jangan kayak anak kecil sok-sokan nggak mau makan."
Nares benar-benar malas berdebat lagi. Sungguh. Nares sudah lelah. "Aku mual, Yah. Kalau dipaksa makan nanti muntah." Nares akhirnya jujur. "Udah, ya. Nggak perlu dibikin panjang lagi masalahnya. Oke?"
"Kalau kamu emang sesakit itu, kamu harusnya di rumah aja. Nggak usah sekolah. Udah Ayah bilang, kan? Sudah waktunya kamu bertanggungjawab sama kesehatan kamu sendiri!" Sandi malah meneruskan ceramahnya.
Membuat Nares semakin ingin muntah saking muaknya. "Udah, ya, Yah. Maaf banget aku nggak sopan. Aku berangkat. Permisi." Nares mengambil tas dan jaketnya yang digantung pada mahkota kursi dan berlalu secepat yang ia bisa.
"Anak itu ... makin besar makin menjadi aja kelakuannya." Sandi benar-benar dongkol.
"Sabar, Yah. Sepertinya kita harus lebih tegas sama dia mulai sekarang. Biar dia lekas dewasa," ucap Wanda.
"Andai aja Nares bisa dewasa dan mengerti seperti Atha. Kita nggak perlu sering ngomel kayak gini, Bun."
"Iya, Yah. Makanya kita harus didik dia lebih keras."
Tanpa sepengetahuan semua orang, Atha tengah tersenyum puas di tengah aktivitas mengunyahnya.
***
"Lho, kenapa, Res?" Pink tampak sangat terkejut dengan keputusan yang baru saja disampaikan oleh Nares.
"Karena aku udah nggak minat," jawab Nares singkat.
Belum juga Pink sempat menjawab—karena gadis itu masih tenggelam dalam keterkejutannya—Nares buru-buru berbalik dan pergi bergitu saja.
"Res ... tunggu!" Pink mengejar Nares. Ia harus berlari karena sulit untuk menyamai langkah lebar kaki jenjang cowok itu. Mesipun Pin tergolong tinggi, namun ia tetap kesulitan.
Saat jarak mereka sudah dekat, Pink segera meraih tangan Nares. Ia berhasil menghentikan langkah Nares. Ia segera menghadang Nares sebelum cowok itu mencari celah untuk menghindar.
"Kamu nggak bisa pergi gitu aja, Res! Kita udah telanjur jadi tim. Kami sudah telanjur bergantung sama kamu. Kita sudah berlatih bersama sejauh ini. Kita sudah seperti fondasi bangunan yang kokoh? Menurut kamu apa yang akan terjadi pada KBM jika salah satu fondasi terkuatnya tiba-tiba pergi?"
"Aku nggak peduli, Pink," jawab Nares tegas. "Motivasi aku buat ikut olimpiade udah hilang!"
"Nggak bisa gitu, Res. Itu namanya kamu egois. Setidaknya kamu harus bertahan demi tim."
"Gimana aku bisa bertahan sementara aku udah nggak ada semangat sama sekali?"
Pink melangkah semakin dekat pada Nares. Gadis itu harus mendongak untuk melakukan kontak mata dengan Nares.
"Aku nggak tahu apa motivasi kamu ikut tim. Aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba motivasi itu hilang. Tapi ... aku tahu saat ini kamu pasti sedang merasa dikecewakan, kan?"
Nares tertegun mendengar pertanyaan Pink. Ia sebenarnya heran dari mana Pink bisa tahu tentang kekecewaan besar yang ia alami. Namun ia benar-benar terkesan dengan tebakan gadis ini yang sungguh tepat sasaran.
"Dari mana aku tahu kamu sedang kecewa?" Pink seakan dapat membaca pikiran Nares. "Aku bukan cuman asal nebak, Res. Aku bisa ngomong, karena aku pernah mengalami kecewa itu pula. Aku pernah ingin membuktikan pada seseorang tentang sesuatu yang bisa aku lakukan. Tapi orang itu sama sekali nggak peduli. Untunglah aku nggak menyerah. Sekarang aku bisa buktiin pada orang itu kalau aku bisa lebih daripada apa yang ia pernah bayangkan.
"Kamu pernah dengar kiasan tentang balas dendam tedahsyat, Res? Balas dendam terdahsyat bukan saat kita bisa membalas rasa sakit yang pernah kita terima. Tapi ... menunjukkan pada tersangka pencipta sakit hati itu ... dengan sebuah kesuksesan besar.
"Aku mohon kamu bertahan, Res. Selain demi tim. Juga demi kamu sendiri. Kelak seandainya nasib berpihak pada kita. Kita menang olimpiade. Kita menorehkan prestasi besar pada sekolah. Seluruh sekolah ... bahkan seluruh negeri akan bangga pada kita. Dengan begitu kamu dapat membuktikan kesuksesan kamu pada mereka. Justru kecewa itu bisa menjadi motivasi baru kita."
Nares masih bertahan dalam diam. Namun pikirannya jauh berputar pada banyak hal. Ia terkesan dengan rentetan kalimat Pink yang dengan ajaibnya membuat suasana hatinya membaik. Ada sesuatu dalam diri gadis ini yang membuat Nares merasa nyaman .... Sebuah persamaan nasib.
"Aku akan kasih kamu waktu untuk rehat sejenak, Res. Kamu perlu waktu untuk menenangkan pikiran dan memupuk kembali semangat. Aku percaya kamu akan segera pulih. Aku dan yang lain nunggu kamu ikut kembali latihan bersama tim." Pink tersenyum lalu menepuk bahu Nares beberapa kali.
Nares masih belum bicara sepatah katapun. Namun bibirnya baru saja membalas senyuman Pink, tepat sebelum gadis itu melangkah pergi.
***
Atha bertepuk tangan menyambut kedatangan Pink di ruang KBM. "Kamu benar-benar hebat, Pink! Aku lihat semuanya tadi. Kamu mengatakan hal itu pada Nares, seakan-akan kamu memang benar-benar pernah dikecewakan."
Pink menyeringai. "Pertama-tama, makasih atas pujiannya, Atha. Tapi yang perlu kamu tahu, aku pernah dikecewakan, itu adalah kenyataan."
"Oh, ya? Siapa gerangan yang pernah mengecewakan seorang Pink yang terhormat?"
Pink tersenyum. Namun sorot matanya menyiratkan kesedihan. "Itu masa lalu. Andai Tuhan nggak menciptakan kenahasan bernama lupa."
Atha mengangguk. "Oke. Sekali lagi makasih banget kamu udah bersedia mempertahankan Nares. Karena kalau sampai dia pergi, gagal sudah semuanya.”
Pink mengangguk. "Aku pastiin Nares akan tetap di sini, Tha. Aku janji."
Atha tersenyum puas. "What a good and smart girl!"
Pink tak memberi reaksi apa pun. Hanya menatap Atha dengan pandangan yang sulit diartikan.
***
TBC