Skenario Pernikahan

1302 Words
Jefri menarik tangan Clarissa menjauh dari kolam renang. Mereka beridri di tempat yang minim pencahayaan. Ada satu pohon tinggi yang menghalangi keberadaan mereka. Kedua tangan Jefri memegang pundak Clarissa hingga gadis itu kaget dengan sikapnya. “Kamu beneran hamil? Tekdung? (kata untuk menggambarkan orang hamil)” tanya Jefri sembari membuat gerakan perut besar dengan tangannya. Clarissa mengangguk pelan membuat Jefri kini jalan mundar-mandir di depan Clarissa sembari mengusap dagunya. “Ini kesempatan kamu buat membatalkan perjodohan. Aku tahu bagaimana sakitnya hati gadis itu ditinggal pacarnya menikahi orang lain. Karena aku juga merasakannya,” kata Clarissa. Kepalanya kini tertunduk mengingat Jack, ayah biologis dari anak dalam kandungannya. Membayangkan bagaimana Jack akan menikahi perempuan lain dan hidup bahagia tanpa dirinya membuat Clarissa belum ikhlas melepaskan. “Justru ini kabar baik. Coba ceritakan kisah kamu dengan pria b******k itu,” kata Jefri membuat Clarissa mendongkak keheranan. Ia tidak menyangka pria itu sangat antusias dengan kehamilannya. Tidak sedikit pun ekspresi dan kata-kata Jerfri yang menyudutkan Clarissa karena hamil di luar nikah. “Maksud kamu?” “Ck, lola banget. Aku gak suka sama cewek polos yang pura-pura gak tahu,” kata Jefri. Seketika Clarissa menginjak kakinya, tapi Jefri bisa menghindari. “Aku sudah hafal gerakan wanita. Cepat ceritakan semua tentang laki-laki pengecut itu.” “Dia bukan pengecut,” bela Clarissa dengan wajah kesal. “Iya-iya dia bukan pengecut. Susah banget ngomong sama orang yang bucin. Cowok cemen kayak gitu masih saja dibela,” kata Jefri membuat Clarissa mencubit perutnya. Kali ini Jefri tidak selamat. Ia berteriak lalu menjaga jarak dari Clarissa. “Mau aku bantuin gak? Atau kamu mau orang tua kita marah karena perjodohan ini batal?” Seketika Clarissa menggeleng. Entah apa yang ada di pikiran Jefrri, tapi yang jelas pria itu terlihat tulus ingin membantunya. “Kamu gak marah?” Jefri mengusap wajahnya tampak kesal karena Clarissa begitu lama menceritakan pria itu. Ia semakin yakin tidak akan jatuh cinta pada Clarissa karena gadis itu begitu lamban. “Cepat ceritakan,” desak Jefri. Clarissa menghela napas dalam lalu mulai menceritakan saat pertama kali bertemu dengan Jack. Hatinya menghangat setiap kali wajah pria itu terlintas dalam pikirannya. “Aku gak tahu sedang hamil. Awalnya Jack sangat senang mendengar kabar kehamilan aku, tapi tiba-tiba dia datang dan minta aku menggugurkan bayi ini.” Clarissa mengusap perutnya. “Kalian putus dan dia pergi dengan wanita lain?” tebak Jefri. Clarissa menggeleng. “Dia dijodohkan sama seperti kita. Sebelum aku pulang kami sempat bertemu. Dia menangis dan minta maaf, tapi tangisan itu gak ada gunanya lagi. Restu dari kedua orang tuanya tidak akan bisa kami dapatkan karena tangisan,” kata Clarissa. Ia tersenym tipis sembari mengusap air matanya. “Dia akan menikah minggu depan,” lanjutnya. Jefri mengusap punggung Clarissa. Ia mengerti bagaimana perasaan gadis itu. Rasa sakit yang ia rasakan juga ketika harus meninggalkan kekasihnya. “Aku akan bantu kamu. Kita akan menikah lalu mengumumkan kehamilan kamu sebagai anakku, tapi kamu tidak boleh melarang aku bertemu dengan pacarku. Kamu juga boleh ketemu pria itu kalau mau, tapi jangan sampai ketahuan,” kata Jefri membuat Clarissa terdiam kaku. “Kamu sinting,ya?” “Anggap saja seperti itu. Kita sama-sama untung. Anak kamu dapat pengakuan dari masyarakat. Aku gak masalah mengakui dia sebagai anakku, aku juga akan memberikan kamu uang bulanan seperti istri pada umumnya, tapi jangan larang aku pacaran.” “Bagaimana sama pacar kamu itu? Kalian mau pacaran terus?” “Itu urusan aku sama dia. Kalau dia sudah siap untuk nikah kita akan bercerai,” kata Jefri. “Apa maksud kamu? Bagaimana kalau dua bulan setelah kita menikah perempuan itu mau nikah sama kamu?” “Ya, aku bakal nikahin dia. Bukannya yang terpenting anak dalam perut kamu itu dapat pengakuan? Setidaknya anak itu punya ayah yang sah di mata hukum dan masyarakat.” Clarissa tertawa kecil mendengar penjelasan Jefri yang seolah menganggap remeh suatu pernikahan. “Pernikahan itu sakral, Jef, bagaimana kita bisa mempermainkan pernikahan seperti itu?” “Sejak kita menerima perjodohan ini sebenarnya kita sudah mempermainkan pernikahan, Clarissa. Sekarang kamu pilih membatalkan pernikahan ini dan mengakui kalau kamu hamil atau melanjutkan pernikahan sesuai rencanaku?” Clarissa terdiam. Ia tidak punya pilihan lain lagi. Jefri sudah berbaik hati membantunya menutupi kehamilan ini dan mengakui anaknya sebagai darah daging sendiri. Clarissa mengulurkan tangannya membuat alis Jefri terangkat naik. “Aku setuju,” kata Clarissa membuat Jefri membalas uluran tangannya. “Apa kita perlu tanda bukti perjanjian?” “Tidak, kita sudah dewasa jadi sudah tahu batasan. Segala aturan dalam rumah tangga kita bicarakan nanti,” sahut Clarissa. Jefri lalu menggandeng tangan Clarissa masuk ke dalam rumah bertemu dengan kedua orang tua mereka. “Sepertinya kalian sudah akrab,” ujar Brata saat melihat tangan mereka masih bertautan. Jefri segera melepas genggaman tangannya lalu tersenyum canggung. Begitu juga dengan Clarissa yang tampak kesal karena Jefri menghempaskan tangannya begitu saja. “Ma, Pa, Om dan Tante, setelah kami bicara sebentar, kami memutuskan untuk segera menikah,” kata Jefri membuat kedua orang tua mereka bersorak gembira. “Kalian duduklah dulu, kita carikan tanggal yang tepat untuk pernikahan kalian,” ucap papa Jefri. “Aku ingin menikah minggu depan,” kata Jefri membuat semua orang kaget. Clarissa membolakan matanya menatap Jefri yang kini menatap wajah kaget orang tua mereka. Jefri tertawa kecil lalu merangkul pundak Clarissa. “Aku sudah gak sabar pengen ngasi kalian cucu,” lanjutnya membuat orang tua mereka tertawa menggoda. “Ya, ampun anak muda selalu terburu-buru dan menggebu-gebu,” ujar Hamida sambil tertawa. “Waktu muda dulu kita juga pengennya cepat nikah.” Para orang tua saling melempar candaan. Clarissa melepas rangkulan Jefri di pundaknya hingga pria itu menoleh. “Kamu gila,ya,” bisik Clarissa. “Apanya yang gila? Perut kamu bakalan cepat gede kalau kita gak segera nikah. Kalau nunggu lima bulan lagi kelamaan. Keburu besar,” bisik Jefri lalu kembali menatap orang tuanya sambil tersenyum. Clarissa menghela napas memikirkan ucapan pria itu. Kebohongan yang melandasi sebuah pernikahan membuat Clarissa takut akan masa depannya. “Baiklah kita akan mempersiapkan acara pernikahan sesegera mungkin,” kata mama Jefri. “Aku ingin pernikahan yang sederhana biar tidak menghabiskan banyak waktu,” usul Clarissa. “Aku setuju. Acaranya sederhana saja yang penting sah.” Jefri menimpali. Orang tua Clarisa tampak tidak setuju acara itu digelar biasa saja, tapi karena orang tua Jafri mendukung membuat mereka tidak bisa berbuat banyak. “Kenapa kamu mau acara yang sederhana sih, Clarissa?” tanya Hamida setelah tamunya pergi. Clarissa yang sedang menyimpan nomor ponsel Jefri pun menaikkan pandangan. “Emang kenapa kalau sederhana? Lagian waktunya mepet banget gak bakalan sempat nyiapi yang mewah-mewah.” “Tapi kan nikah itu sekali seumur hidup,” ujar Hamida. “Menikah sekali seumur hidup hanya berlaku untuk pasangan yang tepat,” kata Clarissa lalu beranjak pergi. Hamida tampak kesal mendengar jawaban anak gadisnya. Clarissa satu-satunya anak gadis yang mereka miliki. Sedikit berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya yang kini sudah merantau ke nergei orang dan jarang pulang. “Bagaimana caranya kakakmu pulang kalau kalian nikah secepat ini?” Hamida kembali mengikuti Clarissa ke kemarnya. “Itu urusan mereka, Ma. Kalau pun kaku nikah lima bulan bahkan setahun lagi itu gak akan ngaruh apa pun sama mereka. Yang ada pernikahan ini batal kalau kelamaan nunggu,” kata Clarissa menakut-nakuti ibunya. “Kamu ini memang keras kepala, ya. Kedua kakak kamu nurut banget sama orang tua, tapi kamu kok suka menentang. Untungnya kamu mau mendengar kata-kata mama buat gugurin bayi itu kalau enggak si Jefri bakalan ninggalin kamu.” Clarissa yang sejak tadi berdiri di depan lemari pakaian hanya terdiam mendengar ucapan ibunya. Ia berusaha sabar mendengar setiap kata yang terlontar begitu saja. Clarissa menyadari semenjak hamil ia lebih sensitif, tapi gadis itu berusaha mengendalikan emosinya. Ponsel Clarissa bergetar, tertera nama Jack pada layar. Tangan gadis itu gemetar dan ragu untuk menerima panggilan itu. ‘Kenapa dia menghubungiku lagi?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD