“Heuh? Kamu yakin, dengan cara kayak gitu orang tua kamu nggak akan mau anggap kamu sebagai anaknya lagi?” tanya Rhea masih tidak percaya dengan ucapan Mario tadi.
Pria itu mengendikan bahunya. “Bisa jadi sih. Aku juga nggak tahu. Tapi, kayaknya kayak gitu. Setahu aku, hukuman untuk orang-orang yang berkhianat itu pertama, diasingkan dari keluarga besarnya. Kedua, dibunuh dengan cara diam-diam.”
Rhea menutup mulutnya lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. “No, no, no! Nggak! Aku nggak mau! Kamu apa-apaan sih, Mario. Kamu mau bikin aku stress apa gimana? No! Big no!” Rhea menolak usul dari kekasihnya itu.
Mario lantas terkekeh lalu memegang dagu perempuan itu dan menatapnya lekat.
Cup!
Pria itu mengecup bibir sang kekasih lalu mengulas senyumnya. “Nggak akan, Sayang. Ya udah, kalau nggak mau ambil opsi itu.”
Rhea lantas mengerucutkan bibirnya. “Siapa pun pasti akan menolak usul gila kamu itu, Mario. Kamu jangan bikin aku parno kayak gitu, aah!”
Mario terkekeh pelan lalu menarik tangan Rhea. Memeluknya sembari mengusapi punggung perempuan itu dengan lembut.
“Tapi, kalau dipikir-pikir, Kaisan udah gede. Dia Sebentar lagi udah tiga tahun. Ulang tahunnya udah di depan mata. Harusnya sih, kasih hadiah adek, buat dia.”
Kode keras dari Mario membuat Rhea malah enggan untuk melepas kontrasepsinya. Ia menggelengkan kepalanya menolak permintaan dari kekasihnya itu.
“Kalau kamu udah resmi jadi suami aku. Baru, kasih adek buat Kaisan. Untuk saat ini aku nggak mau ambil ide kamu itu. Nanti kamu dibunuh, aku jadi single mom lagi. Dua anak, pula. Nggak deh. Yang ada nanti aku makin stresss.”
Mario terkekeh pelan lalu menghela napasnya dengan panjang. “Tidur, yuk! Sudah malam. Besok, aku harus ke Surabaya sama Damian buat urus beberapa customer nanti. Enaknya punya teman yang usahanya udah terkenal di mana-mana. Bisa ikut ambil job dari mereka yang butuh keperluan yang nanti aku produksi.”
Rhea lalu mengulas senyumnya. “Damian udah baik banget bantu kamu, Mario. Mau pinjamin modal gede banget. Bantu kamu nyari arsitek untuk bangun gedung perusahaan kamu. Dan nggak minta untuk dibalikin. Hanya minta kamu tetap ada di samping aku.”
Mario terkekeh pelan kala mengingat perjanjian konyol saat meminjam modal kepada Damian.
“Aku nggak pernah tertawa sekeras itu. Damian, sangking takutnya Indi nuduh dia yang nggak-nggak, kasih aku modal nggak kira-kira dengan syarat cukup cintai kamu dan miliki kamu selamanya.”
Rhea ikut terkekeh lalu menganggukkan kepalanya. “Indi memang aneh. Mimpinya takut kenyataan. Padahal, niat buat deketin Damian aja nggak ada. Karena pasti udah ditolak duluan. Damian juga tahu, gimana killer-nya Indi. Bisa dicincang habis-habisan kalau berani khianati dia.”
Mario menganggukkan kepalanya. “Namanya takut kehilangan memang seperti itu. Aku mengerti perasaan Indi. Dia sangat mencintai Damian, dan dia nggak tahu kalau Damian jauh sangat mencintainya. Rasanya gila aja, kalau Damian akhirnya memilih selingkuh. Selama tujuh tahun stalking Indi, jadi nggak berarti apa-apa kalau dia berani menyakiti Indi dengan cara seperti itu."
Rhea mengangguk. “Setuju!”
Mario lalu mengulas senyumnya. Ia kemudian menatap Rhea dengan tatapan lekatnya. “Apa yang Damian rasakan dulu, pernah aku rasakan, Sayang. Kamu mencintai orang lain sementara aku mencintai kamu. Bertepuk sebelah tangan karena kamu menganggap aku hanya teman baik kamu. Tapi, sekarang udah lega. Karena akhirnya bisa jadi miliki kamu selamanya.”
Rhea tersenyum haru seraya menatap sendu wajah Mario. “Semoga selamanya, ya. Jangan tinggalkan aku. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti kalau kamu ninggalin aku.”
Mario lalu mengecup kening Rhea dengan lembut. “Never!” bisiknya lalu ciumannya itu turun ke bawah. Mencium bibir Rhea dan berpagut mesra sembari melingkarkan tangannya di ceruk leher perempuan itu.
**
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.
Rhea sudah lebih dulu bangun dari tidurnya dan segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menyiapkan sarapan untuk Mario dan juga anaknya—Kaisan.
Lima belas menit kemudian, Rhea menyelesaikan acara mandinya. Ia lalu keluar dari kamar tersebut setelah membangunkan Mario.
“Morning, anak Mami yang paling tampan,” sapa Rhea menghampiri sang anak yang baru saja selesai mandi dengan babysitter-nya.
“Mami, mau makan,” pinta Kaisan kepada sang mama.
“Of course, Sayang. Kita sarapan sama-sama, yaa. Bibi lagi buatkan nasi goreng selimut buat kamu.”
Kaisan hanya mengangguk lalu mengambil s**u kedelai yang sudah disediakan oleh pengasuhnya di sana.
“Aku keluar dulu ya, Rit.”
“Baik, Bu.” Rita mengangguk lalu kembali mendandani Kaisan lagi.
“Morning!” sapa Mario lalu mencium pipi Rhea yang sedang menyiapkan sarapan.
“Morning. Berapa lama, di Surabaya?” tanya Rhea ingin tahu.
“Hanya dua hari. Kaisan kan, mau ulang tahun. Masa iya, aku tinggal dan nggak menghadiri acara ulang tahunnya.”
Rhea lalu mengulas senyumnya.
“Daddy!” Kaisan langsung menghampiri Mario yang tengah duduk di kursi meja makan.
“Morning, anak ganteng. Sarapan dulu sebelum berangkat sekolah, oke?!” Mario lalu mendudukan anak lelaki itu di pangkuannya dan menyuapinya agar Kaisan mau makan yang banyak.
Rhea lalu menghela napasnya dengan pelan. “Sayang. Besok, Daddy harus pergi. Nanti makannya sama Mami, yaa. Jangan rewel. Nanti Mami telepon Daddy-nya kalau nggak mau nurut.”
Kaisan mengangguk. “Iya, Mami.” Ia lalu menoleh kepada Mario. “Daddy mau ke mana?” tanyanya ingin tahu.
“Mau kerja, Sayang. Nanti pulang kerja, Daddy beliin mobil-mobilan yang baru asalkan mau makan sama Mami. Oke?”
“Oke!” Kaisan kembali membuka mulutnya untuk menerima suapan dari Mario.
Pemandangan setiap pagi yang selalu membuat Rhea enggan untuk berpisah dengan Mario. Kaisan begitu dekat Mario bahkan lebih lengket dengan lelaki itu daripada dengannya.
‘Kasihanilah anakku. Jangan biarkan dia kehilangan sosok ayah yang membuatnya bisa bangkit dan semangat untuk hidup. Jangan biarkan Mario pergi dari keluargaku, Tuhan.’ Rhea berdoa dalam hatinya.
Mario lalu menatap Rhea dan menyuapi satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
“Jangan melamun. Ayam tetangga sebelah kemarin mati gara-gara melamun.”
“Di tengah jalan,” timpal Rhea kemudian.
Mario lantas terkekeh. “Lamunin apa lagi, heum? Selama aku masih ada di dunia ini, semuanya akan baik-baik saja. Kecuali udah dipanggil.”
“Hus! Kamu ini, yaa. Kenapa sih, ngomongnya ngelantur terus? Kemarin dibunuh, sekarang bilang begitu juga. Aneh!”