Rhea lalu menelan saliva dengan pelan seraya menatap kedua orang tuanya dengan tatapan seolah bingung jawaban apa yang akan dia ucapkan kepada kedua orang tuanya itu.
“Ma. Aku tahu, risiko apa yang akan aku hadapi nanti. Tapi, aku percaya kalau Mario tetap akan tinggal di sini. Aku yakin itu, Ma, Pa.” Rhea meyakinkan kedua orang tuanya bahwa dia dan Mario akan tetap bersama apa pun yang terjadi.
“Mama dan Papa nggak setuju, aku dan Mario bersama? Selama ini, kalian hanya berpura-pura melihat aku bahagia, melihat Kaisan yang akhirnya punya ayah? Hanya kebahagiaan palsu, yang kalian perlihatkan ke aku?” tanya Rhea dengan suara bergetar.
Cintya lalu memeluk Rhea. Menenangkan anaknya yang sudah menitikan air matanya lagi.
“Bukan itu maksud Mama, Sayang. Kamu pernah kehilangan. Mama hanya tidak ingin kamu kehilangan lagi. Tentu saja Mama sangat bahagia melihat kamu bahagia, Kaisan memiliki ayah dan sangat mencintainya juga mencintai kamu.
“Yang Mama takutkan adalah, orang tua Mario kembali ke Indonesia dan membawa Mario pergi dari sini, Nak. Hanya itu. Karena dia anak pertama, laki-laki satu-satunya yang seharusnya mewarisi semua jabatan yang orang tuanya miliki.”
Cintya—dengan keteguhan hatinya menjelaskan kembali kepada Rhea. Bukan karena dia ingin memisahkan Mario dengan anaknya itu. Hanya saja, dia takut Rhea terluka untuk kedua kalinya.
“Mama dan Papa jangan khawatir. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap ada di sini. Untuk Rhea dan juga Kaisan.” Mario lantas menghampiri mereka dan memberi tahu juga menegaskan kalau dirinya akan tetap ada untuk Rhea dan juga Kaisan.
“Aku tahu, aku anak pertama dan satu-satunya laki-laki dalam keluarga itu. Tapi, selir Papa banyak. Dia punya istri di mana-mana dan bisa dia ambil satu orang anaknya untuk dia jadikan sebagai pewaris semua jabatannya.
“Selama ini aku tinggal bersama Nenek di Indonesia. Ibu dari Mama. Kenapa setelah aku dewasa, mereka memintaku untuk kembali ke sana? Aku berani meyakinkan diri karena aku tahu apa yang harus aku lakukan, Ma, Pa. Jangan khawatir, aku bisa melewati ini semua dengan baik.”
Mario lalu menatap Rhea dengan tatapan tulusnya. “Aku tidak akan meninggalkan Rhea, apa pun yang terjadi.”
Aryo lalu menghampiri Mario dan mengusapi lengan lelaki itu. “Nak. Anak dari istri tidak sah itu tidak akan diakui dan tidak berhak menerima warisan dari ayahnya.”
“Ya. Aku tahu itu. Tapi, mengubah nama dengan namaku semuanya bisa dilakukan. Hanya saja, semuanya butuh proses. Aku sudah bernegoisasi dengan Mama agar merundingkan hal ini dengan keluarga Papa.”
Mario lalu menatap Aryo dengan lekat. “Aku tidak butuh harta itu, Pa. Aku ingin hidup bebas walaupun harus berusaha dari nol lagi. Banyak uang tapi hati terasa sepi, tidak ada artinya juga, Pa. Aku bahagia, bisa bersama dengan Rhea dan Kaisan.”
Rhea kembali menatap Mario dengan tatapan penuh haru. Ketulusan hati Mario lah yang menjadi alasan mengapa Rhea hingga saat ini masih ingin bertahan dengan lelaki itu. Baginya, risiko itu hanyalah rintangan semata.
Yang menentukan jodoh tidaknya tetap yang di atas. Ia lalu menghampiri Mario dan memeluknya. Memeluk dengan sangat erat. Perasaannya pun tidak bisa dijabarkan dengan apa pun selain sangat bahagia bisa memiliki Mario.
“Kamu tidak akan pernah mengkhianati kepercayaan aku, kan?” lirih Rhea bertanya kepada Mario.
Lelaki itu lalu mengusapi pucuk rambut sang kekasih sembari menggelengkan kepalanya. “Selama napas masih berembus. Aku akan tetap ada di samping kamu apa pun yang terjadi. Aku nggak peduli meski orang tuaku datang kemari. Memilih untuk pisah dengan mereka bukanlah keputusan yang mendadak aku ambil. Melainkan sudah aku pikirkan sejak lama.”
Sekali lagi, Mario menegaskan kepada Rhea dan juga kedua orang tua Rhea yang selalu mengkhawatirkan anaknya kembali kehilangan orang yang dia cinta.
Mereka hanya tidak ingin membuat anaknya kembali merasakan kehilangan. Mengingat betapa hancurnya hati Rhea kala tahu keputusan pahit yang harus Brandon pilih kala itu. Dan mereka tidak ingin Rhea kembali merasakan itu.
Waktu telah menunjuk angka sepuluh malam.
Orang tua Rhea sudah kembali pulang setelah dirasa tidak ada lagi yang mesti mereka bahas dengan anaknya itu.
Di dalam kamar.
Keduanya tengah duduk di sofa yang tak jauh dari tempat tidur. Sementara Kaisan sudah terlelap dalam tidurnya di kamar yang berbeda.
“Mario?” panggil Rhea kemudian. Ia lalu menghela napas pelan dan menoleh kepada sang kekasih. “Apa yang akan terjadi, kalau mereka datang ke sini? Dulu, kamu tidak bisa pulang karena ditahan. Lalu, apa yang akan kamu lakukan bila mereka datang kemari?” tanya Rhea ingin tahu.
Mario menelan saliva dengan pelan lalu menatap Rhea dengan lekat. “Ada dua kemungkinan yang akan terjadi, Rhea. Satu, memaksa aku untuk kembali. Dua, merelakan aku pergi. Untuk itu, aku harus menyiapkan semuanya sebelum mereka beneran datang ke sini.”
“Menyiapkan apa? Kamu mau siap-siap pergi? Yang dikatakan oleh Mama dan Papa itu benar?”
Mario menyunggingkan senyum tipis lalu meghela napas kasar. “Sekalipun mereka mengancam nyawaku, aku tidak akan mau kembali. Sudah terlanjur membuat kecewa, kenapa ujung-ujungnya malah kembali lagi? Aku bukan anak yang diharapkan dan patut dibangggakan.
“Dan aku nggak bangga, punya orang tua keturunan bangsawan kayak gitu. Aku nggak mau terikat apa pun dengan keluarga aneh itu. Hanya karena mencintai perempuan yang sudah memiliki anak, mereka malah seenaknya melarang ini dan itu. Perasaan orang tidak ada yang bisa dipaksakan.”
Rhea menatap dengan lekat wajah kekasihnya itu. Hanya bisa menatapnya tanpa bisa menjawab apa pun kala Mario mengungkapkan rasa kesalnya terhadap keluarganya.
Mario lalu menoleh dan menatap Rhea dengan lekat. “Ada satu cara yang mungkin akan buat aku nggak bisa kembali pada mereka, Rhea. Tapi, aku nggak yakin kamu mau melakukan ini.”
Rhea lantas mengerutkan keningnya mendengar ucapan ambigu dari kekasihnya itu. “Kenapa begitu? Aku mau-mau aja kalau memang itu bisa buat kamu tetap ada di sini dan menemani aku juga Kaisan.” Rhea menerima apa pun yang akan Mario lakukan kepadanya.
Mario tersenyum tipis lalu mengusapi sisian wajah Rhea dengan punggung tangannya. “Sure?” tanyanya meyakinkan sekali lagi.
Rhea mengangguk. “Memangnya apa?” tanyanya kembali.
Mario menerbitkan senyumnya lalu menghela napas kasar. “Lepas, KB kamu. Kasih adik, buat Kaisan. Mereka pasti akan marah dan mungkin akan membuang aku dengan cara tidak terhormat.”