“Reina?” Aku melangkah cepat mendekat Mas Rio dengan kedua tangan yang menyangga baskom. Air hangat di dalamnya beriak lalu memercik keluar membasahi lantai. Biarlah, mengeringkannya bisa nanti. “Mas? Sakit banget ya?” ujarku seraya menyugar surainya. Ia meringkuk, merengkuh kepalanya sendiri. Wajahnya pucat, mengernyit menahan nyeri. Suhu tubuhnya tepat menyentuh 39-derajat. Aku datang bersama Mami, Papi, Zia, Yuna dan Dilan. Karena terlalu senang dan bersemangat ingin memberi Mas Rio kejutan, turun dari taksi aku tak memedulikan bawaanku. Dilan dan Zia yang repot menurunkan koper-koper kami sekaligus menunggu satu unit taksi lainnya yang membawa kedua orangtuaku dan Yuna. Sementara aku, langsung saja menekan bel kediaman Mas Rio. Saat pintu terbuka, ternyata justru aku yang dikejut