Ziya membuka kulkas. Kulkas kosong melompong, tidak ada isinya. Ziya tertawa di dalam hati. Teringat kalau mereka baru saja pindah ke apartemen itu, tentu kulkas belum di isi.
Ziya ke luar dari dapur, ia menemui Abizar yang tengah membaca koran
"Abang!" panggilannya
"Hmm." Abizar menjawab dengan gumaman saja
"Kayanya kita harus sarapan di luar,"kata Ziya. Ia duduk di samping Abizar.
Abizar menurunkan koran di tangannya, lalu menoleh pada Ziya.
"Kenapa?" tanya Abizar.
"Di dalam kulkas nggak ada apa-apa, Bang. Kita baru pindahan, kulkas belum diisi," jawab Ziya
Abizar meletakkan koran di atas meja, lalu berdiri.
"Ayo makan di luar!" kata Abizar
"Sekalian belanja untuk isi kulkas ya, Bang." Ziya ikut berdiri juga.
"Iya," jawab Abizar
"Aku ganti baju dulu."
"Tidak usah, pakai itu saja," ucap Abizar. Ia menatap Ziya yang memakai celana pendek jeans biru, dan kaos oblong biru juga.
Ziya mengangguk kepala.
Mereka sarapan bubur ayam gerobak di pinggir jalan.
Usai sarapan mereka masuk ke sebuah super market.
Perawakan Abizar yang tinggi gagah, dengan ketampanan asli indonesia, serta Ziya yang mungil, dengan rambut merah, kulit putih pucat, dan mata birunya, benar-benar membuat mereka jadi pusat perhatian
Abizar mendorong troli mengikuti Ziya yang memilih-milih barang
Tiba-tiba di hadapan mereka berdiri Melissa.
"Hay Ezar, apa kabar?" sapa Melissa ramah. Melissa meraih bahu Abizar, dicium kedua pipi Abizar.
"Baik, Ca. Kenalkan ini Ziya , istriku." Abizar memperkenalkan Ziya pada Melissa.
"Hay, halo, aku Ica temannya Ezar." Melissa menyalami Ziya.
"Hay," sapa Ziya, disambut uluran tangan Melissa.
"Maaf ya, kemarin tidak bisa datang ke acara kalian. Aku ada syuting di luar kota," kata Melissa.
"Tidak apa." Abizar yang menjawab ucapan maaf Melissa. Abizar, dan Melissa tengah terlibat percakapan, sedang Ziya tengah memperhatikan orang-orang di super market itu. Ziya merasa, orang-orang yang memperhatikan mereka, seperti tengah memperbandingkan dirinya dengan Melissa.
Ziya menatap Melissa.
Melissa jauh lebih segala dari dirinya.
Tinggi Melissa hampir sama dengan Abizar. Kulitnya putih segar. Rambutnya hitam lebat. Wajahnya sempurna.
"Sampai jumpa lagi ya, Ziya." Tiba-tiba Ziya merasa Melissa menepuk bahunya. Membuyarkan lamunan Ziya, yang tengah kehilangan kepercayaan dirinya.
"Eh, iya," jawab Ziya gagap.
Melissa berlalu dengan langkah yang gemulai.
'Dari belakang saja dia cantik,' gumam Ziya di dalam hati
"Ada lagi yang mau dibeli?" tanya Abizar mengejutkan Ziya yang tengah fokus menatap Melissa.
Ziya menggelengkan kepala. Selera belanjanya mendadak hilang, setelah bertemu Melissa.
"Kita bayar dulu, lalu pulang."
Mereka menuju kasir untuk membayar belanjaan.
Di dalam mobil menuju pulang.
Abizar memperhatikan Ziya yang asik mengunyah coklat almond.
Sejak dari supermarket tadi, Ziya tidak bersuara, dan ini coklat batang kedua yang dimakan.
"Tidak takut gemuk, Zi?" tanya Abizar memulai pembicaraan, untuk mencairkan suasana yang terasa beku di antara mereka berdua.
"Kenapa? Malu punya istri gemuk?" Mata Ziya melotot ke arah Anizar, suaranya ketus sekali.
Abizar hanya mengangkat bahu
Bingung dengan sikap Ziya yang tiba-tiba marah hanya karena ditanya hal sepele saja.
Tiba di apartemen
Abizar meletakan belanjaan di meja dapur. Ziya masih asyik mengunyah coklat. Bibirnya belepotan coklat.
Abizar menatap Ziya. Lalu ia melangkah mendekati Ziya.
Dalam satu gerakan, bibir Abizar sudah mengisap coklat di bibir Ziya. Satu tangan Abizar
Mata Ziya terbelalak, tapi akhirnya di pejamkan matanya.
Dibiarkan lidah Abizar menjilat coklat di dalam rongga mulutnya.
Coklat ditangan Ziya terlepas, saat lidah Abizar semakin intens bergerak di dalam mulutnya. Kedua tangan Ziya memeluk leher Abizar.
Tanpa melepaskan ciuman mereka,
Abizar mengangkat tubuh Ziya. Di dudukan Ziya di atas meja dapur.
Kini kepala mereka sejajar.
Abizar mengalihkan ciuman ke leher Ziya, ia mengecup kulit putih pucat Zoya. Tangan Ziya berpindah dari leher ke punggung Abizar. Jemarinya mencengkeram erat punggung Abizar. Bibir Abizar kembali ke bibir Ziya, tangannya menulusup masuk kedalam baju Ziya.
Saat ziya merasa terbuai, tiba-tiba Abizar melepaskan ciumannya.
Abizar menurunkan Zita dari atas meja
"Maaf, harusnya ini tidak terjadi bukan. Aku minta maaf." Abizar pergi meninggalkan Ziya. Ia ke luar dapur, lalu masuk ke kamar mandi sebelah dapur, meninggalkan Ziya yang masih merasa gemetar seluruh tubuhnya. Saat Ziya masih berusaha menenangkan perasaannya. Abizar ke luar dari kamar mandi, rambutnya basah.
"Aku ke luar dulu, jangan menunggu aku untuk makan siang, ataupun makan malam. Assalamualaikum." Tanpa menunggu jawaban Ziya, Abizar ke luar apartemen, meninggalkan Ziya yang diam dengan tubuh masih gemetar.
Dengan tangan yang gemetar, Ziya membereskan barang-barang belanjaan.
Ziya merasa bodoh, karena sudah bersikap membalas ciuman Abizar tadi. Padahal dirinya yang meminta pada Abizar, tidak boleh ada sesuatu diantara mereka.
'Harusnya aku bisa menolak, bukan malah menikmati ciumannya,' batin ziya
'Tapi dia suamimu, Ziya. Dia berhak atas dirimu,' batinnya Ziya lagi.
*
Abizar masuk ke apartemen saat hampir jam sembilan malam.
Dibuka pintu kamar, terdengar suara dari kamar mandi.
Ponsel Ziya bergetar, Abizar menatap ke layar ponsel Ziya.
Notif di layar menunjukan pesan masuk dari Ismail Faisal.
'Ismail faisal, diakah lelaki itu. Lelaki yang menjadi kekasih Ziya,' batin Abizar
Abizar mengambil bantal, dan guling dari atas tempat tidur. Ia membawa bantal, dan guling ke ruang kerja.
Dirubah sandaran sofa di ruang kerja, hingga sofa berubah menjadi tempat tidur untuknya. Abizar membuka tirai jendela. Dari tempat tidurnya, Abizar bisa melihat bulan, dan bintang, juga cahaya lampu malam ibu kota.
Di dalam kamar Ziya. Ziya ke luar dari kamar mandi, ia bingung mendapati ada bantal, dan guling hilang dari atas ranjang
"Bang Ezar," gumamnya.
Cepat Ziya ke luar kamar, ia melangkah menuju ruang kerja Abizar.
"Abang!" Panggil Ziya.
Ziya masuk ke ruang kerja Abizar yang pintunya terbuka. Ziya ingin protes, tapi urung, begitu melihat apa yang tengah dilihat Abizar di luar jendela. Ziya mendekati Abizar, lalu berdiri di sisi pria yang sudah menjadi suaminya itu.
"Wow keren!"
Abizar menolehkan kepala, ia menatap Ziya, lalu mengamati bekas kecupannya di leher putih Ziya, yang tidak terhalang apapun, karena Ziya menggulung rambut panjangnya di atas kepala.
"Aku mau tidur di sini saja, boleh ya, Bang? Ini keren banget!" Cerocos Ziya dengan tak melepas tatapan dari pemandangan di depannya.
"Kamu sudah makan?" tanya Abizar.
Ziya menggelengkan kepala. Abizar mengernyitkan kening.
"Kenapa?"
"Malas makan sendiri," jawab Ziya.
"Ayo makan dulu, aku temani," kata Abizar
"Aku nggak masak. Abang bilang nggak makan di sini. Abang dari mana?" Ziya mengamati Abizar yang sudah berganti pakaian dari saat pergi tadi pagi.
"Aku dari rumah Bunda. Itu aku bawa sop buntut buatan Bunda. Tinggal dipanasi sebentar. Ada di atas meja makan." Abizar menunjuk ke luar pintu.
"Makannya di situ saja ya, Bang." Ziya menunjuk kursi teras ruang kerja Abizar. Kepala Abizar mengangguk.
Ziya ke luar kamar untuk memanaskan sop buntut.
Dua mangkok sup buntut, plus sambal, jeruk, dan kecap
Dua piring nasi
Dua gelas teh hangat
Diletakan Ziya di atas nampan.
Abizar menyambut Ziya di depan pintu
"Sini biar aku yang bawa."
Abizar mengambil nampan dari tangan Ziya.
Mereka duduk berhadapan dengan hidangan di atas meja.
Menikmati makan malam di teras, di bawah cahaya bulan, meski tanpa lilin, tanpa bunga, bahkan hanya memakai baju tidur, menurut Ziya tetaplah sangat romantis.
Senyum tak lepas dari bibir Ziya
Abizar menatap wajah Ziya.
'Aku tidak tahu apa yang terjadi nanti, Ziya. Apa juga tidak tahu, hubungan seperti apa yang terjalin antara kamu, dan pria Turki bernama Ismail itu. Apakah sekedar teman biasa, ataukah dia teman luar biasa. Yang pasti, aku merasa bersalah padamu. Karena menyeret kamu dalam pernikahan semu. Maafkan aku, Ziya. Maaf juga, karena tadi aku sudah lancang mencium kamu, dan melanggar aturan yang kamu buat.'
*