Dua keluarga sudah duduk bersama di ruang tengah kediaman Arnita.
Seluruh pandangan tertuju pada Abizar, dan Ziya.
"Aku benar-benar minta maaf pada semuanya, karena sudah membuat kekacauan seperti ini. Aku bersedia melakukan apapun yang diminta, untuk menebus kesalahan ini,"kata Abizar. Setelah bicara, kepalanya menunduk.
"Menurutmu apa yang harus kita lakukan, Fathan?" Abi kepada Fathan, ayah Ziya.
"Menurutku, kita nikahkan saja mereka." Jawaban Fathan membuat Abizar mengangkat wajah. Abi, dan Arini saling tatap. Terkejut dengan hal yang disampaikan Fathan.
"Mereka adalah saudara, Fathan," protes Arini pada keputusan Fathan.
"Ziya memang anak kami, tapi dia bukan darah daging kami, Arini. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagipula andai Ziya, adalah anak kami, dia tetap tidak terlarang untuk menikah dengan Anizar," ujar Fathan panjang lebar.
Arini, dan Abi baru teringat, saat duq tahun lalu mereka ke Turki, mereka sempat bertemu dengan ayah kandung Ziya.
Arini, dan Abi kembali saling pandang
"Jadi bagaimana?" tanya Fathan meminta keputusan dari Abi.
"Abizat, kamu harus bertanggung jawab atas apa yang kamu ucapkan, dan apa yang sudah kamu lakukan.
Kamu itu keponakan kesayangan Om. Om tidak mau orang bergosip yang tidak-tidak tentang dirimu." Fathan melayangkan tatapan pada Abizar.
Abizar hanya diam.
"Berita ini pasti sudah tersebar kemana-mana. Seorang Abizar Artaputra Jaya Pratama, pimpinan Pratama Sanjaya Grup, yang baru saja menggandeng seorang artis ternama kesebuah pesta, tiba-tiba mengakui seorang mahasiswinya, sebagai kekasih," kata Fathan lagi. Semua diam mendengarkan penuturan Fathan.
"Satu-satunya nya cara meredam gosip itu adalah, menikahkan mereka," lanjut Fathan lagi. Tangannya menunjuk ke arah Abizar, dan Ziya.
Semua menatap ke arah dua orang yang disebut namanya oleh Fathan. Abizar, dan Ziya hanya diam.
"Bagaimana, Zar?" tanya Abi pada putranya. Abizar menatap ayahnya. Ia menghela nafas sesaat. Apa yang terjadi memang salahnya, tidak berpikir jauh sebelum bertindak. Melibatkan Ziya, untuk menghindari tuntutan Melisa yang ingin hubungan lebih serius dengannya. Tindakan yang akhirnya melibatkan media, dan berujung dirinya disidang keluarga.
Abizar tahu betul karakter Fathan. Penyayang, tapi keras jika sudah mengambil keputusan.
"Abizar!" Abi memanggil putranya yang masih diam saja. Kepala Abizar mengangguk.
"Aku ikut saja keputusan Om Fathan, dan Ayah," jawab Abizar akhirnya. Jawaban yang membuat Ziya melotot ke arahnya.
Satu-satunya harapan Ziya, untuk merubah keputusan papahnya, adalah Abizar, tapi Abizar justru setuju dengan paoahhnya.
"Jadi ... kapan akad nikah akan kita langsungkan?" tanya Fathan pada Abi.
"Apa harus secepat ini?" Abi balik bertanya.
"Aku pikir, lebih cepat lebih baik. Tidak perlu pesta mewah, cukup akad nikah saja dulu kalau perlu."
Abi menarik nafas, ia tak ingin berdebat dengan Fathan. Apa yang Fathan katakan ada benarnya.
Seluruh keluarga berembuk untuk semuanya. Setelah ada kata sepakat, mereka melanjutkan obrolan. Sedang Ziya pamit ke dalam. Lalu ia mengirim pesan pada Abizar.
'Temui aku di taman samping'
Abizar bingung bagaimana cara berpamitan untuk meninggalkan ruangan. Ponselnya berbunyi, Ziya yang menelepon.
"Permisi semuanya, aku angkat telepon dulu." Abizar melangkah ke taman di samping rumah. Dimatikan ponselnya. Ziya menunggu dengan wajah kesal.
"Kenapa Bang Ezar setuju dengan keputusan papah!?" tanya Ziya dengan nada kesal.
Abizar mengangkat kedua bahunya.
"Kamu tahu sendirikan bagaimana papahmu. Aku tidak mau cari masalah dengan beliau," jawab Abizar santai.
"Ini kesalahan Bang Ezar!"
"Karena aku tahu ini kesalahanku, maka aku menurut saja pada keputusan orang tua kita."
"Argghhh! Aku belum ingin menikah, Abang!"
"Kenapa tadi tidak protes di hadapan orang tua kita, Ziya ...."
"Aku tidak berani protes!"
"Aku juga, jadi ya sudah, kita menikah saja."
Ziya menghentakkan kakinya kesal. Wajah cemberut ditampilkan di hadapan Abizar.
"Kamu cemberut, dan kesal, sampai wajahmu terlipat seribu, tidak ada gunanya lagi sekarang. Keputusan sudah diambil, dan kita berdua sudah setuju."
"Iya! Iya! Iya! Oke, aku mau menikah dengan Abang, ttapi aku mau pernikahan ini hanya sekedar menyenangkan hati mereka. Jadi tidak boleh ada sesuatu di antara kita!" Ziya akhirnya menyerah. Abizar memang benar menurutnya. Abizar sudah salah dengan membuat masalah. Dan dirinya salah, karena tidak berani bersuara untuk menolak.
"Sesuatu di antara kita itu apa?"
"Abang tidak boleh pegang-pegang, apalagi peluk cium aku!" Wajah Ziya mendongak, matanya melotot ke arah Abizar.
"Oh itu ...."
"Setuju tidak!?"
Abizar menyodorkan telapak tangannya.
"Oke, deal!" sahut Abizar yang langsung disambut Ziya. Mereka bersalaman.
Sekarang Abizar tahu, Ziya tak lagi menginginkannya jadi pacarnya seperti saat dulu.
Ziya menatap Abizar.
'Setelah susah payah aku mengubur rasa cintaku padanya, kengapa sekarang aku harus menikah dengannya. Ini benar-benar tidak adil. Tapi apa yang bisa aku lakukan, selain mengikuti kemauan mereka semua,' gumam Ziya di dalam hatinya
*
Akad nikah, dan resepsi sederhana berlangsung dua bulan kemudian. Semua dipersiapkan secara cepat.
Pernikahan yang mengejutkan semua orang. Termasuk Melissa yang memutuskan tidak hadir ke acara resepsi Abizar, dan Ziya.
Untuk sementara, Abizar, dan Ziya, menempati apartemen yang tidak begitu jauh dari kantor Abizar, juga tidak terlalu jauh dari kampus Ziya.
Sejak hari dimana diputuskan mereka harus menikah, Ziya merasa ada yang berubah dari Abizar.
Tak sekalipun Abizar bicara padanya.
Abizar hanya menurut apapun yang diputuskan orang tua mereka.
Setelah resepsi, mereka langsung menuju apartemen, dari tempat resepsi berlangsung.
Tiba di apartemen.
Barang-barang mereka sudah tertata rapi di sana. Kamar pengantin juga sudah disiapkan dengan indah.
Tanpa bicara, Abizar membuka lemari pakaian, ia mengambil handuk, dan baju ganti, kemudian masuk ke kamar mandi. Sementara Ziya duduk di tepi tempat tidur, merenungi dirinya yang kini sudah berstatus sebagai seorang istri.
Abizar ke luar dari kamar mandi, ia sudah memakai kaos oblong, dan celana pendek. Ia memandang Ziya yang masih duduk di tepi tempat tidur. Ziya masih mengenakan gaun pengantin.
"Mandilah dengan air hangat, lalu tidur," ucap Abizar datar saja.
Abizar naik ke atas tempat tidur, lalu berbaring dengan memunggungi Ziya.
Ziya merasa kesal pada Abizar.
"Abang, aku salah apa !? Dari hari itu, Abang tidak mau bicara denganku!?" tanya ziya sengit.
Tubuh Abizar telentang. Ditatap wajah Ziya.
"Bukannya kamu yang minta, supaya tidak ada apa-apa diantara kita. Aku betulkan?" Abizar balik bertanya.
"Iya, aku tahu, tapi tidak begini juga, Bang Ezar! Kita bisa jadi teman."
"Maaf, Ziya, aku lelah, dan malas berdebat. Sebaiknya kamu mandi, dan tidur." Abizar kembali memunggungi Ziya.
"Mungkin ini malam pengantin paling aneh, di seantero dunia," gumam Ziya kesal.
Sebanarnya Abizar melakukan ini bukan tanpa alasan Abizar hanya merasa bersalah, sudah menyeret Ziya dalam pernikahan ini.
Beberapa hari setelah diputuskannya pernikahan mereka. Abizar mendengar Ziya bertengkar dengan seseorang di telepon dalam bahasa Turki, dan Abizar mengerti apa yang dipertengkarkan.
Ternyata Ziya sudah memiliki orang yang dicintainya, di Turki sana.
Abizar sungguh menyesal sudah mengacaukan hidup Ziya.
Andai Abizar tahu, Ziya sudah mencintai orang lain, mungkin ia akan menolak pernikahan ini.
Sayangnya semua sudah terlambat.
Pernikahan sudah terjadi. Tak ada lagi yang bisa disesali
Abizar hanya akan berusaha menuruti keinginan Ziya.
Pernikahan ini hanya demi membahagiakan orang tua mereka.
Jangan sampai ada sesuatu di antara mereka.
*
Abizar menggoyang bahu Ziya.
"Ziya, bangunlah, sudah subuh." Abizar berusaha membangunkan Ziya. Ziya membuka matanya perlahan.
"Ooh ... Abang sudah salat?" tanya Ziya sambil duduk. Diusap kedua mata. Abizar menjawab pertanyaan Ziya dengan anggukan kepalanya.
"Kenapa aku tidak diajak salat?" Tanya Ziya.
"Maaf, aku pikir mungkin kamu hanya ingin salat sendiri," jawab Abizar.
Ziya menatap mata Abizar.
Ziya merasa, melihat ada luka di sana.
'Mungkin dia menyesal, sudah menerima pernikahan ini,' gumam hati Ziya
"Sebaiknya cepat salat, sebelum waktu subuh habis," kata Abizar.
Ziya turun dari ranjang, ia beranjak ke ekamar mandi.
Saat ke luar dari kamar mandi, Abizar sudah tak ada di dalam kamar lagi.
Usai salat subuh, Ziya mencari Abizar ke ruang tamu, ruang tengah, dan ruang kerjanya, tapi tidak ada. Kemudian, Ziya mencari Abizar ke dapur.
"Kamu bisa masak, Ziya?" tanya Abizar saat melihat Ziya masuk ke dapur. Kepala Ziya mengangguk.
"Bisa."
"Kalo begitu, kamu saja yang masak sarapan," kata Abizar, sambil menatap Ziya.
"Bang Ezar tidak bisa masak?" tanya Ziya.
"Tidak," jawab Abizar singkat.
"Padahal aku ingin punya suami yang pintar masak." Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut Ziya, dan kemudian sangat disesalinya.
Ziya menatap wajah Abizar.
Wajah Abizar tetap datar saja, mendengar apa yang tadi Ziya ucapkan.
"Abang ingin sarapan apa?" tanya Ziya.
"Terserah kamu saja ingin masak apa," jawab Abizar sambil melangkah ke luar dari dapur.
*