BERTEMU DAVINA

1001 Words
Patricia merasa takjub saat bertemu Davina. Gadis yang hampir berusia setahun itu tampak begitu cantik dan menggemaskan. Patricia tidak perlu meragukan bahwa itu adalah benar anak David. Karena wajah Davina mengingatkan pada David. Semua mirip, hanya saja Davina perempuan. "Ya Tuhan, ini benar-benar cetakan David yang sempurna. Bahkan Davila tidak mirip dengan David, dia lebih mirip Karla dibandingkan David," tukas Patricia. Amelia tersenyum, "Mungkin karena aku terlalu mencintai David , jadi wajah Davina mirip dengan David." "David bodoh karena sudah menyia-yiakan cinta darimu," ujar Patricia. "Wajar, mana ada lelaki yang mau denganku dulu? Aku saja jijik melihat tubuhku sendiri, apa lagi orang lain," kekeh Amelia geli. Patricia menghela napas, "Apa bedanya wanita kurus dan gemuk? Tidak ada, Amelia. Sama- sama wanita, punya hati dan perasaan. Ya, aku akui memang wanita yang kurus terlihat jauh lebih cantik mengenakan pakaian apa saja, tetapi kecantikan yang paling utama itu dari hati," ujar Patricia. "Tapi, David tidak boleh bertemu dulu dengan Davina. Dia akan tetap berada di sini bersama Tasya," ujar Amelia. "Lalu, siapa yang akan mendampingi dirimu?" tanya Patricia. "Ada anak buahku, dia tidak tau tentang Amelia. Yang ia kenal hanya Jasmine, hal itu akan jauh lebih baik. Jika aku yang ikut Amelia ke Indonesia, David akan lebih curiga. Lagi pula aku masih banyak pekerjaan di sini." Patricia mengangguk, "Jangan lupa lakukan operasi kecil untuk menghilangkan tahi lalatmu itu, Amelia," ujarnya. "Segera, Pat. Aku akan mengurus semuanya dengan baik," jawab Tasya. "Ni ... ni ... ca," tiba- tiba Davina mendekati Patricia sambil bicara bahasa bayi. Patricia langsung menggendong gadis kecil itu dan menciumnya dengan gemas. "Ya Tuhan, dia lucu sekali Amelia. Aku ingin membawanya pulang bersamaku," kata Patricia. "Eh, enak saja, tidak bisa. Dia tidak boleh ke mana-mana selain bersamaku," tukas Amelia. "Hahaha ... Kau takut sekali, aku tidak akan menculiknya darimu," goda Patricia sambil menggelitik Davina hingga bocah itu terkikik geli. Ah, Patricia sudah benar-benar jatuh cinta pada Davina. "Apa Karla pernah berdiskusi dengan David tentang aku? Atau setidaknya dia merindukan aku?" tanya Amelia lirih. Patricia menatap Amelia, gadis itu menghela napas panjang. "Kata David, dia merindukan dirimu, dan mulai menyesal karena sudah bersikap buruk kepadamu." Amelia merasa dadanya sedikit sesak. Dulu ketika mereka masih kecil, Karla adalah seorang kakak yang baik. Amelia sejak kecil adalah tukang makan, dan Karla kebalikannya. Jika makanan Karla tidak habis, Amelia yang menghabiskannya supaya Karla tidak dimarahi oleh ibu mereka. Itulah sebabnya kenapa Amelia tumbuh subur dan mengembang seperti balon. Tapi, dulu Amelia abai karena ibunya selalu berkata bahwa kecantikan yang sejati tidak dilihat dari bentuk tubuh. Tetapi ,dari dalam hati, inner beauty. Namun, seiring berjalannya waktu, Amelia harus mengakui bahwa tidak semua orang setuju dengan perkataan ibunya. "Karla ambisius, karena ketika orangtua kami meninggal, dia yang bekerja dan membiayai sekolahku. Setelah itu, kami hidup berhemat, ketika kami memutuskan untuk masuk ke dunia hiburan, rumah peninggalan orangtua kami, Karla jual. Uangnya ya kami gunakan untuk bertahan hidup, ikut audisi ini dan itu. Hingga pada akhirnya David menemukan kami dan membawa Karla menuju kesuksesan." "Kesuksesan yang ia dapat dari memanfaatkan dirimu," cetus Tasya. "Tapi, aku menyetujuinya. Sebenarnya, tanpa aku bantu Karla seharusnya bisa bersinar dengan kecantikan yang ia miliki. Itu akan menjadi daya tariknya sendiri," ujar Amelia. Patricia menepuk bahu Amelia, "Aku setuju, tapi, David terlalu serakah. Ia ingin menguasai suara indahmu, tapi sekaligus memanfaatkan kecantikan Karla." "Hah, sudahlah! Membahas Dave kadang membuatku emosi. Dia itu menyebalkan sekali, asal kalian tau saja." "Kau ini ...." "Aku serius , Tasya. Bayangkan saja, untuk datang ke sini pun dia memaksa, tiket langsung dia berikan sehari sebelum aku berangkat, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Andai dia bukan sepupuku , rasanya ingin aku tinju kepalanya itu," dengus Patricia. Ketiganya tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Patricia. Namun tawa mereka langsung berhenti saat Amelia menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sambil menunjuk ke arah Davina yang terlelap dalam gendongan Patricia. "Davina belum pernah lengket pada orang yang baru ia temui. Biasanya butuh waktu untuknya beradaptasi, tapi denganmu dia mau mendekat," ujar Amelia. "Anak kecil itu tidak bisa dibohongi, Amelia. Dia tau mana yang benar- benar sayang kepadanya, mana yang hanya pura-pura. Lagi pula aku kan auntynya. Jadi, sudah seharusnya ia bisa dekat denganku," tukas Patricia. Amelia tersenyum, "Kau benar, bayi memang sangat sensitif, tolong kau bawa dia ke kamarnya, Pat. Ini memang jam tidurnya," ujar Amelia. Patricia pun langsung bangkit berdiri dan segera membawa Davina ke kamar yang di tunjukkan oleh Amelia. Perlahan ia meletakkan tubuh mungil Davina ke dalam crib nya. Setelah puas memandangi bocah cantik itu, barulah ia keluar dari kamar dan mereka bertiga kembali bercerita. Sementara itu, David yang sedang berada di studio rekaman tampak kesal kepada Gwen yang berkali- kali menyanyi dengan suara yang fals. Hingga akhirnya ia pun langsung menghampiri Gwen dengan geram. "Ini jam berapa?!" hardik David. Gwen menundukkan kepalanya, "Ini sudah malam, Gwen! Padahal kita sudah ada di studio ini sejak siang. Lagu ini bukan lagu yang susah! Tapi, sejak siang tadi selalu saja salah. Kau bisa menyanyi tidak?!" "Maaf, mungkin aku sedang tidak fokus," jawab Gwen takut- takut. "Masalah pribadi jangan kau bawa ke sini. Di sini kau bekerja, aku tidak memberimu royalti dari masalahmu. Tapi, dari penjualan singelmu! Jika kau seperti ini terus , bagaimana kau bisa menjadi seorang bintang yang bisa mengalahkan Karla?!" Gwen hanya diam menunduk tak berani menjawab. David memang menyeramkan saat dia marah. "Tidak akan ada hasilnya! Semuanya pulang saja! Kepalaku sakit!"maki David sambil berlalu dan melangkah keluar studio. Dia tidak peduli melihat anak buahnya kebingungan. Sementara Gwen yang merasa bersalah, hanya diam lalu membereskan barang-barang miliknya kemudian ia pun keluar dari studio. "Sabar, David memang seperti itu," ujar salah seorang operator studio sambil meneguk minuman dingin. "Dia selalu tidak puas dengan apa yang aku lakukan. Padahal aku sudah berusaha bernyanyi dengan baik. Aku pernah mendengar Mbak Karla bernyanyi, suaranya yang sekarang tidak sebagus dulu juga." "Sttt ... Jangan bahas masalah Karla kalau kau tidak mau mendapatkan masalah dengan Bos David." "Memang kenapa? Mereka kan tidak menikah juga." "Sudah, tidak usah bergosip, kita pulang saja, jangan sampai Bos kembali masuk dan memergoki kita sedang bergosip.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD