Desti menunduk takut sambil memainkan ujung bajunya. Dia sangat gugup. Wanita itu bersama Bisma tengah berada di halaman rumah milik orang tuanya. Untuk kebaikan bersama, Bisma meminta pada Desti untuk segera memberitahukan kepada kedua orang tuanya perihal kehamilan yang tengah dia alami. Tentu saja Bisma yang memasang badan untuk menjadi tameng bagi sahabatnya itu.
Bisma segera memegang salah satu tangan Desti dan menggenggam jemari wanita itu erat. Dari sorot mata dan anggukan samar, dia meyakinkan Destina kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Aku takut, Bisma." Desti merengek. Dia yakin, orang tuanya terutama sang ayah pasti akan marah besar saat mengetahui kehamilannya yang di luar nikah.
"Ada aku, Des. Aku akan selalu ada di sisi kamu. Apapun yang terjadi, kita tanggung semuanya sama-sama. Oke?" Bisma mengatakan kalimat itu dengan lembut. Dia ingin menyatukan kepingan keberanian Desti dalam satu untaian. Lelaki itu tidak sedang bicara omong kosong. Dia memang sudah siap untuk bertanggung jawab atas Desti.
"Gimana kalau ayah pukul kamu? Aku tidak tega melihat kamu menanggung apa yang seharusnya tidak kamu tanggung, Bisma." Sorot mata penuh kekhawatiran terpancar dari mata Desti.
Bisma tersenyum. Dia mengelus puncak kepala Desti lembut.
"Cuma dipukul, kan? Aku yakin ayahmu tidak mungkin akan membunuhku, Des. Aku sudah lama bersahabat dengan kamu dan aku kenal bagaimana ayah kamu. Percaya sama aku." Lagi-lagi Bisma berusaha menyatukan keyakinan Desti yang sudah tercerai-berai entah kemana.
"Sebelumnya maaf," ucap wanita itu seraya menunduk.
"Tidak perlu minta maaf. Ayo, sekarang kita masuk dan temui ayah ibu kamu."
Desti mengangguk pelan. Dengan langkah pelan penuh keraguan dia mengekori Bisma. Lelaki itu berjalan di depan dengan jarak tidak jauh darinya.
Bisma mengucap salam beberapa kali. Tidak berapa lama orang tua Desti keluar dari arah dalam. Mereka berdua langsung tersenyum ramah saat melihat Bisma dan Desti ada di depan pintu.
"Kalian ... sini masuk. Desti kenapa tidak langsung mengajak Bisma masuk, Nak? Kamu seperti sedang bertamu ke rumah orang lain saja," ucap Bu Retno sambil tertawa kecil.
Desti menggaruk tengkuknya.
"Sebenarnya tadi aku juga sudah ajak dia masuk Yah, Bu. Iya, kan, Bisma?" Desti menyenggol lengan Bisma sebagai kode.
"Ahaha, iya. Tadi sudah diajak masuk sama Desti. Kita sengaja saja tadi manggil Om dan Tante."
Desti segera menyeret Bisma dan mengajak pemuda itu untuk duduk di sofa. Disusul oleh kedua orang tua Desti.
"Nah, begini kan enak. Kamu kalau pulang dari kosan terlalu lama jaraknya. Kadang ayah sama ibumu ini sampai kangen." Pak Dirga membuka suara sambil menatap kedua anak muda di hadapannya dengan tatapan teduh.
"Maaf, Om. Bisma akhir-akhir ini sedang sibuk nyusun skripsi. Jadi tidak bisa sering-sering mengantarkan Destina pulang. Sebenarnya bisa naik angkutan, tapi rasanya tidak tega membiarkan gadis secantik dia pulang sendirian. Apalagi jarak rumah Om dengan kosan dia tidak bisa dibilang dekat."
Itu sikap Bisma yang disukai oleh orang tua Desti. Dia selalu siap siaga di samping anak mereka. Persahabatan antara Desti dan Bisma yang sudah terjalin sejak mereka masih berumur enam tahun membuat Bu Retno dan Pak Dirga sudah sangat mengenal kepribadian pemuda itu.
"Benar kata kamu, Bisma. Saya juga sangat khawatir kalau sampai terjadi apa-apa pada Desti di jalan kalau bukan sama kamu. Dia itu mudah sekali tertidur, bagaimana kalau dia dibawa sama orang asing? Itulah kenapa saya lebih percaya kalau dia pulang sama kamu. Bisma tidak mungkin berani ngapa-ngapain anak saya. Bukan begitu, Bisma?"
Bisma menelan ludahnya sendiri. Dia memang tidak pernah 'menyentuh' Destina. Tapi dia sekarang ada di sana untuk mengaku sebagai ayah dari bayi dalam kandungan gadis. Bisma sudah mengumpulkan segenap keberanian yang dia punya.
"Sebelumnya Bisma minta maaf, Om." Bisma mengawali pengakuan palsunya. Desti terlihat ikut gelisah. Dia takut sahabatnya itu akan dihajar oleh sang ayah.
"Minta maaf? Minta maaf untuk apa, Bisma?"
"Iya, selama ini Bisma selalu baik sama Desti. Tidak perlu minta maaf," ucap Bu Retno menimpali.
Percaya atau tidak, sekarang jantung Bisma terasa mau loncat dari tempatnya berada. Pemuda itu menggenggam kedua tangannya erat sebelum membuka pembicaraan kembali.
"Sebenarnya ... Sebenarnya Bisma sudah menghamili Destina, Om, Tante. Sekarang dia mengandung anak Bisma." Seketika kerongkongan Bisma terasa kering. Seakan dia tidak minum selama berhari-hari.
"Apa?" Bu Retno dan Pak Dirga berucap bersamaan dan spontan berdiri.
Seketika wajah Pak Dirga memerah. Dengan langkah tergesa dia menghampiri Bisma dan langsung menarik kerah baju pemuda itu. Dia dipaksa berdiri. Tidak ada lagi wajah ramah dari Pak Dirga. Lelaki itu tampak begitu marah mendengar pengakuan dari sahabat anaknya.
Bugh!
Sebuah pukulan mendarat di pipi kiri Bisma, membuat pemuda itu hampir saja tersungkur. Bu Retno dan Destina berteriak histeris.
"Saya percaya sepenuhnya sama kamu, Bisma! Bisa-bisanya kamu memanfaatkan kepercayaan saya untuk merusak Destina! Kamu ternyata sama saja dengan lelaki di luar sana. Saya kecewa sama kamu!" Pak Dirga meluapkan kemarahannya. Dia berkata seperti itu sambil menunjuk wajah Bisma dengan tatapan setajam Elang.
Bisma sendiri merasa kesakitan. Pemuda itu memegangi sudut bibirnya yang terasa perih. Tentu saja sakit, bagian itu terluka akibat pukulan Pak Dirga yang sekuat tenaga.
"Saya minta maaf, Om. Saya khilaf. Secepatnya saya akan menikahi Destina. Beri saya waktu untuk bicarakan hal ini dengan orang tua saya," ucap Bisma takut-takut. Dia sebenarnya tidak masalah kalau harus dimarahi oleh Pak Dirga, tetapi dia merasa ngeri kalau sampai satu bogeman lagi mendarat di pipinya.
"Kamu tahu, tanggung jawab seorang lelaki itu tidak cukup hanya dengan menikahinya saja. Saya membesarkan Destina dengan segenap cinta dan harta saya. Semua kebutuhan dia saya penuhi tanpa kurang apapun. Jadi kamu juga harus bisa menggantikan posisi saya. Kamu harus bisa memenuhi semua kebutuhan dia. Jangan mengandalkan harta orang tua kamu. Cepat cari kerja." Kalimat panjang itu Pak Dirga ucapkan dengan nada dingin. Dia duduk kembali dengan emosi yang masih bergejolak di dadanya.
"Tentu, Om. Saya akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan Desti dan anak kami. Nyali saya tidak cukup untuk merusak kepercayaan Om untuk kedua kali. Sekali lagi saya minta maaf kalau kejadian ini sangat membuat Om dan Tante kecewa." Bisma terlihat sangat serius dengan ucapannya. Destina merasa terharu.
Seharusnya yang menghadap orang tuanya bukan Bisma, tetapi Ivan. Tapi jangankan sampai menemui orang tuanya, Ivan bahkan tidak mau menerima kehamilan Desti. Lelaki itu bukan hanya menikah bayi yang dia kandung, tetapi juga hubungan mereka.
"Ayah, Ibu, Destina minta maaf. Aku gagal menjadi anak yang baik." Destina menunduk dengan air mata yang berjatuhan.
Bisma sigap. Dia segera merangkul dan menenangkan gadis itu. Dia sedikit pun tidak keberatan sudah menjadi tameng untuk sahabatnya itu. Selama bertahun-tahun, dia sudah menganggap Destina seperti adiknya sendiri. Dia tidak bisa membiarkan gadis itu berada dalam kesulitan.
"Jujur ibu sangat kecewa sama kamu, Nak. Tapi bagaimana pun kamu tetap anak ibu dan ayah. Semua sudah terjadi, kami tidak bisa apa-apa selain memberi kalian restu untuk menikah." Bu Retno tampak menyeka air matanya. Dia sangat marah, sampai tidak bisa menatap putri kesayangannya itu.
"Sekarang sebaiknya kalian cepat pergi dari sini. Kabari segera kapan kalian akan menikah."
"Ayah, jangan diusir. Biarkan Desti tinggal di sini sementara. Kasian dia. Dia lagi hamil." Bu Retno berusaha meredam emosi suaminya.
"Tidak. Lebih baik dia tidak ada di rumah ini, Bu. Daripada emosiku semakin memuncak. Dia pasti bisa sendirian. Bukannya selama ini dia memang tinggal sendiri di tempat kosnya?" Pak Dirga terlihat sekali masih emosi.
"Om, Tante, memang sebaiknya kami segera pergi. Tenang saja, saya pasti akan menjaga Desti dengan baik. Kalau begitu kami berdua permisi. Saya akan segera membawa orang tua saya untuk bertemu dengan Om dan Tante. Permisi."
Bisma langsung menggandeng Destina dan membawa gadis itu keluar dari rumah orang tuanya. Sebelum sampai ke pintu keluar, Desti melihat ke arah kedua orang tuanya, berharap mereka menoleh dan menahan dia pergi, tetapi tidak. Mereka mematung, seakan tidak peduli. Air mata gadis itu berjatuhan begitu saja. Dia kembali di tolak.
"Orang tuaku sekarang benci sama aku, Bisma. Mereka malu punya anak seperti aku, hiks. Maaf, karena kesalahan yang aku buat kamu jadi dibenci juga sama mereka. Seharusnya Ivan yang mereka benci, bukan kamu, hiks." Destina terisak. Mereka sekarang sudah berada di dalam mobil.
"Ssst, sudah. Jangan bahas itu lagi, Des. Semua itu tidak penting. Aku tidak peduli dibenci oleh orang tua kamu. Tidak masalah. Bayi ini yang paling penting. Dia butuh orang tua yang lengkap. Kamu juga butuh sosok suami. Hamil itu tidak mudah, Destina. Walau aku belum pernah punya istri, tetapi aku tahu banyak soal kehamilan." Bisma mengusap puncak kepala Desti untuk menenangkan.
Tentu saja dia banyak tahu tentang kehamilan. Mamanya seorang dokter spesialis kandungan. Saat santai, Bisma seringkali membaca buku-buku milik sang mama. Dia juga tidak tahu, mengapa dia sangat tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehamilan.
"Aku terus merepotkan kamu, Bisma. Dari dulu kamu yang selalu berusaha melindungi aku. Kapan aku bisa membalas semua kebaikan kamu? Aku bahkan sudah membuat kamu terpaksa menjadi ayah dari bayi yang jelas-jelas bukan hasil perbuatan kamu," ucap Destina dengan air mata menggantung. Gadis itu tengah menatap sang sahabat dengan tatapan bersalah.
"Aku tidak pernah menginginkan balasan dari setiap kebaikan yang aku berikan, Des. Bukan cuma ke kamu, tapi ke semua orang. Mama selalu mengajarkan padaku untuk berbuat baik tanpa pamrih. Sekarang mungkin aku terpaksa, tetapi seiring waktu aku akan benar-benar menjadi suami kamu. Aku akan belajar mencintai kamu seperti pasangan pada umumnya." Bisma meyakinkan.
"Tapi aku ..."
"Aku tahu. Kamu pasti masih sangat mencintai Ivan, kan? Jangan paksa diri kamu buat lupa sama dia, Des. Aku belajar mencintai kamu bukan untuk memaksa kamu melakukan hal yang sama. Senyaman kamu aja, Cantik." Bisma tersenyum. Kalimat itu begitu menyentuh sanubari Desti.
Seandainya itu Ivan.