"Ivan, aku hamil."
Tiga kata yang terangkai dalam kalimat yang diucapkan oleh Desti membuat detak jantung Ivan nyaris berhenti.
Hamil?
Menjadi seorang ayah seringkali menjadi impian seorang pria setelah dia merasa matang. Bukan hanya secara usia, tetapi juga materi. Sementara Ivan, dia masih begitu muda untuk menjadi seorang ayah. Jangankan penghasilan, dia kuliah saja masih dibiayai oleh orang tua.
Kesalahan malam itu, saat mereka berdua melakukan hubungan terlarang dalam pengaruh alkohol ternyata membuahkan janin di rahim Desti. Mereka memang pacaran, tetapi ...
"Apa? Hamil? Gugurkan dia! Aku belum siap menikah. Sekarang aku baru dua puluh tiga tahun, dan hubungan kita tidak seserius itu untuk dilanjutkan ke jenjang pernikahan, Des." Kalimat yang baru saja lolos dari mulut Ivan membuat Desti menatap kekasihnya dengan tatapan penuh tanya.
Desti tidak menyangka kalau Ivan akan langsung meminta dia untuk menggugurkan janin yang sekarang sedang berkembang di dalam rahimnya. Setelah mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu kekasihnya tentang ini dia justru harus mendengarkan kalimat yang begitu menyakitkan.
"Gugurin? Tidak akan, Ivan! Apa yang kita lakukan sudah salah, aku tidak ingin melakukan kesalahan kedua kalinya dengan membunuh bayi ini! Lagi pula, apa maksud kamu sampai bilang kalau hubungan kita tidak seserius itu? Kita memang pacaran, kan?" Desti mengguncang tubuh Ivan. Dia butuh penjelasan.
Penjelasan yang mungkin akan membuat perasaannya jauh lebih lega. Dia tidak ingin bertanya-tanya sendirian. Menambah rasa penuh di memori kepalanya.
"Terus kamu mau apa? Mau besarin bayi itu sendirian? Jangan bodoh, Des! Kamu masih kuliah, apa kata orang kalau mereka tahu kamu hamil di luar nikah? Soal hubungan kita, kita memang pacaran, tapi aku tidak pernah cinta sama kamu. Aku pacaran sama kamu cuma karena taruhan. Jadi jangan harap aku mau tanggung jawab dengan apa yang terjadi. Toh kita mau sama mau malam itu," ucap Ivan enteng.
Plak!
Desti menampar pipi Ivan dengan sekuat tenaga. Dia tidak peduli dengan rasa nyeri yang sekarang dia rasakan. Dengan air mata yang terus membanjiri wajahnya, gadis itu menatap Ivan dengan penuh kebencian.
Mereka jelas bukan mau sama mau. Hubungan itu terjadi karena mereka tidak sadar. Lagipula, kalau bukan karena benih Ivan, dia tidak akan mungkin mengandung sekarang. Lalu bagaimana bisa dengan entengnya pria itu bicara kalau mereka mau sama mau dan tidak ada niat untuk bertanggung jawab.
"Oke, aku tahu sekarang. Kamu tidak pernah mencintai aku, kamu juga tidak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu berbuat. Baik. Aku akan pergi bawa dia. Bayi ini akan terus hidup bersamaku. Nanti, kalau kamu sudah menyesal, dan hatimu terketuk, kamu boleh cari kami berdua." Desti berbalik dan melangkah pergi.
"Dalam mimpi pun, aku tidak akan pernah peduli pada kalian. Tidak akan pernah." Ivan tampaknya sengaja mengucapkan tiga kata akhir kalimatnya dengan penuh penekanan. Hal itu berhasil membuat d**a Desti semakin sesak.
Dia berhenti sejenak, sebelum akhirnya meneruskan langkahnya tanpa pernah menoleh ke arah Ivan. Semua berakhir. Desti mencoba berdamai dengan keadaan. Paling tidak dia jadi tahu lebih cepat kalau Ivan tidak pernah mencintainya. Tanpa Ivan, dia akan baik-baik saja.
"Loh, Desti mana, Van? Aku tinggal beli minum sebentar, kok dia udah pergi aja? Biasanya dia selalu bareng kita sampai sore, kan?" Gilang langsung menanyakan keberadaan Desti. Dia tidak sendiri, ada Abel, kekasihnya.
"Jangan bahas Desti lagi. Kami sudah putus," sahut Ivan dingin. Dia tampak tidak sedikitpun peduli pada sang mantan.
"Putus? Kan belum lima bulan pacarannya. Jadi rela, nih? Motor kamu diambil sama Jack?" Sekarang Abel yang buka suara.
"Terserah. Ambil saja. Aku masih punya banyak motor. Bisa beli juga nanti yang keluaran terbaru." Ivan sedikit menyombongkan diri.
"Kenapa tiba-tiba, sih? Padahal aku berharap kamu serius sama Desti. Dia baik, perhatian sama kamu, dia juga kelihatannya tulus. Sampai kapan kamu gagal move on dari Luna?"
"Bisa kamu jangan bawa-bawa Luna? Dia tidak ada hubungannya dengan taruhan kita. Gara-gara kalian aku sama Desti jadi terjebak dalam situasi seperti ini. Dia pergi bawa bayi." Ivan tampak ragu saat mengucapkan kalimatnya yang terakhir.
"Hah? Maksud kamu apa, Van? Desti hamil? Anak kamu?" Abel langsung menghujani Ivan dengan banyak pertanyaan.
Ivan cuma mengangguk.
"Kamu putusin dia dalam keadaan dia hamil anak kamu, Van? Kalau cuma memutuskan saja, aku bisa mengerti, Van. Masalahnya dia hamil anak kamu. b******k sih kalau begini," ucap Gilang kesal.
"Mau gimana lagi, aku belum siap nikah. Dia aku minta menggugurkan saja janinnya, tetapi menolak mentah-mentah. Jadi semua bukan salah aku, dong!" tukas Ivan seolah tak merasa bersalah.
Tiba-tiba saja Gilang mencengkeram kerah baju Ivan.
"Itu di perut Desti ada anak kamu, Bego! Kamu enteng sekali meminta dia buat menggugurkan kandungan. Kemarin waktu berbuat, kamu menikmatinya, kan? Jadi cowok jangan banci! Belajar tanggung jawab, bukan cuma mau enaknya saja!"
Ivan balas mendorong Gilang hingga pemuda itu hampir tersungkur.
"Ini semua salah kalian! Kalau bukan karena taruhan kalian, semua ini tidak akan pernah terjadi! Tidak ada Desti yang menangis, tidak ada bayi yang harus hadir di antara kami. Semua salah kalian!" Ivan berteriak. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia juga kecewa pada dirinya sendiri. Tapi harus apa? Dia tidak punya keberanian untuk menatap masa depan bersama Desti.
"Kamu tidak bisa menyalahkan kami begitu saja, Van! Kami memang menyuruh kamu pacaran sama Desti, tapi kami tidak menyuruh kamu buat tidur sama dia. Ini jelas salah kamu, tapi kamu masih saja denial! Kejar dia sebelum kamu benar-benar kehilangan." Abel mencoba untuk mengingatkan.
"Aku tidak pernah jatuh cinta pada Desti. Semua yang terjadi hanya kecelakaan. Penyesalan itu tidak akan pernah ada. Kalau kamu mau kejar dia, kejar saja. Aku mau pulang!" Ivan mengenakan jaketnya dan segera melangkah pergi dari tempat itu.
"Van! Woy! Parah kamu, Van!" teriak Gilang, tetapi tidak digubris oleh Ivan.
"Sudah, biarkan Ivan tenang dulu, Sayang. Mungkin nanti dia bakalan berubah pikiran." Abel berusaha menenangkan Gilang yang masih tersulut emosi.
"Ini juga salah kita! Seharusnya kita jangan minta Ivan pacaran sama Desti. Dia memang sudah mati rasa gara-gara Luna sialan itu!" Gilang masih saja mengumpat.
"Tujuan kita memang baik, tapi kamu bisa lihat, bukan? Hasilnya tidak baik. Perasaan memang tidak bisa dipaksakan. Kita juga salah di sini, Gilang. Sekarang kita harus minta maaf sama Desti. Dia pasti hancur." Abel menyarankan. Dia memang merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Desti. Sebagai sesama wanita, Abel membayangkan kalau dia yang berada di posisi Desti sekarang.
"Oke, nanti sore kita ke rumah Desti. Dia cuma tinggal sendirian. Kalau sampai terjadi sesuatu, siapa yang tahu?" Gilang mengacak rambutnya. Lelaki itu tidak kalah panik. Dia membayangkan kalau Desti sampai nekat mengakhiri hidupnya seperti para gadis malang yang sering diberitakan di media massa.
"Aku jadi kepikiran, Sayang." Mata Abel berkaca-kaca.
Sementara itu ...
Desti turun dari taksi, dia sudah disambut oleh Bisma. Lelaki itu duduk di atas kap mobilnya. Seketika dia turun saat menyadari mata sahabatnya merah, tidak hanya mata, tetapi juga hidung. Dia sangat yakin Desti baru saja menangis.
"Des, kamu kenapa? Kamu habis menangis? Hey," ucap Bisma sambil merangkul sahabatnya seperti biasa.
Desti menggeleng.
"Siapa yang menangis? Tadi di jalan ada serangga yang masuk ke dalam mataku." Desti beralasan, tetapi itu justru memancing gelak tawa Bisma.
"Kalau mau berbohong yang pintar sedikit, dong. Kamu naik taksi, bukan naik sepeda ontel. Mana mungkin ada serangga yang masuk ke dalam mata kamu. Ayo cerita, kamu kenapa? Ivan yang buat kamu begini?"
Mendengar nama Ivan, mata Desti langsung berair. Sekarang bahkan air mata gadis itu sudah turun membasahi pipi. Bisma yang menyadari itu segera membawa Desti ke dalam dekapannya.
"Terus keluarkan air mata kamu, Des. Keluarkan sampai rasa sakit di dalam d**a kamu berkurang. Setelah itu kamu baru cerita, ada apa antara kamu dan Ivan. Itu juga kalau kamu bersedia, kalau tidak ... aku juga tidak memaksa."
Bisma membiarkan Desti menumpahkan seluruh air matanya. Dia menunggu sampai gadis itu lebih tenang. Sesekali Bisma mengusap punggung Desti sebagai bentuk dukungan.
"Aku bodoh, Bisma. Aku bodoh!" Itu kalimat yang Bisma dengar pertama kali setelah tangis Desti mereda.
"Hey, nggak boleh ngomong begitu, Desti. Kamu tidak bodoh. Kamu pintar. Buktinya selama ini kamu selalu dapat nilai bagus." Bisma mencoba untuk menghibur. Walau dia tahu, tujuan kata-kata Desti bukan ke sana.
"Seharusnya aku mendengarkan kamu. Seharusnya aku tidak egois."
Desti tidak mempedulikan kalimat penghiburan yang diberikan oleh Bisma. Hatinya terlalu remuk untuk sekedar mengulas sebuah senyum tipis.
"Kamu sebenarnya kenapa, Des? Kamu kenapa? Tolong beritahu aku apa yang terjadi. Kamu punya aku. Aku akan mendengarkan semua keluh kesah kamu." Bisma membuat jarak di antara mereka supaya dia bisa melihat wajah Desti.
"Aku putus sama Ivan. Dia selama ini pacaran sama aku cuma karena taruhan, Bim." Desti kembali terisak.
"Sudah kuduga. Dia memang kelihatan cuma pura-pura suka sama kamu, Des. Lupakan dia, kamu pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia. Percaya sama aku." Bisma mencoba menenangkan Desti.
Gadis itu menggeleng. Melupakan itu terdengar mudah, tetapi bagaimana bisa Desti melupakan begitu saja sosok ayah dari bayi yang ada di dalam kandungannya?
"Aku tidak bisa melupakan Ivan begitu saja, Bisma." Tangis gadis itu semakin menjadi-jadi.
"Kenapa? Di dunia ini masih banyak lelaki yang lebih baik dari Ivan. Kamu hanya perlu waktu, Desti."
Desti tetap menggeleng. Kali ini lebih kuat, dengan air mata yang berderaian. Ada rasa sakit yang begitu besar saat mengingat kalimat yang diucapkan Ivan beberapa saat yang lalu.
"Aku hamil. Ada anak Ivan di dalam rahimku. Bagaimana aku bisa melupakan dia begitu saja? Dia bisa pergi dan menghilang, tetapi tidak dengan anak ini, Bisma." Desti tanpa sadar mengelus perutnya sendiri.
"Aku tidak salah dengar, kan? Kamu jangan bercanda Destina." Bisma menatap kedua manik mata sahabatnya dalam-dalam.
Dia tidak benar-benar percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Sementara dia sangat mengenal seperti apa Desti. Dia bukan tipe wanita yang mudah jatuh dalam bujuk rayu laki-laki.
"Aku serius, Bisma. Dia tidak mau menerima anak ini. Ivan memintaku untuk menggugurkan dia. Aku tidak mau, aku mau mempertahankan dia, tetapi aku bingung. Bagaimana aku bisa menjawab nanti saat orang tuaku bertanya? Apa yang aku bisa katakan pada mereka, Bim? Terutama tentang ... siapa ayah dari bayi ini." Desti menunduk, memandangi perutnya yang masih rata dengan air mata yang berjatuhan ke tanah.
"Bilang itu anakku, Desti. Aku siap bertanggung jawab." Setelah mengatakan itu, Bisma langsung menarik Desti ke dalam pelukannya.
"Tapi dia bukan anak kamu, Bisma."
"Aku tidak peduli dia anak siapa. Kalau kamu mau bersamaku, dia anakku. Sudah, jangan menangis lagi, oke?"
"Maafkan aku, Bisma. Dari kecil aku selalu merepotkan kamu."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Sekarang ayo masuk, aku sudah membelikan kamu ayam goreng yang kamu mau. Sebentar, aku ambil dulu di mobil." Bisma mengusap puncak kepala Desti dan berjalan ke arah mobil untuk mengambil makanan yang dia bawa. Sementara Desti, gadis itu segera membuka pintu rumahnya.