Model Katalog

1518 Words
“Kita mau kemana, Pak?” “Nanti saya jelaskan tapi tidak sekarang.” “Duh, bawa mobilnya jangan ngebut gini dong, Pak. Saya takut ...” “Sudah pakai seat belt dan pegangan sekuat itu masih takut?!” “Pak Ayang kayak lagi dikejar sama hansip deh! Duh ... mau ngapain sih pakai acara kebut-kebutan? Mana aku masih muda lagi. Masak harus meninggalkan dunia ini tanpa persiapan yang matang.” “Diam, Cintami!” Duggggg!! Kepala terbentur kaca saat Pak Ayang belok dengan tidak santai. “Awwww! Kepalaku ...” “Kamu tidak apa-apa ‘kan?” tanya Pak Ayang. Dia melihatku lewat kaca spion dalam. “Kayaknya aku gegar otak, Sayang.” “Cintami!” “Eh, salah. Maksudku Pak Ayang.” Buru-buru aku mengulang kata saat Pak Ayang melotot galak ke arahku Aku tak bersuara lagi karena kecepatan mobil Pak Arayan semakin bertambah. Entah mau dibawa kemana aku ini? Semoga saja diajak kawin lari, wkwk. Ponselku berdering beberapa kali namun aku tak berniat menjawab. Sejak tadi, kedua mahasiswi yang membuatku viral terus saja menelpon dan mengirim puluhan pesan. Mereka mengatakan ingin bertemu dengan ku karena mau meminta maaf. Jelas saja aku tidak akan mau. Buat apa aku membuang-buang waktu untuk bertemu dengan para gadis-gadis itu. Eitssss, mereka bukan gadis! Lebih tepatnya, gadis rasa janda. “Ayo, turun.” Pak Arayan membukakan pintu untukku. Hmmm, like a princess Arayan Miza Abdila. “Ngapain ke toko busana muslim, Pak?” “Sudah, ayo buruan masuk.” Aku sedikit berlari saat Pak Arayan meninggalkanku. Kakinya panjang dan langkahnya lebar jelas saja aku tertinggal jauh. Apalagi, toko busana muslim ternama di Jogja memiliki halaman luas. Kedua kaki pendekku sampai terseok-seok mengejar Pak Ayang. “Assalamualaikum, Umi.” “Waalaikumsalam, Sayang. Alhamdulillah kamu datang tepat waktu.” Pak Arayan mencium tangan lalu memeluk wanita paruh baya berwajah cantik saat aku baru masuk kedalam butik. Mendadak aku seperti manusia aneh ketika semua orang melihatku. Bagaimana tidak? Aku memakai celana kulot dan kaos gombrong gambar mickey mouse. Sementara orang-orang di butik memakai gamis semua. Jelas saja aku terlihat seperti makhluk asing. “Cintami,” panggil Pak Ayang. Dengan langkah pelan aku menghampirinya. Tersenyum malu-malu saat membalas senyuman wanita cantik yang dipanggilnya Umi. Aku yakin jika wanita itu bukan Ibu kandungnya. Karena aku mengenal semua anggota keluarga Pak Ayang. “Cantik sekali kamu, Nak. Siapa namanya?” “Terima kasih, Tante. Nama saya Cintami. Biasa dipanggil Mimi.” “Pipinya merah banget kayak tomat.” Aku kaget saat wanita cantik di depanku mencium kedua pipiku tanpa permisi lebih dulu. “Panggilnya jangan Tante tapi Umi ya,” ucapnya. Aku mengangguk, lalu memberikan senyuman manis. Beliau ini sangat ramah dan lembut. Jadi, rasa takut dan sungkan ku seketika menghilang. “Iya, Umi.” “Nama Umi, Fatima.” “Salam kenal Umi Fatim cantik,” sapaku dengan terkekeh pelan. “Memang benar yang dikatakan Rayan. Kalau ...” “Umi.” Aku melihat ke arah Pak Arayan yang menegur Umi Fatim. Tak biasanya dia menyela pembicaraan orang yang lebih tua. Terus, Umi Fatim juga tidak tersinggung malah tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya pada Pak Arayan. “Saya tinggal sebentar. Umi mau minta tolong sama kamu,” ucap Pak Ayang sebelum meninggalkan aku sendirian di butik. “Bapak ...” “Ikut umi yuk,” ajak Umi Fatim saat aku ingin ikut Pak Ayang pergi. Aku benar-benar tak tahu untuk apa aku diajak ke butik. Bukannya di jelasin Pak Ayang malah meninggalkanku sendirian. Dasar calon imamku! Umi Fatima mengajakku masuk ke dalam ruangan cukup besar. Di dalamnya ada beberapa wanita-wanita tinggi, putih dan pastinya cantik. Mereka sedang di makeup oleh MUA. Sepertinya, para model busana muslim rancangan Umi Fatim. “Mimi mau ‘kan bantuin Umi?” “Bantu apa, Umi?” “Memangnya Rayan belum menjelaskan?” “Pak Arayan mana mau jelasin Umi. Yang ada melotot galak kalau Mimi banyak bertanya.” Umi Fatim tersenyum lalu membelai lembut kepalaku. Rasanya seperti aku sudah mengenal lama dengan beliau saking lembut sikapnya. “Hari ini ada satu model Umi ijin sakit mendadak. Pemotretan akan dimulai setengah jam lagi. Apa Mimi mau membantu Umi menggantikan model yang tengah sakit?” Hah? Seorang cintami yang tidak ada anggun-anggunnya sama sekali menjadi model? Wihhhh, luar biasa sekali. Apalagi, model busana muslim. “Mimi pendek Umi. Mana pantas jadi model?” “Kata siapa pendek? Enggak kok.” “Hanya Umi fatim yang berkata Mimi tidak pendek.” Aku mengerucutkan bibirku saat beliau tersenyum. Pasti, dalam hatinya mengiyakan jika aku ini pendek. “Tetap cantik ...” Akhirnya, aku menjadi model dadakan Umi Fatim. Pemotretan kali ini akan dijadikan katalog busana muslim edisi hari raya idul fitri. Aku meminta makeup natural pada MUA. Kulitku sangat sensitif jika memakai makeup tebal dalam waktu berjam-jam. Jadi, aku tidak mau pasukan jerawat cinta muncul di kulit wajahku. “Mimi senyum ...” Aku tersenyum melihat ke arah kamera saat Bunda Fatim memberikan perintah. Giliranku melakukan sesi foto paling akhir mendekati adzan magrib. Padahal aku sudah merengek minta urutan awal agar bisa pulang cepat. “Oke, bagus Mimi. God job!” seru fotografer bernama Mbak Layla. “Ah, akhirnya ...” desahku pelan. Aku menghampiri Umi Fatim dan Mbak Layla untuk melihat hasil foto model ala-ala. “Capek, Nak?” “Enggak capek tapi deg-degan, Umi.” “Tangannya sampai dingin begini,” ucap Umi Fatim. Beliau menggenggam erat kedua tangannya. “Takut hasilnya jelek.” “Kata siapa jelek?” tanya Mbak Layla. “Aku tuh jarang foto, Mbak. Tadi, aja kaku banget pas di suruh pose.” “Lihat ini ...” tunjuk Mbak Layla pada layar kameranya. Aku agak kaget dengan hasil fotonya. Tidak ada yang jelek, semuanya bagus. Aku terlihat cantik sekali seperti yang dikatakan Umi dan teman-teman para model tadi. Eh, bolehkan aku mengatakan begitu? Busana muslim yang aku pakai khusus remaja SMP-SMA sesuai dengan postur tubuhku yang minimalis. Tapi tidak dengan umurku yang sudah 22 tahun. Setelah puas melihat hasil foto, Umi Fatim memintaku berganti pakaian. Beliau mengatakan jika akan mentraktirku makan malam sebagai bayaran. Tentu saja aku tidak akan menolak makanan gratis. “Kamu enggak sholat dulu?” “Aduh!” seruku saat tak sengaja tertusuk peniti hijab. “Pak Arayan suka ngagetin ih.” “Kamu yang suka ngelamun.” Selalu saja begitu, Bapak Arayan tidak pernah salah. Selalu saja aku, aku, aku yang salah. “Saya lagi enggak sholat, Pak.” “Mau kemana?” “Ya, pulang, Pak. Umi Fatim tadi mau anterin saya pulang sekalian traktir makan malam.” “Hapus dulu makeup nya!” “Nanti aja deh, Pak. Kalau sampai rumah baru saya hapus.” “Sekarang, Cintami!” Aku kembali duduk di depan meja rias. Mengambil kapas lalu menuangkan makeup remover cukup banyak. Kedua mata Pak Arayan terus menatapku tanpa berkedip. Kali ini aku tak bisa membalas tatapannya karena sibuk membersihkan makeup yang membuatku terlihat semakin cantik. “Sudah, Pak.” “Hmmm.” Langsung pergi tanpa menunggu calon istrinya. Kebiasaan Pak Arayan yang sulit diubah. Kini, aku sudah kembali mode Mimi dengan penampilan casual nan menawan. Rambut cepol ke atas dan wajah tanpa makeup bibir tanpa lip serum. “Rayan sudah buka puasa?” “Sudah umi.” “Hanya dengan satu biji kurma?” Pak Arayan mengangguk. Menyempatkan tersenyum dan menggenggam tangan Umi Fatimah. Sikapnya sangat hangat dan penuh kasih sayang. Beda sekali jika denganku, Pak Arayan bagaikan ustad yang ingin menumpas para makhluk ghaib. Bunda Fatimah mengajakku makan di restoran jepang. Saat mobil sudah parkir sempurna aku bergegas turun. Di otakku sudah bertuliskan menu-menu yang harus aku pesan. “Jangan pesan mie! Pesan nasi saja,” ucap Pak Ayang. “Enggak mau. Masak ke resto jepang pesannya nasi.” “Sejak siang kamu belum makan Cintami.” “Kenapa tidak makan siang?” Umi Fatim membelai lembut lenganku. “Perut Mimi agak sakit karena hari pertama kedatangan tamu, Umi. Tadi sempat makan kok tapi hanya sedikit.” Aku memasang wajah sedih agar diberi ijin memesan ramen yang menggoda selera. “Ya, sudah. Mimi boleh pesan ramen.” “Terima kasih, Umi cantik.” Setelah mendapatkan izin, aku langsung mengatakan pada waiters apa saja pesananku. Tak peduli dengan Pak Ayang yang masih menatapku dengan tajam. Dia itu rada aneh. Biasanya selalu menunduk jika aku menatapnya. Tapi, sejak tadi pagi suka melotot ke arahku. Rasanya pengen aku kecup itu mata indahnya. “Kamu yakin pesan segitu banyaknya?” “Iya, dong, Pak. Nanti kalau enggak habis bisa dibungkus kok.” “Belum dimakan sudah mau bungkus?” “Biasanya saya begitu kalau ke sini sama Amanda. Soalnya belinya harus sepaket baru dapat diskon. Mumpung banyak promo jangan sampai dilewatkan,” terang ku. “Lucu banget sih kamu, Nak. Umi jadi gemes pengen bawa pulang.” “Boleh kok Umi asal ijin sama Mama dan Papa dulu.” “Cintami!” Kenapa sih manusia satu itu tidak bisa sekali diajak bercanda. Lagian, aku tidak menggodanya didepan Uminya. “Pak Arayan kayaknya suka sama Mimi deh Umi. Dari tadi panggil-panggil terus.” “Oh, iya?” tanya Umi Fatim dengan mengulum senyum. “Iya, Umi. Mimi yakin seribu persen!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD