“Permisi…” seluruh atensi terarah pada pintu. Ibu yang mendengar suara laki-laki diluar sana langsung pasang badan. Aku melirik kearah ayah yang hanya menaikan bahunya. Pria itu memang paling tenang dirumah ini. Aku bersyukur bahwa aku yang mewarisi sifat beliau. Aku tidak akan tahu apa yang terjadi bila aku mewarisi sifat ibu.
“Ya…” sahut ibu sambil menepuk-nepuk bajunya yang kusut. Meskipun melakukan hal itu sebetulnya tidak membantu banyak kerena ya memang sudah kusut. Suasana hening diluar sana. Aku pikir mungkin ibu salah orang menganggap oranglain bertamu kerumah ini. Aku memutuskan untuk masuk kamar, sampai kemudian aku mendengar lengkingan suara Ibu yang histeris sambil memanggil namaku. Kontan aku dan ayah langsung bergegas menuju pintu rumah kami untuk mengetahui apa yang terjadi.
Kedua mataku melotot lantaran mendapati tamu kami.
Pria yang kupikir sudah enyah, pria yang kusuruh untuk melupakan segalanya justru berdiri dipintu depan rumah kami dengan membawa ransel dipunggungnya. Aku bisa merasakan hawa menusuk yang datang dari Ibu ketika dia melirik kearahku. Seolah meminta penjelasanku. Aku menghela napas sebelum memberikan keterangan yang ibu inginkan.
“Jadi apa yang sudah ibu dengar dari dia,”
“Dia bilang dia adalah menantuku…” kata Ibu dengan pandangan menerawang. Seperti langit dan bumi baru saja runtuh. Aku melirik kearah pria itu dan dia malah memasang senyum ramah yang mematikan. Setidaknya cukup untuk menghipnotis Ibu.
“Secara teknis benar, tapi aku tidak bisa mengiyakan,” ujarku tegas. Membuat raut kekecewaan nampak pada ekspresi wajah itu. Aku pikir ibu akan sepaham denganku lalu mengusir pria ini pergi dari rumah kami. Tapi perkiraanku salah. Dia justru tiba-tiba saja memukulku tanpa alasan. Membuatku ternganga dengan tindakan yang ibu buat secara spontan.
“Bu?”
“Kau bilang secara teknis benar. Tapi kenapa kau bilang tidak bisa mengiyakan?” pandangan ibu benar-benar seperti seorang pemangsa yang siap menerkamku. Kenapa dia marah padaku? Dimana-mana pihak perempuan biasanya akan menjadi korban. Tapi kenapa kini malah terbalik begini?
“Karena hal itu terjadi tanpa aku ketahui,”
“Alasan macam ap aitu? Hah? oh ya ampun kasih sekali pemuda tampan ini. Maafkan kelakuan putriku yang menelantarkanmu ya,”
“Ibuuuu… bisa bisanya dialognya terbalik begini,”
“Berisik! Kau,” ibu melirik kearah Dira yang masih anteng memamerkan senyumnya. “Kalau begitu mari masuk kedalam tampan,” ujar ibu mempersilahkan pria asing ini masuk rumah kami. Sementara aku ditinggalkan dalam posisi berdiri didepan pintu. Kejadian aneh apa ini? ayah tidak bereaksi apapun selain mengikuti mau ibu.
“Kenapa kau tidak masuk? Mau kuusir dari rumah ini?” ujar Ibu. Nada bicaranya benar-benar membuatku merasa bahwa aku orang asingnya sementara pemuda itu adalah anak kandung dirumah ini. Aku mendengus kesal, aku mencoba untuk tidak mendengar mau ibu kali ini.
“Ayah kenapa tidak mengatakan apapun?” keluhku pada ayah yang menoleh atas keluhanku. Pria dewasa itu hanya memberi tanda padaku dengan melirik kearah Ibu. Saat aku mengikuti lirikan ayah. Ibu didalam sana sudah bersiap seperti hendak mengacak-acak diriku. Aku menelan ludah.
“Cih..” dengusku.
Dira selaku tamu dirumah kami hanya bertindak layaknya orang normal yang menerima kehangatan keluargaku yang kurasa berada diatas ambang wajar untuk seorang tamu asing yang baru pertama kali menginjakan kaki kerumah kami.
Ketika aku memposisikan diriku duduk disamping Dira secara terpaksa, aku bisa melihat pandangan ibu yang seperti memindai Dira. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Aku salut pada Dira yang tidak menampakan sedikitpun rasa nervous. Lalu kemudian mata ibu menoleh padaku sebentar lalu beralih lagi pada Dira.
“Kuharap kau adalah pria bijaksana yang kaya raya. Yang bisa mengayomi putriku dengan harta,”
Hah?
Kali ini aku dibuat melongo oleh statement ibu yang rasanya terlalu frontal untuk diujarkan. Sambutan yang luar biasa. Kini aku memahami darimana keserakahanku dan kesukaanku pada uang berasal. Rupanya ibu menurunkan yang satu itu padaku. Sejurus kemudian ibu memberi Dira sebuah senyuman maut yang jarang sekali dia perlihatkan sambil menatap kearah pemuda itu lekat-lekat.
“Aku merasa kau memiliki kriteria itu karena itulah aku menyambutmu. Sebab putriku itu tidak akan mengalah dan cenderung dingin kalau kau tidak punya salah satu dari apa yang aku katakan padamu barusan,” ungkapnya pelan lalu sekali lagi tersenyum secerah matahari. “Selamat datang dikeluarga kami yang sederhana Tuan Dira,”
Ibu lalu melirik kearahku yang sejak tadi hanya duduk dan tidak ingin terlibat dalam obrolan apapun tentang dia. Tapi karena arah pandang ibu mengarah padaku mau tidak mau kurasa aku harus ikut berkomentar meskipun aku malas. “Hei Reca, sekarang kau berhutang cerita padaku,” panggil Ibu ketika aku berusaha untuk lari dari situasi ini.
“Menantuku sangat tampan. Siapa sangka putri buruk rupaku ini pintar juga menggaet suami dan memperbaiki keturunan kita,” ujar Ibu sambil kedua tangannya meraih pipiku dan mengunyel unyel semaunya. Aku melirik Dira yang seperti menikmati kebersamaan kami. Sialnya dia menangkap gelagatku ini dan sepertinya terhibur atas itu. dari sekian banyak orang dihidupku kenapa harus dia yang mengetahui bagaimana interaksiku asliku dengan keluargaku.
“Nak Dira, maafkan bila putri kami merepotkanmu selama kau bersamanya,” ujar ayah yang tiba-tiba saja buka suara. Dia lalu menatap kearahku yang sudah tidak lagi direcoki Ibu. Menatapku penuh arti sebagai gantinya. “Antar Nak Dira ke kamarmu. Dia sepertinya lelah karena perjalannya kerumah kita.”
“Tapi ayah—”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku Ibu sudah bersiap lagi dengan tatapan mematikan miliknya.
“Iya, aku akan antar dia,” aku menyerah. Aku malas untuk berdebat panjang lebar dengan Ibu. Sebab aku tahu batasku bahwa sebisanya aku menolak dan mendebat aku akan kalah dari beliau.
Aku bangkit berdiri, menatap Dira yang juga mengikutiku. Aku melirik kearah tasnya yang tergeletak di lantai. Menghela napas berat.
“Kau ingin aku membawakan tasmu sekalian?” ujarku sarkas. Pria itu mengerti dan lantas mengambil tas yang dia bawa dipundaknya. Lalu aku melenggang pergi begitu saja. namun beberapa langkah aku hendak meninggalkan ruang tengah lagi-lagi ibu berteriak menahan langkahku lagi.
“Kau pikir yang perlu dibawa itu hanya tubuhmu saja? memangnya di depan Ibu sekarang ini patung batu?” sindir Ibu sekali lagi.
Ck. Ada apa dengan keluargaku sebenarnya? Mengapa mereka membela tamu dan malah membuat aku seperti pembantu dirumahku sendiri?
“Ayo Dira!” kataku memintanya mengikutiku dengan cara menggerakan daguku kearah jalan yang akan kami lewati nanti.
“Memangnya begitu caranya mempersilahkan seorang tamu, Reca?” sekali lagi aku kena sindir. Tapi kali ini bukan dari Ibu melainkan dari ayah yang biasanya selalu memihak padaku. Kenapa pula Ayah ikut-ikutan ibu ? seperti mereka sengaja melakukannya untuk menggodaku.
Aku berbalik sesaat dan mendekat kearah pemuda itu. lalu menarik tangan si pemuda dengan cepat untuk segera masuk ke kamarku.
“mmmhh..”
“Ada apa ?” aku menghentikan langkahku, nada suaraku datar dan begitu pula ekspresi wajahku. Pria itu tidak menjawab, tapi aku memahaminya kurasa dia tidak nyaman dengan tanganku yang menggenggam tangannya. Maka kulepaskan itu dengan tahu diri. Sekali lagi Dira melirik padaku.
Sunyi. Senyap.
Menunggu tidak akan menghasilkan apapun. karena itulah aku lebih suka melakukan apa yang harus kulakukan. Aku membuka pintu kamarku sendiri dan mempersilahkan pria itu masuk. Dengan tenang aku membuka salah satu dari lemari pakaianku yang kosong melompong. Aku memang tidak punya banyak pakaian disini. karena itu kondisi lemariku tidak sepenuh Adelia. Jadi ini tidak berdasarkan aku menyiapkan lemariku dan mengosongkannya karena tahu bahwa Dira akan datang kesini.
“Kubantu,” ujarku singkat. Memasukan beberapa potong pakaian yang dia bawa dalam ranselnya. Tidak terlalu rapi tapi setidaknya sudah masuk semua kedalam lemari dan aku tidak akan kena omel Ibu lagi. Tanganku terhenti diudara ketika menyentuh sebuah kain. Untuk sesaat aku mencoba untuk tidak teracuni oleh pikiran negatif yang ada dikepala.
Sial.
Dira yang sadar akan hal itu segera menghampiri dan merebut benda pribadi yang digunakan untuk membungkus ‘barangnya’.
“Kau melihatnya kan?” ujar Dira.
Aku mendecak sesaat lalu mendorong tas yang ada dipangkuanku untuk kukembalikan pada pria itu. hal-hal sepele yang akan memanjang bukanlah gairah yang aku suka.
“Kau tata saja sendiri,” ujarku santai lalu berdiri menuju pintu keluar menuju balkon. Membukanya agar ada setidaknya udara yang masuk kedalam kamar ini.
“Gunakan saja lemari itu, ranjangku hanya satu. Itu berarti kau tidur di lantai.” Jelasku tegas. Aku perlu menerangkan batasan yang ada. Terlebih ada hal-hal yang perlu diluruskan sebelum semuanya malah terlena. Bukannya Nyonya Geandra membenciku? Bukannya Ibu benci sekali pada pria yang mendekatiku tapi kenapa pada pemuda itu dia menerimanya denagn tangan terbuka? Dia lebih asing dari Daiki tapi kenapa dia dengan mudah diterima?
“Kenapa dengan raut mukamu? Tidak suka?” ujarku lebih satir. Pria itu menggeleng.
“Aku sempat membayangkan bahwa akan mendapatkan kata-kata well… you know. Mine is yours maybe?” jelas Dira membuka suaranya. Kali ini dia terlihat agak berat mengatakannya. Aku juga merasakan hal yang sama, kalimat barusan terdengar mengganjal untuk dikatakan oleh pria macam Dira. Apalagi ketika dia berupaya menutupi rasa malunya dengan suara tawa yang dipaksakan. Bukankah dia lebih terlihat mirip si plamboyan temannya itu?
“Kau mengatakan sesuatu yang bukan sepertimu,” ujarku menutup percakapan diantara kami. Lalu meninggalkan dia dikamarku sendirian. Lebih tepatnya memposisikan diriku bersandar pada pintu yang aku buka dan merasakan angin semilir yang membelaiku.
***
Dira tahu bahwa ini adalah keputusan tergila yang dia lakukan seumur hidupnya. Melalui informan terpecaya dia membayar cukup banyak untuk mendapatkan informasi mengenai sosok Reca yang dia nikahi melalui insiden tak terduga. Setelah tidak berkomunikasi dan tidak bertemu sejak pertengkaran yang dia lakukan bersama ibu tirinya di Aruba. Dira merasa telah menjadi seorang pria yang b******k pada wanita yang pastinya memiliki kehidupan. Karena itulah dia memutuskan untuk bertanggung jawab dengan dirinya sendiri.
Selain karena aturan ketat tak masuk akal yang kerap dia dapatkan dirumah. Itu juga bisa jadi alasan yang bagus baginya untuk melarikan diri dari situasi. Dan disinilah dia sekarang. Didepan sebuah rumah sederhana. Didalam sana cukup ramai. Awalnya Dira ragu untuk masuk atau tidak. namun ketika mulutnya telah berkata permisi dengan lantang maka sudah tidak ada lagi jalan keluar.
Pintu dibuka lebar oleh seorang wanita paruh baya yang menatapnya dengan cukup heran. Yang secara cepat Dira asumsikan bahwa beliau adalah Ibu Mertua.
“Halo Ibu Mertua, perkenalkan saya Dira suami putri anda.” Kata pemuda itu sebagai sapa sekaligus perkenalan. Sesaat mata ibu itu melotot. Dia lalu memanggil nama seseorang yang tentu saja sudah Dira ketahui. Reca.
Dira tahu bahwa tidak akan mudah untuk mendapatkan penerimaan yang ramah dari perempuan itu. Tapi meski memang dia tidak diterima dengan baik olehnya, melihat bagaimana interaksi antara Reca dan ibunya benar-benar membuat dirinya terhibur. Ini seperti dirinya berada dalam sebuah suasana keluarga sungguhan. Sangat nyaman.
Sampai kemudian dirinya berada di kamar perempuan ini. suasananya benar-benar menggambarkan dirinya. Elegansi, kecerdasaan, kedewasaan, dan bagaimana pembawaan dirinya benar-benar tergambar dari kamar yang didominasi oleh cat berwarna ungu dan hitam ini. sangat kalem. Ia tahu bahwa tempat ini berbeda jauh dengan miliknya yang luas namun dipenuhi kehampaan. Dan mungkin mulai hari ini dia harus belajar berbagi.
Perempuan itu bersandar pada pintu, mengabaikan Dira yang menata barang miliknya. Namun ketika melakukannya mata Dira tertuju pada sesuatu. Sesuatu yang tertempel di dalam lemari dalam. Foto?
Tipikal pria tampan, yang selalu cerah setiap saat dengan kulit tan miliknya. Rambutnya hitam sewarna dirinya. Dalam foto itu si pemuda itu tersenyum nyengir lebar dengan Reca yang memasang tampang datar namun terlihat tidak keberatan saat Dira melihat tangan pria itu merangkul bahunya. Dia sangat ceria. Berbeda dengan dirinya.
Dira jadi ingat perkataan ibu mertuanya beberapa detik yang lalu. apa mungkin pemuda ini adalah pacar asli dari Reca? Dira mencoba berpikir sesaat lalu melirik kearah si gadis yang masih sibuk memandangi awan di dekat pintu yang dia sandari.
“Reca…” panggil Dira.
Dia menoleh perlahan, tatapan matanya sedikit berubah ketika sadar bahwa Dira menggenggam sesuatu ditangannya. Foto yang dia simpan didasar lemarinya yang dia pikir hilang. Dan foto itu kini dihadapkan kearahnya didepan mukanya. Foto itu jelas memperlihatkan dirinya dengan pria lain. Pandangan perempuan itu lalu berubah, terlihat bosan kemudian.
“Pacarmu?” sekali lagi Dira bersuara. Paling tidak dia ingin rasa penasarannya terbayar lunas disini.
“Bukan urusanmu kan?” ujarnya enteng. Terlihat sangat tidak tertarik untuk membahas lebih jauh.
“…” Dira menatap tepat kearah mata perempuan itu.
“Kita memang menikah, tapi aku tidak suka kau terlalu ikut campur dalam urusan pribadiku,” Dira menoleh kearah perempuan itu. ia sedikit sebal lantaran perkataan Reca yang dia nilai terlalu berlebihan untuknya.
“Kau ingin privasi maksudmu?”tanya Dira yang tanpa sadar malah terdengar mengejeknya.
Tapi diluar dugaan perempuan itu hanya menganggukan kepala tanpa berkomentar lagi.
“Suka atau tidak aku suamimu sekarang,” balas Dira lagi yang tersenyum dengan cara yang menyebalkan.
Reca sedikit tertegun, namun dia tidak mengatakan apa-apa selain menghela napas panjang.
“Kau terlalu cerewet untuk ukuran pria, dan terlalu posesif untuk ukuran orang asing,” ujar Reca dia bahkan memberi tambahan senyuman tipis.
Kini Dira sadar bahwa gadis ini bukan sembarangan perempuan yang bisa dia kekang, yang bisa dia inginkan. Dia dua kali lipat lebih menantang daripada Nancy yang selama ini dia kejar. Dan kini Dira bahkan sampai kehilangan kata untuk dapat membalas kata-kata telak yang Reca ucapkan untuk dirinya.
Reca tersenyum mengejeknya sebelum kemudian melewati dirinya begitu saja. Perempuan itu seperti sengaja memberinya waktu untuk memikirkan banyak hal. Dan apa yang dia lakukan berhasil. Berkat itu, Dira jadi mengintrospeksi dirinya diruangan ini seorang diri. Ah, dia butuh air dingin untuk mendinginkan kepalanya. Suasana disini jadi panas gara-gara dia sendiri mencari penyakit yang tidak perlu dibahas seharusnya. Kamar ini jadi jauh lebih panas daripada musim panas terik yang biasa dia lewati setiap tahunnya.
Dia merasa seperti seorang pria bodoh yang dicampakan.
Dia merasa seperti seorang pria tanpa harga diri yang seolah sedang menuduh istrinya selingkuh.
Tapi…
Sejauh apapun dia memikirkannya, perempuan itu tidak salah. Pria itu mungkin adalah bagian dari masa lalunya bahkan mungkin masanya kini. Begitu juga dengan dirinya yang memiliki Nancy dan masih terhubung dengannya hingga kini.
Lantas mengapa dia harus merasa marah bila dirinya sendiri sama saja?
Bodoh!