Kecewa

1216 Words
Langit berpayung hitam. Aqna merasa tersesat di hatinya sendiri. Aqna merasakan perih, lantaran sebuah tombak kepercayaan menghancurkan kesabarannya. Merobek dan mengoyak jantungnya dengan kasar.  “Kita mau ke mana, Mbak?” tanya sopir taksi sembari melaju.  Aqna ingin menenangkan diri. Masih terlalu sore untuk pulang ke rumah. Dia harus mencari tempat sepi untuk membuang luka dan semua kenangan-kenangan yang kini menjadi sebuah mimpi buruk.  “Ke taman kota di depan ya, Pak.” Sopir taksi mengangguk sesuai instruksi.  Aqna tak ingin terus-menerus meratapi lukanya. Namun, dia tiak ingin membohongi hati bahwa saat ini dia benar-benar kecewa. Kalimat ‘Jangan pernah berharap pada manusia’ itu benar adanya. Kepedihan ini telah membuat Aqna terbawa ke masa lalu.  Zaidan memainkan gitar, duduk di sebelah Aqna. Angin malam berembus pelan menemani rasa bahagia dua sejoli itu. Tubuh berayun ke kanan dan ke kiri mengikuti petikan suara gitar.   Aqna menyandarkan kepala di bahu Zaidan. Menatap langit bermandikan cahaya rembulan. Bintang-bintang bertaburan seperti cinta mereka. Di depan api unggun mereka habiskan waktu bersama.  “Pacaran mulu, udah malam wey tidur,” pekik seseorang dari balik tenda. Acara berkemah memang diadakan oleh teman-teman Zaidan. Sebagai hobi dan kali ini dia sengaja mengajak Aqna.  Aqna tersenyum menatap Zaidan. “sudah jam sebelas.” Untuk bisa ikut berkemah Aqna sampai harus berbohong pada orang tuanya.  Zaidan mengangguk. Dia bangkit dan mengantar Aqna ke tenda. Saat sampai di tenda. Aqna menyingkap dan mengayun kaki untuk masuk. Namun, sesaat kemudian jeritan Aqna membuat Zaidan panik dan segera masuk menyusul kekasihnya.  Mata Aqna membola. Meminta Zaidan untuk berhenti dan tidak mendekat. “Ada ular,” desis Aqna.  “Kamu diam di situ,” ucap Zaidan mengacungkan telapak tangan.  Aqna semakin ketakutan berdiri di pojok tenda. Sebagai anak gunung Zaidan sudah biasa menghadapi berbagai macam bahaya. Dia keluar mengambil kayu panjang. Kemudian kembali berlari ke tempat Aqna berada. Dengan bantuan kayu tersebut Zaidan berhasil mengeluarkan ular itu. Beruntung bukan ular berbisa.  Aqna menghambur memeluk Zaidan. “Aku takut.” “Maaf ya, gara-gara aku ajak kamu ke tempat seperti ini. Kamu jadi ketakutan.”  Aqna mengangguk dalam rengkuhan. “Aku nggak mau tidur. Aku takut.” “Kita bersihkan dulu tendanya, nanti aku temenin kamu di sini,” ucap Zaidan yang langsung dibalas anggukan oleh Aqna.  “Mbak.” Sopir taksi memanggil Aqna berkali-kali, namun Aqna terlalu serius melamun.  “Iya, Pak. Maaf.”  “Taman yang ini bukan?” Aqna mengedarkan pandangan ke luar jendela. Taman Kota memang selalu ramai, meski sudah malam. “Iya.” Dia turun setelah membayar ongkos.  Aqna duduk di sebuah kursi. Menatap langit gelap tanpa satu pun bintang, sementara awan hitam menutupi keberadaan bulan. Aqna menarik napas dalam-dalam. Dia memeluk lengannya sendiri. Bendungan itu kembali tumpah membanjiri pipi.  Tak pernah Aqna kecewa sedalam ini. Lalu apa artinya penantian selama sepuluh tahun dalam keyakinan? Inikah balasan yang Aqna dapatkan? Sebuah pengkhianatan. “Kenapa? Kenapa harus Aqila?” lirihnya bersahutan angin. “Kenapa kamu nggak coba cari aku? Aku dan anakmu?  “Astaghfirullah, Zaidan ….” Aqna menarik napas. “Kamu jahat. Aku kira kamu akan menepati janjimu, nyatanya aku salah,” desisnya yang hanya dapat didengar olehnya sendiri.  “Zaina, Bunda minta maaf. Penantian kita selama ini, hampa.” Aqna mengusap kasar wajahnya. Hatinya terus bergemuruh, sampai dia tidak menyadari dengan suara gelegar petir dan desau angin yang membawa berliter-liter air hujan.  Perlahan tetesan air mulai membasahi gamis ceruty-nya. Sementara jilbab yang dia kenakan sudah lebih dulu basah. Namun, Aqna masih belum beranjak. Sementara orang-orang lalu lalang berlarian mencari tempat teduh.  Aqna masih ingin tetap di sini. Bukan untuk menikmati hujan yang semakin lebat di malam selarut ini. Dia tak ingin orang lain tahu bahwa dia sedang kecewa. Biarlah air hujan menggerus semua luka di hatinya.  Tiba-tiba dia merasa payung, teduh menaungi kepalanya. Aqna mendongak mendapati seorang pria sedang tersenyum menatapnya.  “Kamu sedang apa di sini?”  “Haris?” Aqna menarik napas.  “Aku antar pulang.”  Aqna mengangguk. Dia bangkit dan berjalan di sebelah Haris menuju mobil pria itu. Dengan sabar Haris membukakan pintu dan meminta Aqna untuk masuk. Dia berlari memutari mobil melipat payung dan masuk. Lalu dia menoleh pada Aqna. “Kamu kenapa?” Aqna hanya menjawab dengan gelengan kepala.  Haris mengerti. Dia mengoper gigi dan memutar setir. Perlahan mobil melaju meninggalkan kawasan  taman itu. “Aku kebetulan lewat. Tak disangka aku lihat kamu.” Aqna masih bergeming. Dia membiarkan air mata terus mengucur. Toh Haris tidak akan tahu kalau dia menangis. Namun, getaran napas yang dihasilkan dari sebuah isakan yang ditahan terdengar jelas di telinga Haris.  “Kamu nangis?” Haris menoleh. Hanya terdengar tarikan napas yang Haris dapatkan sebagai jawaban. Dia tak enak hati dengan apa yang Aqna tampakkan padanya. Haris memilih memutar sebuah lagu dari Padi.  Kularut luruh dalam keheningan hatimu Jatuh bersama derasnya tetes air mata Kau benamkan wajahmu yang berteduhkan duka Melagukan kepedihan di dalam jiwamu Aqna memejamkan mata. Kenapa lagu yang Haris putar begitu mewakili keadaan hatinya saat ini?  Dan tak pernah terpikirkan olehku Untuk tinggalkan engkau seperti ini Tak terbayangkan jika kuberanjak pergi Betapa hancur dan harunya hidupmu “Terlalu menyayat hati,” komentar Aqna pada lagu yang sedang diputar Haris.   Haris menoleh cepat. “Kenapa Aqna?” “Lagu yang kamu putar membuatku semakin ingin menangis, Haris.”  Spontan Haris langsung mematikan audionya. “Maaf. Memang lagunya RAPUH banget.”  Aqna menarik napas. Kemudian mengangguk. Haris kembali melajukan mobilnya.  Sementara Aqna kembali larut dalam hening. Cinta dan nafsu birahi berjarak sehelai benang, kejadian malam itu berhasil merenggut kesuciannya.  Napas Aqna kembali bergetar. Menahan isakan yang siap keluar. Kepala Aqna berdenyut nyeri mengingat semua janji yang pernah Zaidan ucapkan.  “Na, sampai,” ucap Haris. Aqna terkesiap dan segera memutar pandangan. “Makasih ya.” Dia mengayun kaki dan turun dari mobil. Namun, Aqna menoleh. “Kamu langsung pulang aja, nggak usah mampir, udah malam.” Haris mengangguk. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam. Hati-hati.” Aqna melangkahkan kaki setelah berlalunya mobil Haris.  “Aqna?” Marini terperanjat melihat Aqna basah kuyup. “Mama … aku kehujanan,” kilah Aqna.  “Ya udah cepat ganti baju kamu.” Marini tidak begitu memperhatikan wajah sendu anaknya. Aqna semakin menjauh dari hadapan.  Setelah mengganti baju. Aqna tidur di sebelah Zaina. Mendekap tubuh kecil anak gadisnya itu. Sepuluh tahun tidak mudah, dia melewati badai itu seorang diri, hingga kelahiran Zaina adalah sumber kekuatan baginya. Kini satu pertanyaan bergelayut di benaknya. Jika Zaidan datang ke Jakarta, kenapa pria itu tidak mencarinya, sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Aqila?! Zaina merasakan kehadiran Aqna. Dia membuka mata dan menoleh. Namun, Aqna semakin erat memeluk Zaina. Kegundahan hatinya semakin bertambah. Bagaimana jika anaknya itu tahu, bahwa ayahnya tidak akan menjemput, justru dia akan menikahi Aqila. Aqna sadar, dia tidak mungkin menghancurkan apa yang menjadi mimpi Aqila. Dia merasa berhutang pada sahabatnya itu. Saat sedang terpuruk, Aqilalah orang yang paling depan membantu, padahal awalnya mereka tidak saling mengenal.  Kepindahannya ke Jakarta sepuluh tahun silam menjadi babak baru dalam menghadapi persoalan hidup. Kesulitan ekonomi menjadi hal utama bagi keluarganya. Padahal di tempat asalnya usaha Aziz cukup berkembang. Namun, Aziz rela mengorbankan semuanya untuk menjauhkan Aqna dari Zaidan. Harta, bisnis, bahkan kekerabatan di kampung halaman diputuskan begitu saja. Hanya agar Aqna tidak menikah dengan Zaidan. Sumpah serapah Aziz kokoh terpatri di dalam hati. Seolah menjadi kutukan yang abadi bagi anak perempuannya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD