Harapan Menjadi Luka

1432 Words
Jakarta, saat ini.  Seorang anak kecil menarik-narik gamis ibunya. “Malam-malam begini, Bunda mau kemana?” tanyanya.  Sang ibu berlutut, menyejajarkan tubuh dengan tubuh mungil anaknya. “Tante Aqila ulang tahun. Bunda mau ke sana sebentar.” Dia memegang kedua bahu sang anak..  “Kenapa Zaina nggak diajak?” gadis berpipi bulat itu merangkul bahu ibunya. Aqna tersenyum lembut, kemudian mengecup keningnya. “Besok Zaina harus sekolah, ‘kan?”  Zaina mengangguk. Meski, gurat kecewa terlihat jelas di wajahnya. Gadis kecil itu kemudian menghela napas.  “Zaina mau ngasih hadiah, buat tante Aqila?” tanya Aqna lembut yang langsung di balas anggukan oleh putri kecilnya.  Zaina mengambil kertas berwarna dari laci beserta satu buah bolpoin, kemudian menulis sesuatu. Aqna tertawa saat Zaina meminta untuk di pakaikan lipstik di bibir kecilnya. “Buat apa?” tanya Aqna penasaran. “Mau bikin tanda. Biar tante Aqila tahu, aku sayang dia.” Bibir kecil itu tersungging. “Kecupan jauh bunda,” ucapnya seraya mengangkat alisnya.  Aqna kembali tertawa. Meski kedua alisnya bertaut. “Tahu dari mana sih kamu yang kayak gituan?” Dia mengacak rambut ikal Zaina. “Om Gias kalau dapet surat, suka ada tanda bibirnya,” kikik Zaina.    Aqna mengernyit. “Emang masih musim ya, surat-suratan?”  Zaina mengangkat bahunya. Membuat Aqna merasa semakin gemas dengan tingkah lucunya. Aqna segera mengambil lipstik berwarna nude di dalam lacinya. “Sini bunda pakein.” Dia memutar lipstik itu hingga keluarlah batang lipstik tersebut. Melihat warna yang tidak sesuai keinginan, Zaina bergidik. “Ih yang merah, biar bagus,” dengkus anak kecil itu. “Bunda nggak punya, Sayang, adanya cuman ini.” Aqna kembali menunjukkan lipstik di tangannya.  “Ya udah deh.” Bibir Zaina mengerucut. Aqna langsung mengoleskan lipstik itu di bibir mungil anaknya. Zaina tak berhenti tersenyum di depan cermin, kemudian dia mencium kertas berwarna pink di bagian putihnya yang sudah dibubuhi isi hatinya untuk Aqila.   “Bunda boleh tahu isinya nggak?” tanya Aqna sembari mendekat. “Nggak,” jawab Zaina singkat sembari menjauhkan lipatan kertas itu dari ibunya.  Aqna menghela napas. “Ya udah.” Dia berdiri sesaat setelah mengecup kening anaknya. “Bunda berangkat, ya. Bobonya jangan malam-malam.”  Tangan kecil Zaina meraih tangan Aqna, lalu mengecupnya. “Iya, Bund.” *** Seorang wanita berbalut gaun serta jilbab ungu muda. Tersenyum pada orang baru saja datang dan berjalan ke arahnya. Aqila Khairunnisa merayakan ulang tahun sekaligus pertunangannya dengan cukup meriah.  Aqna berjalan ke arahnya. Mengucap salam dan selamat.  “Barakallah fii umrik, Aqila.” Dia tersenyum lalu merangkul tubuh sahabatnya itu.  “Makasih ya.” Aqna memberikan sebuah kotak kecil berisi jam tangan. Meski hanya jam tangan biasa, tapi dia yakin Aqila akan suka. “Kalau ini dari Zaina.”  Aqila tersenyum sembari meraihnya. “Kenapa dia nggak ikut?” tanyanya.  Aqna menggelengkan kepala. Dia merasa Zaina masih terlalu kecil untuk diajak ke tempat seperti ini.  Perlahan Aqila membuka lipatan kertas itu. “Coba baca yang keras, aku pengen tahu dia nulis apa,” pinta Aqna.  Aqila menoleh dia menatapnya heran. Tapi, kemudian dia membaca dengan keras. Sehingga Aqna dapat mendengarnya dengan jelas.  Selamat ulang tahun, Tante Aqila. Maaf ya, Zaina nggak bisa dateng, padahal Zaina pengen banget makan kuenya. Tapi Zaina nggak dibolehin ikut sama Bunda. Hiks. Zaina juga nggak punya kado apa-apa buat Tante, soalnya Bunda nggak cerita sih, kalau Tante ulang tahun.  Mereka tertawa bersama. Zaina memang menggemaskan, betapa polosnnya anak itu.  Aqila tak berhenti tertawa saat melihat ada tanda bibir Zaina di atas suratnya. Apalagi setelah Aqna ceritakan bagaimana Zaina merengek meminta dipakaikan lipstik. Namun, tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena seorang pria mendekat pada Aqila.  Jantung Aqna tiba-tiba berdebar hebat, tubuhnya seketika dingin menusuk ke setiap pori kulitnya. Sakit ia rasakan di relung hati. ‘Astaghfirullahaladzim….’ batinnya. Mata Aqna mulai berembun. Dia menarik napas dan  mencoba menahan agar tetesan air dari sudut matanya tidak jatuh. Kenapa tiba-tiba dia merasa ingin menangis? Sebuah rasa yang sudah terkubur dalam, kembali menyeruak. Bahkan, Aqna merasa seperti ada sesuatu yang menariknya ke masa lalu. Dia juga merasakan lututnya lemas.  “Aqna?” Aqila mencoba menyadarkannya.   Jantung Aqna mencelus. “Iya.” Dia mengangkat wajah, matanya dengan mata pria itu bersirobok. Membuat dadanya sesak.  “Mas, kenalin. Ini Aqna,” ucap Aqila pada pria itu. Sesaat kekakuan hadir membentengi mereka. Sejujurnya Aqna ingin lari dari pemilik senyum itu. Namun, sebisa mungkin dia mencoba mengatur napas. Lalu dia membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Sejenak dia memejamkan mata, dan segera tertunduk.  Kali ini Aqna merasa seluruh tubuhnya bergetar hebat. Bahkan hampir luruh, Aqna segera bertumpu pada pagar balkon, sekuat tenaga dia menahan agar tubuhnya tidak roboh saat itu juga.  Merasa ada yang aneh, Aqila segera memegang tangan Aqna yang dingin. “Na, kamu nggak apa-apa, ‘kan?” Aqila membantu sahabatnya itu untuk berdiri tegak.  Aqna kembali menarik napas. Dia juga menggigit bibir bawah untuk menyembunyikan kegugupannya. Aqna mengernyit lalu mengangguk pelan. Dia memegang dadanya yang sakit.  “Kamu beneran baik-baik aja, Na?” tanya Aqila memastikan. “Wajah kamu pucat loh.” Aqna mengangguk.  Aqila memegang kedua bahu Aqna. “Mas, Aqna ini sahabatku, malah aku udah anggap dia kayak kakakku sendiri,” terang Aqila yang hanya di balas anggukan oleh pria itu.  “Aqna, Mas Zaidan ini temennya bang Ahmad. Mereka kerja satu kantor,” tutur Aqila.  Senyum getir terurai dari wajah Aqna yang semakin pucat.  Tak pernah dia mengira pertemuan yang dia harapkan akan menjadi sesakit ini.  “Tiga bulan yang lalu, kami dipertemukan dan memutuskan untuk menjalin hubungan serius. Jadi, Mas Zaidan ini calon suamiku,” terang Aqila.  Seperti gelegar petir menyambar kesunyian. Aqna merasakan sunyinya itu berubah riuh. Hatinya kalang kabut tak tentu arah. Janji yang dia genggam semanjak sepuluh tahun yang lalu itu, hanya tinggal debu yang perlahan memudar terkikis angin. Sungguh dia tidak ingin mempercayainya begitu saja.  Lamat-lamat dalam diam Zaidan menatap mata Aqna, lidahnya kelu untuk berkata, dia merasa ini adalah sebuah mimpi yang tak berujung.  Tubuh Aqna seolah ditarik, menjauh dari mereka. Pandangannya kabur. Kekuatan yang selama ini ia bangun bersama Zaina, luluh lantak. Luka yang hampir mengering, kini kembali terbuka dan menggerogoti hati Aqna untuk kedua kalinya. Wajahnya panas seperti terbakar. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatakan sesuatu. “Selamat ya Qila.”   “Aqna, kamu sakit?” tanya Aqila panik. “Sepertinya begitu. Kepalaku sakit. Aku pulang duluan nggak apa-apa, ya?” tanya Aqna. Dia ingin segera menghilang dari pria yang selalu dia nantikan, sejak sepuluh tahun terakhir itu.  Aqila tampak berpikir.  “Nggak apa-apa, ya?” Aqna sudah tidak kuat membendung badai air mata. Perlahan bendungan itu tumpah melintasi pipinya.  Aqila terkejut melihatnya. Dia segera menyeka air mata yang membasahi pipi wanita itu. “Ya udah deh. Aduh, kamu bikin aku panik. Kamu pulang naik apa?”  Aqna melipat bibir dan menarik napas. “Taksi,” gumamnya singkat.  “Di antar sama bang Ahmad, mau ya?” Aqna menggelengkan kepala. “Nggak usah ah. Nggak enak.”  Aqila membelai lembut tangan Aqna. “Kamu kenapa sih, Na?” Aqna menengadah sembari menyeka air matanya. “Duh, maaf ya. Kok aku jadi cengeng sih. Selamat untuk kamu dan calon suami kamu.” Apa yang baru saja Aqna katakan bagai ribuan pisau yang menghunjam ke dalam dadanya sendiri.  Aqila mengangguk. Dia meraih sepasang tangan Aqna. “Aqna, tolong sampaikan pada anak gadismu itu, makasih untuk suratnya. Besok aku temui dia buat ngasih kue yang dia mau.”  Aqna tersenyum kering. “Nggak usah, Aqila, ngerepotin. Permintaan Zaina jangan dianggap serius.” Aqna menepuk punggung tangan Aqila. “Cuma kue Aqna. Nggak apa-apa.” Aqna mengangguk lalu berlalu dari hadapan mereka setelah mengucap salam. Air mata mengikuti derap langkahnya. Sesekali pandangannya berkabut karena linangan air mata yang kemudian jatuh bersama sebuah kekecewaan.  “Dia kenapa?” tanya Zaidan pura-pura.  Aqila menoleh dan menatapnya. “Aku nggak tahu, biasanya dia nggak seperti itu.” Zaidan merasa bersalah. Sepuluh tahun yang lalu dia katakan akan menjemputnya. Namun, kenyataannya? Kenapa dia harus bertemu Aqna dengan cara seperti ini? Apa Aqna masih mau mempercayai janjinya?  “Mas?” Melihat air muka Zaidan yang berubah sedih. Aqila merasa heran, kenapa di acara istimewanya, dia merasakan ada sesuatu yang mengganggu hati dan pikirannya tentang Aqna. Tentang Zaidan yang tiba-tiba diam seperti ini.  “Iya? Kenapa? Maaf tadi mas melamun.” Aqila cemberut. Dia berjalan menuju kursi yang di ikuti Zaidan. “Jauh-jauh Aqna datang, eh pulang lagi,” keluhnya. “Kamu tadi bilang, anak gadis. Dia punya anak?” tanya Zaidan memastikan bahwa itu adalah anaknya dengan Aqna. Jantungnya berdebar tak sabar menunggu jawaban. Aqila menarik napas. Apa Aqna telah mencuri perhatian Zaidan sehingga membuatnya penasaran seperti ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD