Bab 3. Dilema

992 Words
"Ma ...." Tangis Ayuna pecah. Hanya di depan sang Mama ia bisa memperlihatkan sisi rapuh setelah mengetahui kenyataan bahwa Raga telah membatalkan rencana pernikahan mereka secara sepihak. "Menangislah, jangan ditahan." Salma mengelus punggung Ayuna. Sebagai seorang Ibu, tentu saja ia ikut merasakan kesedihan putrinya tersebut. "Tapi ingat, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Patah hati boleh, tapi jangan lupa, air matamu terlalu berharga dibuang sia-sia hanya untuk pria seperti Raga," imbuhnya. Ayuna membenarkan ucapan sang Mama. Namun, ia juga tidak memungkiri bahwa hatinya masih tidak rela melepas Raga. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Terlalu banyak kenangan manis di antara mereka yang terlampau sulit untuk dilupakan. "Kenapa aku selalu kalah dari Anggia, Ma? Apa karena aku tidak secantik dia, makanya Papa dan Mas Raga lebih menyayanginya?" "Hei, siapa bilang dia lebih cantik dari kamu?" Salma mengurai pelukan. Mengangkat dagu sang putri hingga mendongak dan bertatapan dengannya. "Putri Mama ini cantik luar dalam. Tanpa polesan make up pun kamu tetap terlihat cantik," pujinya tulus. "Dengar, Sayang. Pria yang sungguh-sungguh mencintaimu tidak akan mempermasalahkan masalah fisik. Mau secantik apa pun dirimu, kalau pada dasarnya pria itu tidak bisa setia dan mudah berpaling, kamu tidak akan pernah menjadi satu-satunya." Ayunan menatap sendu sang Mama. "Seperti Papa?" Senyum di bibir Salma memudar. Ya ... seperti Bram yang begitu mudah terjerat pesona Prita. "Kenapa Mama tidak berpisah saja dari Papa?" Salma terdiam. Bukan hal yang mudah untuk berpisah dengan Bram, mengingat ia sangat menyayangi mertuanya. Brata dan Ambar -- orang tua Bram memohon pada Salma agar tidak berpisah dengan putra mereka. Bagi kedua orang tua tersebut, Salma adalah menantu terbaik dan yang paling mereka sayang. Begitu besar jasa Brata dan Ambar bagi hidup Salma dan karena itulah, ia memilih membalas jasa mereka dengan bertahan bersama Bram, meski hatinya memberontak ingin berpisah. "Kami tidak rela harta Bram hanya dinikmati oleh pelakor itu. Tetaplah bertahan, Salma. Setidaknya, perjuangkan hak anakmu." Kata-kata Brama masih terngiang di telinga Salma. Ya. Setidaknya ia bertahan demi memperjuangkan hak Ayuna yang bisa saja terabaikan jika ia memilih bercerai. Salma sangat hafal bagaimana sifat Prita. Madunya itu tidak akan membiarkan Bram memberikan hak Ayuna andai perpisahan itu terjadi. Pada akhirnya, Salma membiarkan pertanyaan Ayuna menggantung begitu saja tanpa jawaban. Bukan karena tak ingin jujur. Hanya saja, terlalu sakit jika harus dijelaskan dan Salma tidak ingin menambah beban serta kesedihan sang putri. ***** "Pertunangan Anggia dan Raga akan dilaksanakan Minggu depan." Bram menatap Salma dan Ayuna bergantian. Saat ini ia sedang berada di rumah sang istri pertama karena memang tiga hari ke depan jatahnya bersama mereka. "Papa tidak akan memaksa jika kamu tidak ingin datang. Acara ini hanya akan dihadiri keluarga inti saja. Tidak ada orang luar yang Papa undang," terang Bram. Ia paham sang putri tidak nyaman dengan pembahasan ini. Memang terkesan jahat saat ia memberitahukan kabar bahagia di saat Ayuna justru sedang terluka. Sebenarnya Bram dilema. Ia berdiri di antara dua orang yang sama-sama penting untuknya. Namun, tetap harus ada yang diutamakan mengingat kondisi Anggia tidak sekuat Ayuna. "Aku akan datang." Jawaban Ayuna mengagetkan Bram. "Kamu yakin, Nak?" tanyanya tak percaya. "Sangat yakin." "Tapi--" "Bukankah aku harus menyaksikan kebahagiaan putri kesayangan Papa? Tidak adil rasanya jika keluarga lain datang sedangkan aku tidak," sela Ayuna. Tidak ada raut kesedihan di wajah cantik sang putri. "Maafkan Papa, Nak. Bukan maksud Papa lebih memprioritaskan Anggia. Kalian sama-sama putri Papa yang sangat Papa sayangi. Hanya saja, kondisi Anggia--" "Lebih membutuhkan dukungan dan perhatian lebih, bukan begitu? Aku sudah sangat hafal kalimat yang akan diucapkan Papa. Jadi, tidak perlu mengulangnya terus." Ayuna bangkit dari duduk. Berlama-lama dengan sang Ayah, membuat udara di sekitarnya terasa panas. Ayuna butuh udara segar. Mencari angin di tempat favorit sepertinya bisa mengembalikan suasana hati yang kembali memburuk setelah mendengar kabar pertunangan adiknya dengan sang mantan. "Mau ke mana?" Salma bertanya. Sedikit khawatir mengingat suasana hati putrinya sedang tidak baik-baik saja. "Cari udara segar sebentar. Mama tenang saja. Aku tidak akan melakukan hal bodoh yang akan merugikan diriku sendiri." Salma tidak bisa melarang. Ia biarkan Ayuna melakukan apa pun yang menurutnya bisa memperbaiki mood sang putri. Tepat setelah Ayuna menutup pintu, Salma ikut berdiri, bersiap beranjak dari hadapan Bram. "Mama mau ke mana?" Bram menahan lengan istrinya. "Mau ke kamar." "Mama tidak mau menemani Papa ngopi dulu?" Tatapan Bram penuh harap. "Aku sudah ngantuk." Salma menepis halus tangan suaminya. Bram menatap sendu punggung sang istri hingga menghilang di balik pintu kamar. Bram mendesah lirih. Pria itu sangat merindukan saat-saat indah kebersamaan dengan Salma. Namun sepertinya, sang istri justru tidak merasakan hal yang sama. Hati wanitanya sudah mati rasa dan itu akibat ulahnya. ***** Ayuna memejamkan mata. Menikmati semilir angin yang terasa segar saat menerpa wajahnya. Sudah satu jam ia berada di dekat danau dan perasaannya mulai tenang. Ayuna berniat pulang ketika rasa kantuk mulai menyerang. Gadis berperawakan tinggi itu beranjak dari bangku panjang yang ia duduki. Langkahnya mulai terayun meninggalkan tempat yang sering ia datangi saat ia sedang jenuh dan butuh ketenangan. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat di depannya sudah berdiri seseorang yang sangat ingin ia hindari. Ayuna menarik napas panjang sebelum menguatkan hati untuk berpura-pura abai akan kehadiran pria tersebut. Ia kembali melanjutkan langkah tanpa menoleh sedikitpun ke arah Raga. "Kita harus bicara, Yuna." Raga mencekal lengan Ayuna. "Tidak ada lagi yang harus dibicarakan." "Minggu depan aku dan Anggia akan bertunangan." "Aku sudah tahu." Raga menatap sendu sang mantan. "Tidak bisakah kita berteman? Aku ingin kita tetap menjalin hubungan baik meski kita sudah bukan sepasang kekasih." Ayuna sontak menoleh. Senyum lebar ia perlihatkan di hadapan mantan kekasihnya. "Tentu. Kita akan tetap menjalin hubungan baik, apalagi aku akan menjadi kakak ipar Mas Raga." Ketenangan Ayuna mengusik hati Raga. Tidak adakah rasa cemburu di hati Ayuna? Mengapa gadis itu terlihat baik-baik saja setelah mengetahui hubungannya dengan Anggia? "Yuna ...." "Sudah ya, Mas. Aku harus segera pulang. Oh ya ...." Ayuna urung melangkah. "Selamat atas rencana pertunangan kalian Minggu depan," ujarnya sebelum benar-benar pergi, meninggalkan Raga dalam kebimbangan. Sudah benarkah keputusannya melepas Ayuna dan lebih memilih Anggia? Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD