Bab 1. Kenyataan Pahit
"Papa ingin kamu mengikhlaskan Raga untuk menikahi Anggia. Adikmu sakit, Yuna. Bahagiakan-lah adikmu di sisa usianya."
Ayuna tercengang. Pun dengan sang Mama yang duduk di sebelahnya. Keduanya tidak pernah menduga jika maksud kedatangan Bramantyo beserta istri keduanya ke rumah mereka adalah untuk meminta hal yang mustahil bisa Ayuna kabulkan.
"Maksud Papa apa? Aku harus ngasih calon suamiku untuk anak kesayangan Papa yang sakit-sakitan itu? Aku harus ngalah lagi? Tidak cukupkah kasih sayang Papa yang dia ambil, dan sekarang dia menginginkan Mas Raga?" cecar Ayuna tak terima. Gadis berusia dua puluh empat tahun tersebut tidak habis pikir dengan jalan pikiran sang Papa.
"Jaga ucapanmu, Ayuna. Jangan meninggikan suara di depan orang tua!" Prita, istri kedua Bramantyo angkat bicara. Wanita berpakaian glamour tersebut tidak terima putri kesayangannya dihina sebagai anak penyakitan, meski pada faktanya memang seperti itu.
"Kamu yang harusnya menjaga ucapan! Jangan membentak putriku!" Salma tak terima. Ia yang awalnya ingin bersikap tenang menghadapi istri kedua suaminya, justru terpancing amarah ketika mendengar sang madu membentak putrinya.
"Sudah-sudah! Jangan berdebat!" Bramantyo melerai kedua istrinya yang mulai tersulut emosi. "Dengar, Yuna. Kamu tahu sendiri kalau Anggia itu sakit. Dia sering kali murung dan tidak punya gairah hidup setelah tahu penyakitnya. Tapi semenjak dia dekat dengan Raga, semangat hidupnya kembali muncul. Anggia bisa tersenyum dan sangat antusias untuk sembuh."
Bramantyo menjeda ucapan. Sebenarnya ia tidak tega harus mematahkan hati putri pertamanya demi putrinya yang lain. Namun, Bram tidak punya pilihan. Anggia lebih membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat, termasuk dari Raga, calon suami Ayuna sekaligus Dokter yang menangani penyakit Anggia.
"Jadi Papa mohon. Ikhlaskan Raga untuk adikmu. Papa yakin kamu masih bisa mencari pria lain yang lebih dari Raga," imbuhnya.
Ayuna tertawa getir. Begitu mudah bagi sang Papa memintanya menyerahkan calon suaminya untuk sang adik, tanpa memikirkan perasaannya sebagai seorang putri yang sudah lama merasa tersisihkan.
Bukan hanya satu atau dua kali Ayuna mengalah demi Anggia. Sudah tak terhitung berapa puluh kali ia membiarkan sang Papa memanjakan adiknya tersebut hingga mengabaikan dirinya yang juga membutuhkan kasih sayang.
Ayuna sudah terlalu sering bersabar dan mengalah, tetapi kali ini tidak akan. Raga adalah pria yang ia cintai. Ayuna tidak akan mengorbankan masa depannya dengan Raga hanya demi manusia penyakitan seperti Anggia.
"Maaf, Pa. Aku tidak bisa mengabulkan permintaan Papa. Aku dan Mas Raga sudah bertunangan dan sebentar lagi kami akan menikah. Mengapa Papa begitu tega mematahkan impianku demi putri kesayangan Papa itu? Tidakkah Papa menyayangiku seperti Papa menyayangi Anggi?" ujar Ayuna dengan mengurai tawa getir.
"Selama ini aku dan Mama sudah terlalu sering mengalah demi istri dan putri Papa yang lain. Kami tidak pernah protes saat waktu Papa lebih banyak untuk mereka. Bahkan aku dan Mama tidak pernah marah saat Papa mengajak mereka berlibur ke luar negeri sedangkan kami tidak. Setelah semua perlakuan Papa yang tidak adil terhadap kami, haruskah aku mengalah lagi dengan menyerahkan pria yang kucintai untuk Anggia?" cecar Ayuna. Ia luapkan isi hati yang selama ini ia tahan hanya karena ingin terlihat tegar di hadapan sang Mama, tetapi ternyata Ayuna tidak kuat lagi menahan setelah sang Papa kembali berlaku tidak adil padanya.
"Tapi Raga sudah setuju untuk menikah dengan Anggia. Raga sendiri yang mengatakan itu di hadapan kami," ungkap Prita.
"A-apa?" Ayuna tercengang. "Tante jangan mengarang cerita! Mas Raga tidak mungkin mau menikahi Anggia sementara beberapa bulan lagi kami akan menikah!"
"Saya tidak mengarang cerita. Kalau kamu tidak percaya, silakan tanyakan sendiri pada Raga. Lagipula, siapa yang bisa menolak pesona putri saya? Anggia itu cantik. Meski dia sedang sakit, kecantikannya tidak pernah memudar dan Raga sendiri mengakui hal itu."
Lagi, Ayuna dibuat terkejut. Meski ia akui Anggia memang sangatlah cantik, tetapi mustahil jika Raga sampai terpesona dan mulai menyukai adiknya tersebut.
"Tidak mungkin. Tante jangan ngada-ada!" Ayuna tak terima.
"Saya tidak mengada-ada!"
"Sudah!" Salma memekik. "Mas Bram, tolong bawa istri Mas ini pergi sebelum kesabaranku habis. Untuk kali ini saja, tolong hargai perasaan kami. Dan untuk kali ini saja, berlakulah adil terhadap kedua putrimu kalau Mas Bram tidak ingin Ayuna sampai membenci ayahnya!"
Bramantyo tidak bisa berkata-kata. Luka itu jelas ia lihat di mata sang istri pertama. Belum kering luka yang dulu ia torehkan di hati perempuan anggun tersebut dengan memberinya seorang madu, kini ia kembali menabur garam di atasnya dengan mengutamakan putri dari istri keduanya.
Bram terpaksa melakukannya demi kesehatan Anggia. Andai saja putri keduanya tersebut tidak sedang sakit parah, tentu ia tidak akan meminta hal yang mustahil kepada putri pertamanya.
"Maafkan, Mas, Salma," lirih Bram.
******
Ayuna yakin bahwa Raga tidak mungkin sampai menyukai Anggia. Kedekatan mereka selama ini hanya sebatas Dokter dan pasien, tidak lebih dari itu.
Raga sangat mencintainya. Ayuna percaya calon suaminya tersebut tidak akan pernah tega mengkhianati hubungan mereka.
Namun meski begitu, Ayuna ingin memastikan bahwa apa yang diucapkan Mama tirinya tidaklah benar. Siang ini Ayuna sengaja membawakan makan siang untuk sang kekasih yang sudah beberapa hari tidak menjumpainya karena sibuk.
Senyum gadis berlesung pipi itu mengembang kala ruangan Raga sudah semakin dekat. Tak sabar rasanya ingin memberi kejutan yang pasti akan disukai Raga.
"Mas Raga yakin akan melepas Mbak Ayuna hanya demi aku? Bukankah kalian saling mencintai dan sebentar lagi akan menikah?"
Langkah Ayuna terhenti tepat di depan pintu. Suara sang adik yang terdengar dari dalam ruangan kekasihnya memaksa Ayuna untuk menahan diri agar tidak bergegas masuk.
"Entahlah. Mas hanya ingin mengikuti kata hati. Saat ini rasa Mas pada Ayuna terasa hambar. Sedangkan padamu, rasa ini mulai tumbuh. Akan lebih baik menyudahi hubungan kami dari sekarang daripada nanti terlanjur menikah," jawab Raga.
Dari celah pintu yang sedikit terbuka, Ayuna bisa melihat dengan jelas kekasihnya mengecup kening Anggia.
"Mas mencintaimu, Anggi. Entah sejak kapan rasa ini tumbuh, tetapi yang pasti, Mas tidak bisa berjauhan denganmu."
Ayunan tersenyum getir. Apa yang ia lihat dan dengar hari ini telah membuktikan bahwa ternyata ucapan Mama tirinya adalah benar. Ayuna terlalu percaya diri dengan mengganggap Raga tidak akan jatuh dalam pesona sang adik.
Ayuna kalah lagi. Untuk ke sekian kalinya, Anggia telah merebut apa yang ia miliki.
Bersambung.