Awal Masalah

1101 Words
"Dokter, bagaimana dengan sahabat saya? Apa dia baik-baik saja?"  "Nona Elara baik-baik saja. bahkan kandungnya juga baik-baik saja." "Kandungan? Apa maksud Anda, dokter? Teman saya sudah bercerai bagaimana bisa dia hamil?" "Maaf, Nona. Soal itu mungkin teman Anda yang tahu. Saya hanya mengatakan hasil pemeriksaannya." Donna tidak bisa banyak protes lagi. ia melangkah pergi meninggalkan ruangan dokter menuju IGD tempat sahabatnya di rawat. Rasa bingung masih menyelimuti namun ia tidak tahu harus bagaimana. Di IGD seorang wanita duduk di atas tempat tidur sambil memandang ke jendela. Kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Di pergelangan tangannya ada perban untuk menutupi luka yang baru saja ia buat. "Elara …." Wanita itu hanya diam seperti patung. Seolah-olah pemandangan di jendela jauh lebih menenangkan. "Elara … ada hal penting yang harus aku katakan." Donna duduk di pinggiran tempat tidur dan memandang wajah temannya. "Aku lelah, Don. Aku lelah …." "Elara, tapi kau tidak harus bunuh diri." "Apa lagi yang bisa aku lakukan? Aku capek hidup menderita seperti ini!" Suara Elara meninggi. Emosinya masih belum bisa dikendalikan dengan baik. "Setidaknya kau bertahan demi anakmu. Anak di dalam kandunganmu!" Elara yang tadinya ingin marah segera menahan kalimatnya. Ia menggeleng tidak percaya atas pernyataan sahabatnya barusan.  "Hamil?" "Ya. Aku tidak tahu pasti berapa usianya. Kau yang lebih tahu siapa ayahnya karena itu anakmu." Ada rasa senang dan bingung. Senangnya Elara bisa memiliki anak yang akan menemani hidupnya. Memang selama ini ia sangat ingin jadi ibu. Bahkan perceraian yang ia alami juga disebabkan karena ia tidak bisa mengandung. Sedihnya, Elara tidak tahu siapa pria yang sudah menghamilinya. Malam itu benar-benar malam terburuk yang pernah ia alami. Jelas-jelas anak itu tidak mungkin anak mantan suaminya karena mereka tidak bertemu selama beberapa minggu sebelum perceraian terjadi. "Elara, apa dia anak Dante?" "Tidak, Donna. dia bukan anak Dante." "Lalu, anak siapa?" Elara mengatur napasnya. Ia kembali memandang ke jendela yang terdapat pemandangan indah di sana. "Aku juga tidak tahu. Siapa ayah anak ini …." *** Elara Benigno. Wanita muda yang memiliki hati selembut kapas. Di hari jadi pernikahannya yang ke 3, Elara berencana untuk memberi kejutan kepada sang suami. Dengan piyama biru di tubuhnya, ia memilih lingerie yang tersusun rapi di lemari. Ketukan pintu menjadi akhir dari segalanya. Elara mengurungkan niatnya untuk berias dan berjalan pergi. "Ada apa, Bi?" "Nyonya besar ada di bawah. Beliau meminta Anda segera turun, Nona." "Apa Tuan sudah pulang?" "Belum, Nona."  "Baiklah." Elara berjalan menuju ke tangga. Debaran jantungnya sudah tidak karuan. Setiap kali mertuanya itu datang pasti akan selalu membuat luka di dalam hatinya.  "Apa lagi sekarang? Kenapa harus datang mendadak seperti ini?" Walau cemas Elara berusaha mengukir senyum manis di depan mertuanya. Kini wanita paruh baya itu berdiri dengan tatapan yang begitu menakutkan. "Mom, apa kabar? Tumben mommy datang malam-malam begini." Elara memandang pembantunya. "Bi, buatkan teh-" "Tidak perlu." Wanita itu melempar dokumen yang sejak tadi ada di tangannya. Tepat di meja yang ada di hadapan Elara.  "Apa ini, Mom?" Elara mengambil dokumen tersebut. Firasatnya sudah tidak enak bahkan sebelum membuka dokumen tersebut.  "Cerai?"  Dengan tangan gemetar, kedua mata Elara mulai basah. Dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan surat cerai di ulang tahun pernikahannya yang ke 3.  "Ya. Wanita mandul sepertimu tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kami. Kalau saja kau bisa memberiku cucu, mungkin aku bisa pertimbangan keberadaanmu di sisi Dante." Perkataan sang mertua benar-benar menyakitkan. Padahal selama ini Elara sudah melakukan pemeriksaan ke dokter dan dokter bilang semua normal. Tidak ada yang salah dari dirinya. Bahkan rahimnya sangat sehat dan siap melakukan pembuahan kapan saja. "Tapi pernikahan kami baik-baik saja, Mom. Dante tidak pernah membahas masalah ini." "Ya memang, itu karena dia kasihan denganmu. Sebenarnya dia sangat menyesal sudah menikah dengan wanita mandul sepertimu. Kau memang tidak pernah pantas menjadi menantu di keluarga Alesandro. Sejak awal kami memang tidak pernah mau menerimamu sebagai menantu kami. Entah apa yang sudah kau lakukan hingga putra kami jatuh cinta kepadamu dan bersih keras untuk menikahimu!"  "Mom-" "Jangan panggil aku mommy! Mulai detik ini kau bukan lagi menantuku. Kau dan putraku sudah berakhir." "Enggak! Elara gak mau tanda tangan. Elara harus bertemu dengan Dante." "Putraku tidak mau bertemu denganmu lagi. Dia sudah kecewa denganmu, Elara. Sadarlah. Sampai kapanpun, wanita miskin sepertimu tidak akan pernah layak ada di dalam keluarga kami!"  Ny. Alesandro memandang sekeliling rumah yang kini ada dihadapannya. Kedua tangannya terlipat di depan d**a. "Satu lagi, setelah cerai kau tidak akan mendapat sepeserpun harta putraku. Jadi, jangan pernah bermimpi jika setelah cerai dari putraku kau akan menjadi janda kaya." Elara hanya bisa menunduk. Rasa sakit di hatinya sungguh luar biasa hingga dia tidak tahu lagi harus berbicara apa. Selama ini ia cukup sabar mendengar cacian dan hinaan dari keluarga suaminya. Tapi malam ini, memang sungguh keterlaluan. Elara juga tidak siap mempertahankan pernikahannya lagi. "Baiklah, nyonya. Kalau memang perceraian ini yang nyonya inginkan. Saya rela berpisah dari putra Anda. Tapi satu hal yang harus Anda ingat. Sekali saya pergi, saya tidak akan pernah mau kembali lagi." Ny. Alesandro menyunggingkan senyuman tipis. "Percaya diri sekali kau, Elara. Kami orang terkaya di kota ini. Sedangkan kau, siapa? Kau hanya wanita miskin yang tidak memiliki apa-apa. Ibarat gembel yang berubah menjadi Nona muda setelah bertemu dengan putra saya. Seharusnya pesan itu saya sampaikan kepadamu lebih dulu. Jangan pernah temui putra saya, sesusah apapun hidupmu di luar sana. Karena hubungan kalian telah selesai." Elara berusaha tegar. Walau tangannya masih gemetar memegang pena untuk tanda tangan. Tapi ia berusaha tegar. Tanda tangan sang suami yang sudah ada di kertas tersebut menambah kekecewaan di dalam hatinya. Rasa menyesal itupun timbul. "Aku memang bodoh. Seharusnya aku sadar, kalau pada akhirnya hidupku akan seperti ini. Kalau saja dulu aku tidak menerima lamaran Dante, mungkin kesulitan ini tidak pernah aku alami. Mungkin, memang ini takdir terbaik untuk hidupku. Selamat tinggal Dante. Aku akan pergi membawa luka yang sudah diberikan keluargamu kepadaku. Jangan salahkan aku jika nanti aku akan memandangmu sebagai orang yang paling aku benci di dunia ini." Goresan tanda tangan di atas kertas putih mengakhiri semuanya. Ny. Alesandro yang masih berdiri di sana tersenyum bahagia. Memang momen seperti ini yang ia harapkan sejak putranya menikah. Ny. Alesandro hanya mau putranya menikah dengan wanita kaya yang berkelas dengan mereka.  "Baik. Urusan di antara kita sudah selesai." Ny. Alesandro mengambil surat cerai di atas meja. Ia membuka tasnya dan mengambil beberapa lembar uang dari dompet. Dengan sombong dan wajah angkuhnya ia melempat lembaran uang itu di depan Elara. "Anggap saja sebagai sumbangan dari kami. Segera pergi dari rumah putraku. Bila perlu tinggalkan kota ini. Karena … jika bertemu di jalan, kami hanya akan menganggapmu sebagai pengemis yang pernah bekerja di rumah kami. Ya, ibarat mantan pembantu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD