Memilih Jalan pergi

1140 Words
Alara dikurung di dalam kamar, kondisinya pun sangat memprihatikan, dengan cetakan hitam di sekitar matanya, bibir pucat dan rambut tercerai berai berantakan dan lusuh. Tubuh kurusnya terlihat kering tak terawat, sebab selama tiga hari itu juga dia tidak mandi untuk merawat tubuhnya. Setiap hari Alara hanya diberi makan lewat pintu yang terbuka terbuka sedikit, itu pun langsung ditutup lagi saat ia akan mencoba keluar. Alara dijauhkan dari keramaian, karena dia terus memberontak, menolak ingin cerai. Bahkan dengan liciknya, Angkasa membawa Yara ke rumah Karina, tidak diizinkan bertemu dengannya sama sekali beberapa hari ini. Duduk di depan jendela yang dilapisi ukiran teralis, Alara melihat ke luar dengan tatapan kosong, cuaca yang sebelumnya terik berubah gelap, angin bertiup kencang. Angkasa yang dalam sekejap, telah menghancurkan hidup dan mimpinya seperti ini. *** Sedangkan di tempat berbeda, Hari ini adalah hari pernikahan Angkasa dan Gani. Acara pun digelar sangat meriah mengundang teman-teman mereka dari kedua belah pihak. "Aku nggak melihat istri pertamamu, hari ini? Bukannya dia seharusnya datang dalam momen penting begini?" tanya Ferdy Josi teman Angkasa. "Mana mungkin dia mau datang? Istri pertama Angkasa itu sangat sibuk dengan urusannya sendiri, mungkin sekarang bersama orang lain. Dia nggak peduli, mau kami menikah atau tidak," jawab Gani enteng. "Lihat saja mama, bahkan dia harus menjaga Yara, karena Alara sangat tidak bertanggung jawab jadi ibu." Angkasa hanya tersenyum sedikit di samping Gani. Mereka melihat Karina yang sibuk menyuapi Yara yang sedang rewel. "Kasihan banget, Yara," ucap Ferdy paham. "Oh iya, perkenalkan, aku datang bersama Pak Rega Direktur Cristal cosmetic. Dia baru saja kembali dari Singapura, siapa tahu setelah ini, dia mau berinvestasi ke perusahaanmu." Laki-laki berperawakan tinggi, rambut belah pinggir memakai kemeja biru dan jas hitam naik, menjabat tangan Angkasa. "Selamat atas pernikahan kalian," ucapnya. "Terima kasih." Angkasa membalas menjabat tangan. Namun sayang, belum juga banyak bicara, Rega pamit pergi karena ada pertemuan dengan klien di ruang gedung yang lain. Ferdy sebelum temannya itu turun dari pelaminan. "Yara ini rewel banget jadi anak kecil, mama sampai nggak sanggup jagain dia tiga hari ini. Waktu mama banyak terbuang gara-gara jaga dia," kesal Karina setelah putus asa tidak bisa membuat Yara diam di resepsi pernikahan. Dia dari tadi terus memarahi pengasuh baru Yara, karena dianggap tidak bisa mengasuh Yara. Karina kembali ke atas pelaminan dengan perasaan kesal. "Ma, lebih baik Yara dibawa pergi dari sini saja, dia sangat mengganggu kita," ucap Gania. Bahkan orang tua Gania pun menyarankan hal yang sama. Akhirnya Yara dan pengasuhnya pergi dari sana. "Kenapa kamu dari tadi banyak melamun?" Gania menyenggol lengan Angkasa dengan sikunya. "Apa lagi memikirkan Alara? Apa kamu nggak bahagia kita menikah?" Pangestu—papa Gania begitu mendengar ucapan putrinya langsung menoleh. Angkasa langsung menyadari dan melihat raut wajah Gani yang cemburu, membuat khawatir. "Ah, mana mungkin? Apa wajahku terlihat nggak bahagia? Setelah ini kita bisa hidup bersama, Gania." Gania tersipu malu saat Angkasa menatapnya. Tamu-tamu penting kenalan kedua belah pihak telah datang memberi ucapan selamat. Momen yang paling ditunggu oleh calon pengantin telah tiba. After Party. Aktivitas menjadi puncak penutup dari pesta pernikahan dimana momen ini jadikan sebagai penyambung waktu, mereka membaur satu dengan yang lain dan menikmati pesta yang menyenangkan. "Finally, yee!" teriak Gani yang sudah mengganti gaun dengan mengenakan mini dress putih dengan detail brokat dan payet yang menonjolkan siluet tubuhnya mengangkat gelas paling tinggi. Duduk di pangkuan Angkasa yang mengenakan kemeja putih lengan panjang yang dipadukan dengan vest dan celana bahan hitam. Mereka terlihat sangat serasi, hingga rona kebahagiaan terpancar di dalam ruangan gedung ini. DJ menaikkan volume lagu, para tamu berjoget ditemani dengan minuman yang membuat badan semakin lincah bergoyang. Gani selaku pengantin perempuan pun semakin bergerak liar mencium Angkasa, saat mendengar seruan orang di sekelilingnya. "Kamu pasti nggak pernah merasakan sensasi pernikahan seperti ini, saat menikah dengan Alara dulu?" Entah itu sebagai sindiran atau pertanyaan. Angkasa hanya terkekeh menjawabnya. "Impianku adalah kamu, Angkasa, maka saat kita menikah, aku merasa kehidupanku sangat sempurna." Mereka mengubah posisi menjadi berdiri, Gani berlenggak lenggok, di depan Angkasa dengan posisi memunggunginya. "Jangan memancingku, Sayang, party belum selesai," bisik Angkasa di dekat telinga perempuan yang sudah menjadi istri keduanya itu. "Aku suka banget menggodamu." Gani tersenyum kemudian. "Dasar nakal." Angkasa melingkarkan kedua tangan ke perut ramping Gania. Suasana pun semakin tak terkendali, di bawah lampu menyala remang, baik tamu mau pun kedua mempelai sangat menikmati party malam ini. Mereka melanjutkan berjoget hingga satu jam setengah lamanya. Angkasa mengangkat tubuh Gania, tatapan. teriakan kembali orang-orang kembali berseru, musik tak terdengar lagi. Sepasang pengantin itu berjalan menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. "Kamu dari tadi terus menggodaku, apa sekarang aku harus menghukummu?" Angkasa membanting tubuh Gania ke atas ranjang besar yang bertaburan kelopak bunga mawar. Dia sudah tidak sabar, sebab malam ini adalah momentum yang mereka tunggu-tunggu sejak empat tahun lalu. Angkasa tiba-tiba mengingat, dulu ketika malam pengantin dengan Alara, mereka hanya menempati kamar kontrakan sempit di daerah Surabaya barat. Sangat berbeda dengan kamar ini, tipe Suite Room, ukuran luas 80 meter persegi dengan fasilitas sangat mewah. Bahkan di dalam sana tersedia mini pantry atau dapur pribadi layaknya kamar apartemen. Perbedaan yang kontras, sekarang Angkasa membeli apa pun yang dia inginkan. Termasuk menikahi Gani yang notabenenya terlahir dari keluarga kaya. Kini dalam kamar itu, keduanya tengah beradu panas, saling menikmati. Tiba-tiba ponsel Angkasa di atas meja terus berdering. Terlihat nama dari notifikasi tersebut, adalah sang mama. Angkasa mendesah kesal, sabab Karina telah mengganggu malam indahnya. Ia duduk di sofa kemudian menjawab telepon. "Angkasa, Arun, asisten rumah tangga di tempat kamu tadi telepon mama, karena mau menelepon kamu tidak tahu nomornya." Satu alis Angkasa terangkat. "Telepon? Ada apa?" tanyanya. Gania yang berada di belakangnya itu pun ikut penasaran. "Dia bilang, Alara kabur dari kamarnya. Angkasa, sepertinya ada orang yang membantu istri miskinmu itu." "Kabur?!" Angkasa langsung berjingat. "Bagaimana dia bisa kabur? Bahkan aku sudah pesan untuk tidak membuka pintu seizin ku." "Mama tidak tahu. Sudah biarkan saja kalau dia mau pergi, kita lihat saja dia mau jadi apa dia? Paling jadi peminta minta di panggir jalanan. Kamu fokus saja dengan Gania, kasihan dia kalau harus terganggu." Angkasa menutup teleponnya. Beranjak memakai lagi kemejanya yang tadi sudah dia lepas. "Ada apa, Sayang? Apa Alara buat ulah lagi?" tanyanya. "Dia kabur dari rumah, asisten rumah tangga itu memang benar-benar ceroboh!" "Sekarang kamu mau ke mana?" "Aku mau pulang, mencarinya." "Tapi kan, ini malam spesial kita, Angkasa. Masa kamu mau melewatkan begitu saja!" "Kita bisa melakukan kapan saja, Gani, kita sudah sah menjadi sepasang suami istri. Mohon mengerti, sekarang aku harus mencarinya." Angkasa segera bergegas pergi dari kamar. Gani berdecak kesal. Sebab perhatian Angkasa berubah tertuju pada Alara. Padahal mereka sedang menghabiskan malam panas. Seharusnya tidak ada yang mengganggu. Berbalutkan selimut, Gani merangkak mengambil handphone-nya. Ia menelepon Arun, asisten rumah tangga di rumah Angkasa. "Dasar bego! Aku menyuruhmu bawa Alara keluar lalu membawa ke resepsi pernikahan kami. Bukan membawanya kabur, lalu mengacaukan malamku dengan Angkasa!" amuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD