Kasih Sayang Papa

1669 Words
Beberapa jam yang lalu. “Bu Alara, non Yara terjatuh dari ketinggian, sekarang dia sedang menangis tidak berhenti di hotel,” ucap Arun panik. “Kalau begitu antarkan aku ke sana. Semoga Yara tidak apa-apa.” Ibu mana yang akan diam saja saat mendengar anaknya sedang terluka, walau keadaannya sendiri lemah, tenaga Alara langsung pulih tak terasa sakit. Alara dibawa Arun bergegas ke hotel. Di sana mereka masuk ke area pernikahan. Dadanya Alara terasa sangat sakit melihat Angkasa dan Gani dari kejauhan, mereka saling melempar senyum sangat bahagia. Bahkan tangan mereka tidak lepas sama sekali. Posisi Angkasa sama persis seperti tiga tahun silam, saat menikah dengan Alara. Dia tersenyum bahagia, tapi siapa sangka kalau semua itu hanya palsu belaka? “Yara sedang digendong pengasuhnya, tidak menangis.” Alara mengernyitkan dahi saat melihat keadaan baik-baik saja, tidak seburuk yang dibilang Arun. Alara menoleh, Arun tersenyum sinis di sampingnya. “Kamu ikut kami, atas izin siapa kamu masuk ke sini, dasar gelandangan!” Dua orang penjaga mencekal kedua tangan Alara. “Bawa dia, Pak, sepertinya dia penyusup,” ucap Arun di belakang mereka. “Arun kenapa kamu seperti itu? Pak, saya datang bersama dia.” Suara Alara tidak diindahkan. Secara kebetulan Karin lewat di depan mereka. "Pak, itu ibu mertua saya!" Karin langsung menoleh, terkejut melihat Alara ada di sana. "Kamu mau apa ke sini? mau mengacaukan pernikahan anak saya?" "Ma, tolong bilang pada mereka, kalau aku adalah bagian dari keluarga kalian." Tapi ibu mertua Alara justru membuang muka. "Bawa dia pergi dari sini Pak, dia bukan anggota kaluarga atau pun tamu." Karina dengan sombong pergi. Alara ditarik keluar oleh dua scurity berbadan besar itu. Dengan penampilannya yang lusuh dan kucel tentu saja mereka menganggap Alara adalah orang yang tidak beres. Orang-orang di sekitar pun melihatnya dengan tatapan jijik. “Ayo ikut dengan kami!” Bahkan kaki Alara sangat berat melangkah maju, ia memilih terus diseret menjauh dari tempat terkutuk itu. “Bersabarlah Yara, mama pasti akan menjemputmu. Kita memang bukan sedarah, tapi ikatan di antara kita sangat kuat. Mama pasti akan menjemputmu, Sayang,” batinnya. Alara dibawa ke pos security, di sana dia duduk diinterogasi tentang asal usulnya. “Tolong pinjamkan saya telepon. Saya ingin menelepon orang yang begitu penting,” pinta Alara memohon. “Alasan apa ini? Kamu mau pura-pura pinjam telepon lalu membawanya kabur? Saya sudah tau trik orang seperti kamu,” ucap security satunya. “Bapak bisa pegang omongan saya, kalau saya tidak akan melakukan itu.” Alara memohon dengan mata berkaca-kaca. Beruntung security kedua baik hati itu berabaik hati. Dia memberikan handphonenya pada Alara. “Telepon saja di sini, jangan lama-lama.” Alara langsung menelepon orang yang selama ini paling dekat dengannya, Wira. Sebelum Arun datang, masuk ke dalam pos dia harus bergegas pergi. “Sudah kubilang, kalau dia itu bohong? Orang seperti dia siapa yang ditelepon?” ucap security satu. Security yang baik pun mulai meragukan Alara, saat tak kunjung ada orang yang datang. “Lebih baik kita serahkan saja dia ke kantor polisi.” Alara menggeleng. “Jangan, Pak.” “Halah, biar aku saja yang membawa dia.” Menarik tangan Alara akan membawanya pergi. Saat keluar pos security sebuah mobil Alphard warna hitam legam berhenti di depan mereka. Alara tersenyum melepaskan tangannya dari cekalan satpam bengis itu tapi tidak bisa. Wira turun dari pintu tengah, mengenakan kemeja yang dibalut dengan jas abu-abu, kaca mata hitam bertengger di atas hidungnya. “LEPASKAN ADIK SAYA!” bentaknya membuat security gelagapan takut. Melapangkan Alara. “Ba-baik Tuan.” .... Sekarang Alara merasa aman di dalam mobil mewah bersama Wira. Di kursi tengah, Wira terkekeh sambil menyeringai, melihat betapa memprihatinkan kondisi Alara saat ini. “Tiga tahun lalu, aku sudah memperingatkan. Tapi... apa? Kamu selalu saja ngeyel. Sekarang makan itu cinta,” ucapnya. “Aku lagi berduka, nggak seharusnya kamu mengejekku seperti itu, Abang!” “Kamu rencananya mau ke mana malam ini?” “Aku butuh penginapan sekarang, nggak mungkin kembali ke rumah yang sekarang berubah jadi neraka itu!” “Itulah akibatnya kalau menentang orang tua, beruntung aku tinggal di daerah sini, memantau kamu,” ejek Wira. “Pak, jalankan mobil ke Bandara Juanda!” “Baik Tuan.” Alara langsung menoleh dan menggeleng. “Tidak, aku tidak mau pulang ke rumah. Setelah hampir empat tahun pergi, semua pasti terasa canggung, papa tidak akan menerimaku, beliau pasti marah.” “Kamu belum mencobanya, kenapa sudah berputus asa, Alara? Apa salahnya mencoba meminta maaf, papa kangen banget sama kamu selama ini, gadis manja keluarga Bagaskara. Semenjak kamu pergi, rumah itu terasa sangat sepi, tidak ada merengek-rengekkan yang meminta sesuatu.” Alara teringat dengan kejadian empat tahun lalu, dia adalah gadis manja yang selalu meminta apa pun harus dituruti, kesalahan besar telah dilakukan, mempermalukan papanya di depan umum, karena ia kabur dari perjodohan dengan keluarga Fahreza. Kabarnya keluarga Fahreza tidak terima menarik sahamnya dari ALBA Grub hingga sempat membuat perusahaan Bagaskata goyah. Setelah kejadian itu, Bagaskara marah besar membiarkan Alara hidup semaunya di panti asuhan di kota Surabaya. Sekarang dengan tidak tahu malunya, Alara kembali ke rumah setelah merasa hancur? Alara menolak kembali pulang ke Jakarta, tapi, Wira memaksa. Setelah melakukan perjalanan dengan pesawat selama 1 jam 35 menit. Akhirnya Alara tiba di rumah besar berpagar hitam tinggi menjulang yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Langsung masuk kamar sang papa dan akan meminta maaf padanya. Ternyata Bagaskara sedang terbaring sakit dengan bibir pucat. Pria rambut beruban, memakai piyama tersenyum padanya. “Alara?” Seperti tidak percaya melihat putri kesayangannya berada di depannya. Bahkan menganggap hanya mimpi. “Kamu anakku?” Ares Bagaskara hampir tidak percaya melihat putrinya. Selain perseteruan di antara keduanya, juga kondisi fisik Alara yang sangat berbeda jauh dari saat keluar dari rumah dengan sekarang. “Laki-laki mana yang membuatmu berubah menjadi seperti ini, Alara?” “Maafkan Alara, Papa.” Bagaskara langsung memeluk erat putrinya sambil menangis. Dia tidak menyangka anak perempuan satu-satunya yang amat disayangi menjadi kurus dan tidak terawat seperti ini. Terbesit rasa bersalah di benak Bagaskara melihat kondisi sang anak seperti ini. Terus memeluk tak bisa berkata-kata lagi. “Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu datang juga, Alara. Papa sengaja membiarkan kamu menentukan jalan hidupmu sendiri, papa anggap kamu lagi proses belajar di luaran sana, dan suatu saat pasti kembali lagi ke sini. Kamu hebat Alara, selama empat tahun ini, sama sekali tidak menemui dan meminta bantuan ke papa, kamu mampu hidup mandiri.” “Alara minta maaf. Alara salah selama ini, kupikir Alara bisa hidup seperti apa yang Alara inginkan, tapi ternyata nggak, Papa. Alara butuh papa.” Alara memeluk Bagaskara erat sambil menangis. Segala tangis yang sebelumnya dia tahan kini tumpah dalam dekapan sang papa. “Papa mau, kan, memaafkan Alara?” Papa terkekeh menoyor kepala Alara. “Anak bodoh, apa kamu pikir papa selama ini marah padamu?” *** Kembalinya Alara setelah empat tahun, membawa kebahagiaan sendiri bagi keluarga Bagaskara. Mereka melanjutkan hidup dengan normal. Alara merawat Bagaskara yang sudah sakit-sakitan di rumah, sedangkan Wira fokus pada PT. Alba Grub yang setelah ditinggal Bagaskara sakit mengalami penurunan. Menangani perusahaan seorang diri membuat Wira kualahan hingga bekerja tidak maksimal. Alara setiap hari mendengar keluhan-keluhan Wira pada papannya, merasa kasihan. Di depan mereka berdua Alara memberanikan diri. “Papa Alara mau ikut terjun ke perusahaan. Biar Alara bisa membantu Abang Wira, bagaimana pun bangkitnya Alba adalah bangkitnya kita semua. Beri Alara kepercayaan, jadi apa pun keinginan papa.” Bagaskara dan Wira yang mendengar langsung tersenyum sumringah mendengar keinginannya “Ucapan itu keluar dari bibir anak perempuanku?” “Alara kamu beneran mau turun ke perusahaan?” semua orang tidak percaya mendengar ini. Sebab selama ini Alara sama sekali tidak berniat terjun ke dunia bisnis sang papa, Alara hanya suka menghambur-hamburkan uang tanpa tahu bagaimana proses mencarinya. “Tentu saja Papa senang banget kalau kamu mau gabung, Alara.” Mereka menyambut hangat keinginan Alara. Bahkan Bagaskara sampai mengucap syukur. “Begini saja, Wira, kita tempatkan saja Alara menjadi CEO Alba Pictures. Tapi, lumayan berat Alara, karena perusahaan kita yang itu mengalami penurunan sejak dua tahun yang lalu,” ucap Bagaskara. “Justru ini adalah kesempatan bagus buat Alara, Papa, untuk membuktikan kepada papa dan semua orang, kalau Alara bisa membangun Alba Pictures menjadi rumah produksi film nomor satu,” ucap Wira mendukung. Bagaskara mengangguk angguk setuju. “Papa yakin kamu bisa jadi orang yang bisa diandalkan, membangun nama perusahaan Alba, papa percayakan untukmu, Sayang.” ... Kesepakatan pengesahkan jabatan tahunan Alba Pictures diumumkan di depan para jajaran penting di perusahaan. Alara langsung menduduki kursinya menjadi Direktur, satu tingkat di bawah Komisaris Direktur yang di duduki Wira. Alara memulai mencari-cari informasi perkembangan Alba selama ini, mengumpulkan berbagai staf dan manager untuk mengetahui rekap tahunan. Di hari pertamanya bekerja, Alara harus memperkenalkan diri pada para jajaran Direksi ALBA Grub, pertemuan kali ini diadakan di hotel bintang lima secara formal. Karena sibuk memeriksa data-data di kantor, Alara sampai telat jalan buru-buru melewati loby, Wira dari tadi tak henti menelepon sebab semua orang sudah menunggunya. “Sebentar lagi aku sudah mau sampai, Abang, tunggu saja di sana, di meeting room, kan?” “Cepat sedikit, mereka sudah lama menunggu.” Alara turun dari lift tanya pada salah satu pegawai hotel yang kebetulan lewat. Laki-laki kurus itu menunjuk kamar sebelah kanan. Alara langsung bergegas ke sana, membuka pintu coklat yang terbuka sedikit. Mata Alara kala melihat pemandangan langka di depannya, dia bengong berdiri sambil memegang gagang pintu. “Sayang kemarilah, Sayang... aku mencintaimu.” Dua orang pria muda tengah bermesraan, adalah Rega Fahreza dan sekertarisnya, Arhan. Rega mencoba menjauh, tapi sekertarisnya yang sedang mabuk itu terus mengejarnya. Arhan baru saja putus cinta dengan kekasihnya, hingga melampiaskan dengan minum-minum hingga mabuk, tapi siapa kira, saat Rega menghampiri, justru dia dianggap kekasihnya. Rega menendang perut Arhan hingga jatuh terlentang di lantai. Saat itu juga dia baru menyadari kalau Alara tengah melihatnya. “Jadi gosip yang kudengar tentang kalian empat tahun lalu benar?” Alara menutup mulutnya syok. “Heh, jangan salah paham. Ini tidak seperti yang kamu lihat!” Alara langsung menutup pintu, meninggalkan mereka berdua sambil bergidik ngeri, merasa geli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD