Alara tertegun tangannya gemetar, rasa sakit di ulu hatinya tidak seberat dibanding luka yang ditusukkan Angkasa dalam hatinya.
Setetes pun air mata tak keluar dari matanya, tatapannya berubah tajam. Dalam sekejap dia sudah tahu semua.
Ternyata benar dugaannya selama beberapa bulan terakhir ini, kalau mereka memiliki hubungan dekat lebih dari sekedar teman.
"Bukankah kamu sedang sakit, Alara? Seharusnya kamu istirahat di rumah, dan malam ini juga hari anniversary pernikahan kita, seharusnya—"
“Apa penting, merayakan perayaan pernikahan yang dibangun dengan landasan kebohongan?! Oh ya, mungkin bukan perayaan pernikahan kita, tapi pesta kemenangan kalian, karena sudah berhasil menjadikanku perempuan paling bodoh di dunia ini!”
Angkasa mendekati Alara. “Tenang dulu, Alara. Kamu lagi sakit. Semua ini bisa dijelaskan. Aku akan bilang ke kamu saat di rumah, oke?" bujuk Angkasa.
Tapi Gania cepat menarik lengan Angkasa, dia tak rela kalau Angkasa membujuk Alara.
"Kamu harus istirahat, Ra."
“Peduli kamu, Mas, mau aku sakit atau mati sekali pun!”
Angkasa meremas rambutnya sendiri, mendesah putus asa. Dia tahu tahu harus menjelaskan dari mana.
“Mama Karina harus tahu, perbuatan kalian. Selama ini aku sudah curiga, tapi tidak tahu malunya, kalian terus mengelak, kalian mengatakan kedekatan di antara kalian adalah hal yang wajar, karena berteman sejak kecil, Bullshit!” Alara menatap tajam mereka berdua, sambil berlalu pergi keluar butik.
Angkasa ingin mengejar Alara langsung dihalangi oleh Gania.
"Biarkan saja dia, lambat laun juga dia paham tentang hubungan kita. Selama ini aku sudah sangat mengerti, jadi sekarang giliran dia, yang mengerti kalau kita adalah dua orang yang saling mencintai," ucap Gania menggenggam tangan Angkasa erat.
Angkasa menurut, dia hanya berdiri di dalam butik sambil melihat Alara dari kejauhan.
Gania mengambil handphone dari dalam tas, menelpon seseorang dan membicarakan nama Alara sambil tersenyum tipis.
***
Alara langsung berlari masuk ke dalam mobil taxi online yang menunggu, di dalamnya ada Yara sedang terlelap tidur.
Dia akan mengadukan perbuatan Angkasa pada ibu mertuanya, supaya bisa membantunya memberi solusi, apa yang harus Alara lakukan setelah ini.
Selama ini Alara cukup dekat dengan ibu mertuanya, bahkan semenjak menikah dengan Angkasa, Alara menemukan sesosok ibu kandungnya yang sudah tiada, ada pada diri Karina.
“Pak anterin aku ke jalan Darmo.”
“Baik Bu.”
Alara menggendong Yara turun dari mobil saat sudah sampai di depan rumah ibu mertuanya. Sebenarnya rumahnya dengan rumah ini hanya jarak lima rumah saja dengan rumahnya.
Begitu sampai Alara langsung dipersilahkan masuk oleh asisten rumah tangga Karina masuk.
Kebetulan Karina baru saja selesai menelepon, duduk menemui Alara seperti selayaknya seorang tamu. Alara meletakkan Yara ke atas sofa kemudian langsung memeluk Karina.
“Mama, kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Ma. Mas Angkasa sama mbak Gani, memang punya hubungan spesial, bahkan tadi aku melihat mereka sedang fitting baju pernikahan."
"Yang benar kamu, Alara? Ah mungkin salah paham."
"Mama harus percaya sama aku, kalau Mas Angkasa sama Mbak Gani memang punya hubungan spesial, ternyata mereka bukan hanya teman masa kecil, tapi juga sepasang kekasih… rasanya sakit banget, Ma… dibohongi begini.” Alara meraung di dalam pelukan ibu mertua yang sudah dia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri itu.
Karina tertegun, tidak sama sekali menyambut pelukan Alara. Dia selama ini memang tidak menyukai pilihan Angkasa yang menikahi Alara.
Tapi demi Yara dan Angkasa, Karina berpura-pura menerima keberadaan Alara.
“Mama selalu tanya, kapan aku hamil, kan? Mama harus tahu kalau Mas Angkasa terang-terangan selama ini memberiku pil kb, dia bilang itu vitamin, Ma. Dan itu menjadi salah satu penyebab aku tidak bisa hamil selama ini.”
Lama tidak ada sambutan, tingkah Karina juga semakin kaku membuat Alara heran.
“Lebih baik memang kamu tidak hamil dan fokus mengasuh Yara, dia masih kecil. Belum siap kalau harus punya adik." Karina menjauhkan tubuh dari pelukan Alara.
“Tapi, Ma, aku juga ingin tahu rasanya mengandung dan melahirkan—”
“Sudahlah, Alara, apa yang sudah diatur Angkasa itu sudah yang terbaik. Jadi kamu tinggal jalani saja! Lagian saya tidak mau punya cucu yang terlahir dari Rahim anak haram yang dibesarkan di panti asuhan sepertimu.”
Alara menatap Karina heran dengan satu alis terangkat. “Maksudnya, mama sudah tahu tentang semuanya?”
“Ya, aku tahu semua. Dan Perempuan seperti kamu sama sekali bukan pilihanku dan Angkasa, kami menerimamu karena terpaksa untuk menutupi aib Gani dan Angkasa.”
Tubuh Alara rasanya lemas mengetahui ini. Ternyata bukan hanya Angkasa saja yang menyimpan kebohongan, ternyata ibu mertuanya juga ikut andil.
"Sudah kamu terima nasib saja, jadi istri pertama Angkasa. Sebentar lagi mereka akan menikah, Angkasa juga tidak akan melupakan kamu begitu saja."
"Mama ini seorang perempuan, sebenarnya punya perasaan atau nggak? Kenapa begitu tega mengatakan hal demikian, tanpa rasa kasihan! Selama ini aku selalu menghormati kalian. Bahkan aku tidak memikirkan diriku sendiri, hanya untuk memperdulikan kalian. Tapi balasan kalian seperti ini sekarang?"
"Sekarang kamu mau apa? Kenyataan Angkasa dan Gani memang sudah menjalin hubungan semenjak belum ada kamu yang tergila-gila sama anak saya," ucap Karina ketus.
"Yang kamu butuhkan itu cuma uang, Alara, tidak masalah kalau Gani masuk ke dalam rumah itu, lagi pula itu adalah seharusnya haknya, saya dan Angkasa sudah bertemu orang tuanya, kami sudah melamar dan sebentar lagi akan acara pernikahan secara besar-besaran, sebagai orang spesial di hati Angkasa, saya tidak akan ragu mengeluarkan uang. Sekarang yang penting, kamu dapat uang bulanan lancar, semua beres, bukan? Ya, dari pada memilih pisah, lalu kamu kembali ke panti asuhan, kasian pak Harto sudah tua, beliau sudah tidak akan sanggup membiayai kehidupan kamu lagi."
Dengan enteng Karina mengatakan demikian.Dia tidak tahu perasaan Alara yang sebenarnya. Mereka semua bersekongkol mengkhianati Alara.
Alara mengepalkan tangan sambil menggertakkan gigi. Mengangkat Yara putri kecilnya yang sedang terlelap tidur.
Padahal kondisi Alara sedang lemah, dengan nyeri di daerah ulu hatinya, tapi dia memaksa menggendong Yara ke mana pun.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumahnya, Alara menunduk sambil berjalan cepat, bahkan tidak membalas sapaan para tetangganya.
Hancurnya perasaan Alara tidak bisa digambarkan dengan apa pun. Kecewa, marah dan terluka semua bercampur jadi satu setelah kembali dari rumah ibu mertuanya.
Alara mengusap-usap pipi Yara yang sedang tidur di atas ranjang kamarnya. "Yara, maafkan mama, karena semua tak sesuai apa yang mama pikirkan. Aku pikir, setiap bisnis Mas Angkasa naik, kita akan hidup bahagia, tapi ternyata salah."
Pukul 01: 00 Seina belum bisa tidur.
Bahkan hampir pagi, Angkasa tidak pulang ke rumah walau sekedar berusaha menjelaskan pada Alara.
Tidak seharusnya lelaki itu bersikap seperti itu, sebab ada banyak hal yang harus dijelaskan.
...
Di tempat lain, Angkasa menemani Gania tidur di sampingnya sambil mengusap-usap rambut panjang perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istri keduanya itu.
"Jadi, kamu mencegahku pulang hanya karena seperti ini?" Angkasa tersenyum, tidak keberatan sama sekali.
"Iya kapala aku sakit banget, masa kamu tega meninggalkan begitu saja?" rengek Gania.
Tadi saat keluar dari butik, tiba-tiba Gani mengeluh kepalanya pusing. Dia tidak mengizinkan Angkasa pulang ke rumah, dan meminta untuk menemaninya karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Entah kenapa di dalam hati Angkasa seperti ada yang kurang, meski dia bersama Gani. Dia memang mencintai Gani, tapi saat berjauhan dengan Alara. Angkasa merasakan kosong.