“Ini saya bawa vitamin yang kita bicarakan kemarin, Dok.” Sambil memangku putrinya.
Setelah diperiksa Alara perempuan berusia dua puluh lima tahun, rambut hitam di kuncir di belakang, memakai sweater sambil mendekap putri angkatnya berusia tiga tahun.
Ia memberikan botol kaca berwarna coklat bening tanpa merk pada Dokter Freya yang sudah dua kali dia temui.
“Saya lihat dulu, tidak ada mereknya, ya? Ini kamu beli di mana, Al?” tanya Dokter.
“Nggak tahu, Dok, biasa suami saya yang beli selama ini.”
“Oh oke….” Dokter langsung mengeluarkan isinya. Keningnya langsung mengerut memperhatikan baik-baik.
“Kamu yakin ini vitamin yang diberikan suami kamu? Tidak salah ambil?” selidik Dokter seperti mengintrogasi.
Alara menggeleng. Dia merasa hanya memiliki satu botol obat itu, tidak mungkin jika salah ambil. “Memangnya kenapa, Dok?” Melihat raut wajah Dokter, Alara jadi takut sendiri.
“Sudah berapa tahun kalian menikah?”
“Jalan tiga tahun dan tahun ini menginjak empat tahun, Dokter.”
“Dan ini anak kalian? Tidak apa kalau begitu, mungkin suami kamu belum siap punya anak kedua.”
“Kami belum punya anak, Dok. Yara ini, dia anak yang kami asuh dari yayasan panti asuhan sejak bayi.”
“Oh….” Dokter Freya manggut-manggut melihat ragu. “Jadi begini, Alara, ini sebenarnya adalah pil kontrasepsi, kamu tau, alat pencegah kehamilan kan? Kamu salah meminum obat selama ini.” Dokter menunjukkan pil berwarna merah muda, membandingkan dengan kemasan aslinya.
“Perhatikan, mirip, bukan?”
Benar sangat mirip, Dokter juga paham jenis obat apa yang di tangannya sekarang.
“Jadi selama ini aku minum pil kontrasepsi, Dok?”
“Iya Alara.”
“Terima kasih, Dok.”
Alara menarik kedua sudut bibirnya tersenyum buru-buru keluar dari ruangan Dokter.
Setelah itu menelepon Angkasa.
Ia merasa pasti Dokter yang salah, dan suaminya tidak akan salah. Karena selama ini mereka selalu menginginkan seorang anak.
Alara menyembunyikan rasa sakit yang menjalar di sekitar ulu hatinya.
Beberapa jam yang lalu, Alara meminta Angkasa—sang suami untuk pulang, ia ingin diantar ke Dokter untuk memeriksakan keadaannya.
Tapi lagi-lagi masalah pekerjaan menjadi kendala.
"Sudah ku transfer uang ke rekeningmu, kamu bisa memakainya pergi ke Dokter. Jangan ganggu aku dulu, karena masih banyak pekerja." Hal yang dikatakan di telepon terakhirnya tadi.
Angkasa setahun belakangan ini sangat sibuk, sebab membangun perusahaannya yang semakin maju.
Perusahaan Angkasa baru saja berdiri setelah menikah dengan Alara, oleh sebab itu hal yang wajar kalau suami Alara akhir-akhir ini jarang pulang. Sebab mempertahankan di posisi sekarang tidak mudah, butuh waktu tiga tahun untuk merintis semua. Alasan selama ini ikut andil di balik kesuksesan Angkasa. Selain menemani suaminya dari nol, ia juga secara sembunyi-sembunyi menggunakan relasinya untuk membantu Angkasa. Hingga kini Angkasa menjadi laki-laki yang sukses.
Alara sekarang ada di apotek, ruang tunggu. Wajahnya pucat, keringat dingin keluar dari tubuhnya.
“Muka kamu pucat sekali, kenapa anaknya tidak ditinggal saja di rumah? Kasian banget lihat kamu sampai gemetar begitu,” ucap salah satu pasien yang menunggu antrian obat di sebelahnya.
“Aku sudah terbiasa, membawa dia ke mana pun, jadi tidak apa-apa.”
Alara terpaksa membawa putrinya sebab tidak ada orang yang menjaganya di rumah. Ia juga sudah menelpon Karina—ibu mertuanya, meminta bantuan untuk menitipkan Yara sebentar, tapi ditolak, belau mengatakan sekarang sedang tidak ada di rumah karena ada urusan.
Semenjak tiga tahun menikah dengan Angkasa, Alara mulai meninggalkan gaya hidupnya yang dulu serba mewah dan serba dilayani bak putri raja. Kini ia terbiasa mandiri mengerjakan pekerjaan rumah dan menjaga Yara tanpa bantuan pengasuh.
Bahkan tiga tahun yang lalu, saat Angkasa belum seperti sekarang, Alara pernah makan satu telor dadar dibagi dua.
Alara ingin mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga kecilnya dan hidup bahagia.
Angkasa pun sangat pengertian, selalu memberi vitamin padannya, supaya staminanya terjaga.
Namun, entah kenapa akhir-akhir ini Alara sering merasa maag nya kambuh. Pada saat melakukan pemeriksaan sebelumnya, Dokter meminta contoh jenis vitamin yang Alara konsumsi, untuk pemeriksaan lebih lanjut.
"Ibu Alara ...." panggil apoteker.
Alara langsung beranjak pergi setelah namanya dipanggil. Ia ingin langsung pulang, butuh penjelasan dari suaminya. Dalam hati kecilnya berharap kalau ini hanya salah paham. Pikirannya sudah campur aduk ketika dalam perjalanan pulang.
Dia terus mencoba menelpon Angkasa, tapi sudah berkali-kali suaminya tidak mengangkat.
“Kenapa kamu lakukan ini, apa alasannya, Mas? Angkat teleponnya, aku butuh penjelasan dari kamu!”
Tak kunjung mendapat jawaban, Alara merasa kesal sendiri, memasukkan handphone ke dalam tas.
Sopir menginjak rem, saat lampu rambu lalulintas berwarna merah. Alara yang jenuh menoleh ke kanan, area Surabaya kota ini memang ramai meskipun hari sudah mulai gelap.
Alara tidak sengaja melihat mobil hitam dengan plat yang sama seperti milik Angkasa berada di depannya.
Lampu menyala menjadi hijau, mobil Angkasa malaju lebih dulu.
"Pak, tolong ikuti mobil di depan, saya akan bayar ongkosnya," ucap Alara. tatapan matanya tak lepas dari mobil suaminya. Perasaannya mendadak tidak enak.
Arah mobil Angkasa bukan ke jalan rumahnya.
Hati Alara memanas saat melihat Angkasa turun dari dalam mobil. tak lama kemudian disusul seorang perempuan dari samping kiri.
Angkasa melihat riwayat notifikasi telepon dari Alara, setelah handphone dia aktifkan.
“Kenapa nggak diangkat, Sayang? Siapa tau penting, dari tadi lho telepon kamu bunyi, sejak kita di hotel,” ucap Gani yang di pelukannya.
“Paling biasa Alara. Jadi buat apa aku membuang waktu berhargaku sama kamu tadi, hanya untuk mengangkat telepon dari dia? Ada banyak urusan yang harus kita selesaikan, tadi baru saja p********n gedung, sekarang kita harus urus bajunya lagi. Jadi, nanti saja aku akan mengurus Alara, lagi pula kalau aku mengangkat teleponnya apa kamu tidak terganggu, Sayang?"
“Pasti ganggu sih.”
Mereka saling berpegangan tangan masuk ke dalam butik gaun pengantin kenalan Gani.
“Akhirnya setelah empat tahun kita sampai juga di titik ini, Angkasa. Aku senang banget, sebentar lagi bisa mewujudkan Wedding dreams aku sama kamu, gaun ini bagaimana, cocok?” tanya Gani setelah mengganti gaun pengantin modern berwarna putih panjang menjuntai, membentuk lekuk tubuhnya, model transparan.
Angkasa berdiri mengamati dari bawah sampai ke atas. Melingkarkan satu tangannya tiba-tiba ke pinggang hingga tubuh Gani tersentak menempel ke tubuhnya.
“Sangat sempurna. Kamu cantik dan seksi....”
Wajah Gani memerah, di depan ruang ganti itu mereka menganggap dunia ini adalah miliknya.
“Aku yakin perhatian dan cinta sepenuhnya akan tertuju padamu. Kamu wanita terbaikku, Gani. Setelah tangis tiga tahun yang lalu, akhirnya aku bisa memunculkan senyuman bahagia di bibirmu."
“Lalu, bagaimana dengan pengasuh Yara, Alara? Bukannya dia masih menjadi istrimu sampai sekarang? Kamu berencana menceraikannya?” tanya Gani melingkarkan kedua tangan ke leher Angkasa.
“Mungkin. Aku tidak pernah menganggapnya ada selama ini. Kamu tahu kan, dia Cuma pelampiasan saat kamu tidak ada. Kamu cinta pertamaku dan cinta selamanya.”
“Tapi... kenapa kamu menyentuhnya selama jadi suaminya? Kamu tahu? Aku kecewa benget karena itu!”
“Aku laki-laki normal, Gania. Saat kamu pergi ke LA, aku butuh pelampiasan, lalu ada Alara, kenapa tidak dimanfaatkan saja dia? Kamu harus tahu, walau kami melakukan hubungan badan, sampai detik ini aku sama sekali tidak punya perasaan padanya dan aku juga sudah memberinya pil kontrasepsi karena aku tidak mau orang tidak jelas asal usul sepertinya mengandung anakku. Dan sekarang, setelah kamu kembali setahun belakangan ini, aku tidak pernah lagi menyentuhnya, sekarang kamu percaya kan, kalau dia hanya pelampiasan?” Angkasa memeluk Gani erat.
“Maaf, ada yang perlu saya bantu?” tanya pegawai butik.
Membuat Angkasa dan Gani yang sedang bermesraan tersentak menoleh. Ternyata karyawan tersebut sedang bertanya pada Alara yang tengah berdiri menatap tajam ke arah mereka berdua.
“Al...lara, kamu di...sini?” Langsung melepaskan tangannya dari pinggang ramping Gani.
“Sejak kapan kamu berdiri di sana, Alara? Kamu mendengar pembicaraan kami berdua?” Gani tampak terkejut dengan kedatangan Alara.