Canggung

1157 Words
Suasana mendadak canggung. Aku dan Desi sama-sama diam. Aku gak tau sekarang harus bagaimana lagi. Reynard datang, wajahnya terlihat kusut, aku tau mungkin perkataan Desi barusan membuatnya merasa tidak enak dan tidak nyaman. Tapi bagaimana lagi. Aku sendiri bingung harus memulainya dari mana. Akankah kami hanya akan diam seperti ini. "Kalau gitu aku pamit, ya?" Aku menoleh ke arah Reynard, dia memutuskan untuk pergi. "Kita bahkan belum..." ucapanku terhenti ketika Reynard mulai mengumpulkan barang-barangnya. Aku hanya bisa menunduk saja. Situasi ini benar-benar sangat membuatku merasa tidak nyaman. "Aku tadi udah bayar makanan kita. Jadi kalau kamu sama Desi udah selesai makan, kalian bisa langsung pulang," ucap Reynard lagi. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit untuk ku artikan. "Kamu udah mau pergi? Gamau habisin makanannya dulu?" tanyaku padanya. Ku harap dia akan tetap disini, setelah beberapa hari kita tidak bertemu mana mungkin dia tiba-tiba saja ingin pergi begitu saja? "Aku udah kenyang. Aku juga... aku ada meeting. Dan ini projects besar buat aku, jadi maaf banget." Aku tersenyum simpul, "kamu udah janji loh. Kamu bilang kalau kamu udah selesaiin semuanya, tapi ternyata enggak. Yaudah kalau kayak gitu, kamu bisa pergi. Aku juga sama Desi mau pamit sekarang." Aku mulai memasukkan hp dan dompet ke dalam tasku begitu pun juga dengan Desi. Kali ini Desi tidak banyak bicara, ia melakukan apa yang aku katakan. "Yaudah ayuk," timpal Desi. Aku melirik Reynard sekilas sebelum melenggangkan kakiku pergi keluar dari warung makan tersebut. Buru-buru aku menuju ke mobil dan masuk ke dalam, sementara Desi hanya mengikut dari belakang. Suasana tadi membuatku merasa sakit. Hatiku benar-benar di buat hancur. Entah bagaimana bisa aku menjalani 5 tahun belakangan bersama Reynard tanpa ada masalah. Tapi kenapa sekarang malah jadi seperti ini? "Are you okay?" Dedi memegang bahuku lalu mengusapnya dengan lembut. Aku menghela nafas pelan, "iya, aku baik-baik aja kok. Maaf ya soal tadi. Aku bener-bener ga enak sama kamu." Ia tersenyum menatapku, "gak apa-apa. Harusnya aku yang minta maaf, karena omongan aku tadi kamu sama Rey jadi kayak gini. Aku bener-bener gada maksud untuk buat hubungan kalian jadi renggang. Jadi tolong maafin aku, ya?" "Iya gapapa. Lupain aja, Rey juga kayaknya lagi sibuk banget. Yaudah yuk kita pergi." "Tapi... gimana sama Rey? Dia belum keluar juga," timpal Desi. "Mungkin dia lanjut makan, udah ayuk. Aku jalan ya?" Desi mengangguk mengiyakan. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, aku sudah sampai di rumah tapi masih berada di dalam mobil. Desi pun sudah sampai dirumahnya. Aku masih memikirkan tentang tadi sore. Aku mengeluarkan ponselku lalu mengecek aplikasi chatting ternyata Rey tidak mengirimkan pesan apapun padaku. Aku kembali memasukkannya ke dalam tas kemudian menarik nafas pelan, mencoba untuk tersenyum agar nanti saat aku sudah membuka pintu rumah, ayah dan ibu tidak merasa curiga dengan ekspresi wajahku. Aku hanya ingin terlihat baik-baik saja di depan ayah dan ibu seperti yang ku lakoni setiap harinya. "Assalamualaikum?" sapaku. Aku melihat ke sekeliling ruang tamu tapi tidak menemukan ayah dan ibu. Mungkin saja mereka sedang ada di kamar. Saat hendak menaiki anak tangga, aku melihat mereka berada di meja makan, rupanya sedang bersiap untuk makan malam. Aku tidak jadi melangkah naik ke tangga, aku berbalik arah lalu menuju ke arah ibu dan ayah. "Aku udah pulang," ucapku sambil tersenyum. Ibu langsung datang dan menyuruhku untuk duduk. "Kamu pasti capek banget kan sayang?" tanya ibu padaku, ia memberiku segelas air. "Tadinya aku capek, tapi pas lihat mamah sama papah rasanya capeknya jadi hilang." "Gimana operasi kamu tadi? Lancar kan?" Ayah kini mulai bicara, ia menatapku dengan tatapan serius. "Iya, pah. Alhamdulillah semuanya lancar. Aku kira operasi pertama aku bakalan kayak gimana, tapi anyway aku seneng karena udah berhasil lewatinnya." "Udah, pah. Biarin anak kita istirahat dulu baru ditanya-tanyain. Kamu belum makan, 'kan? Sekarang, kamu masuk kamar dulu terus bersih-bersih abis itu kita makan malem bareng, okay?" "Iya, mah. Kalau gitu Tania naik dulu ya." Aku beranjak dari kursi makan lalu kembali menuju ke arah tangga dan tentunya untuk ke kamar. Ceklek!! Aku buka pintu kamar, kamarku terlihat sangat rapih mungkin Mbok Jum yang beresinnya. Aku mulai beranjak menuju meja kerja lalu mengeluarkan beberapa barang dan menyimpannya kembali ke tempat semula. Seperti beberapa alat make up, buku, dompet, dan juga ponsel. Ada juga beberapa vitamin di dalam sana. Kemudian aku menyimpan tasku kembali di lemari yang merupakan penyimpanan tasku. Aku melakukan streching sebentar kemudian berjalan menuju ke arah wastafel untuk mencuci wajah dan juga membersihkan make up. Ponselku berdering, buru-buru aku mengambilnya untuk mengecek siapa yang menelepon. Rupanya dia adalah Rey, ia meneleponku. Apa mungkin untuk meminta maaf padaku? Aku mengangkatnya namun tidak bersuara, aku sengaja melakukannya karena ingin melihat apa yang akan ia lakukan nantinya. ["Hai? Kamu udah sampe rumah?"] tanya Rey dari balik telepon. "Iya." ["Syukur, deh.] "Kenapa?" ["Enggak, aku cuma mau mastiin kalau kamu udah sampe rumah."] "Bukannya kamu sibuk, ya? Masih sempet nelpon aku ternyata," ucapku dengan ketus. ["Aku tau kamu pasti marah sama aku. Tapi beneran tadi tuh aku ngerasa canggung banget sama kamu, sama Desi juga. Makanya aku mutusin buat pulang duluan eh tapi kamu yang pulang lebih dulu."] Rey mencoba untuk menjelaskan segalanya sama aku, tapi aku akan tetap terlihat dingin padanya. ["Maaf, ya? Kamu jangan marah.] Aku menghela nafas pelan, "udah dulu, ya? Aku mau mandi. Mamah sama papah udah nunggu di bawah buat makan bareng. Aku tutup ya." Tut tut tut!! Aku menutup teleponnya tanpa mendengarkan respon dari Reynard sedikit pun. Entah sekarang aku bakalan ngerasa seneng karena udah di hubungin atau aku bakalan ngerasa tetep marah karena dia sama sekali ga pernah ada waktu buat aku. Aku bener-bener ngerasa dilema, bingung, dan cemas. Bener yang Desi bilang, sebenernya hubungan aku sama Rey ini bakalan kemana, sih? Aku mengusap wajahku dengan pelan, kemudian menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Hari ini aku capek banget dan aku gada waktu untuk mikirin hal ini. Mending aku mandi, deh." Aku menyimpan kembali ponselku di meja lalu menuju ke arah kamar mandi tentunya untuk mandi. Setelah selesai mandi aku langsung bergegas turun ke bawah untuk makan malam bersama ayah dan ibu, mereka pasti sudah menunggu ku. "Kalian masih belum makan?" tanyaku untuk basa-basi. "Mamah pengen nunggu kamu padahal papah udah laper banget," adu ayah padaku. Aku melirik ibu sekilas, ibu hanya tersenyum saja ke arahku. Kemudian aku duduk tepat di depan ibu. Ibu mulai menuangkan nasi untuk ayah, ia juga ingin melakukannya untukku tapi aku menolaknya. "Tania bisa, mah." Kami pun mulai makan bersama, ayah banyak bicara seputar operasiku dan juga kegiatannya di kantor, aku hanya mendengarkan saja. Setiap hari kami akan seperti ini, ibu selalu menungguku untuk makan bersama, jadi jika aku lembur aku selalu mengatakan padanya untuk makan lebih dulu dan tidak menungguku karena jika aku tidak memberitahunya ia akan terus menungguku sampai aku pulang. Aku benar-benar bersyukur bisa memiliki orang tua seperti mereka yang selalu mendukung keputusan apapun yang ku ambil, hanya saja untuk membahas soal Rey aku tidak bisa melakukannya. Rasanya sangat berat. Aku tidak tau harus memulainya darimana, itulah yang menjadi alasanku untuk diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD