Seamin Namun Tak Seiman

1561 Words
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Tania.  Sejak tadi ia menunggu telepon dari kekasihnya berharap ia akan menghubunginya dan mengatakan hal-hal yang bisa membuatnya bersemangat lagi.  Tania melirik ponselnya sekilas, ia juga sampai saat ini belum mendapat pesan apapun dari Reynard.  Desi datang ke ruangan Tania dengan terburu-buru, ia sampai ngos-ngosan. Desi adalah satu-satunya teman dekat yang Tania punya, mereka sudah bersahabat sejak SMA dan beruntung mereka bisa bekerja di tempat yang sama.  "Kamu ngapain sih ngomong kayak gitu, Des? Lihat deh, gara-gara kamu bilang gitu Reyn jadi diem," ujar Tania pada Desi. Jujur saja, apa yang dikatakan oleh Desi memang ada benarnya tapi dia juga merasa tidak enak pada Reynard.  "Loh? Memangnya kenapa? Yang aku bilang 'kan bener. Sekali-kali kamu harus tegas sama dia. Masa dia cuman macarin doang tapi gak mau dinikahin sih? Heran dah aku, kenapa kamu harus sesabar itu hadapin dia?" Desi mulai menunjukkan raut wajah tidak sukanya.  "Gimana sih caranya dia bisa nikahin aku orang agama kita beda. Gak bakal bisa, Des." Tania menatap Desi dengan putus asa.  "Yaudah, itu kamu udah tau. Sekarang tinggal cari waktu yang pas dan putusin dia. Percuma pacaran lama tapi ga ada hasil." Ucapan Desi lagi-lagi menjadi tamparan keras untuk Tania.  "Kamu fikir gampang apa? Susah tau!"  "Aku dari tadi nungguin kamu di lobby," ujar Desi sambil terengah-engah.  "Maaf, aku lupa." Tania bangkit dari kursinya lalu menuntun Desi duduk di kursi.  "Aku capek banget tau naik turun tangga gara-gara nyariin kamu," kesal Desi. Bagaimana ia tidak kesal, Tania sudah menyuruhnya agar menunggu di lobby, tapi hampir setengah jam ia menunggu Tania belum juga datang.  "Yaudah, kamu istirahat dulu disini. Aku juga lagi nunggu kabar dari Reyn," tutur Tania, ia ikut duduk di samping Desi dengan tatapan murung.  "Loh? Bukannya tadi dia dateng ke sini ya? Dia tadi bahkan sempet nyapa aku, atau dia gak ketemu kamu?" tanya Desi.  Tania menghela nafas pelan, tentu saja mereka bertemu.  "Iya, aku ketemu kok. Cuman kayaknya dia marah deh sama aku."  "Marah? Marah kenapa? Emangnya kamu ngapain kok dia sampe marah gitu?" Tania menoleh ke arah Desi, "Dia masa tiba-tiba nongol terus bilang mau ngajak aku liburan, freak banget gak sih? Ya aku seneng sih karena dia mau ngajak aku liburan buat quality time, tapi kamu tau 'kan orang tua aku tuh pasti ga bakal ngizinin aku pergi sama orang yang gak dia kenal apalagi sama Reyn, orang tua aku belum kenal dia itu siapa," jelas Tania.   "Harusnya kalian udah ngomong sama orang tua masing-masing. Hubungan kalian bukan hubungan yang baru banget loh, ini udah 5 tahun dan 5 tahun bukan waktu yang sebentar. Masa kalian gada pikiran buat ngomong ke orang tua kalian masing-masing, sih?"  Tania terdiam, benar apa yang dikatakan oleh Desi. Tapi bagaimana caranya Tania kasih tau ke orang tuanya? Ia belum mempunyai keberanian. Tania masih takut dengan kemungkinan terburuk yang bisa aja terjadi.  "Aku belum siap, Des. Kamu tau 'kan kalau Reynard itu non muslim, dan ini pasti bakalan sulit. Aku takut buat ngomong sama mamah dan papah." Tania terlihat murung ketika Desi menyinggung soal ini. Tapi ucapan Desi memang ada benarnya.  Desi mengerti, ia kemudian mengusap punggung Tania untuk memberinya kekuatan.  "Cepat atau lambat kamu pasti bakalan tetep harus ngomong sama orang tua kamu. Kamu harus persiapin diri untuk konsekuensi yang bakalan kalian terima, tapi tenang aja aku bakalan selalu dukung kamu sama Reyn, oke?"  Tania tersenyum, Desi selalu punya cara untuk membuatnya merasa jauh lebih baik.  "Yaudah yuk balik, sumpah aku udah gerah banget tau gak." Desi bangkit dari kursi disusul oleh Tania. Saat jam pulang mereka berdua selalu pulang bersama, dikarenakan rumah Desi tidak jauh dari rumah Tania dan kebetulan Tania juga membawa mobil.  Tania dan Desi adalah sahabat, mereka telah berbagi banyak hal. Desi selalu mendukung Tania, dan begitupun juga sebaliknya. Mereka saling mendukung untuk sama-sama saling menguatkan.  Hubungan Tania dan Reynard sudah menginjak 5 tahun, dan hubungan antara keduanya hanya Desi yang mengetahuinya. Tania enggan untuk memberitahu keluarganya karena ia tau pasti hubungannya akan ditentang, dan Tania belum siap untuk itu.  Meskipun demikian, Desi selalu menjadi orang yang akan menguatkan Tania. Hanya dia yang bisa membuat Tania merasa jauh lebih baik. Dia gadis yang sangat baik dan sangat menyayangi Tania.  "Weekend nanti aku pengen ke ancol deh. Pengen berjemur, biar kulit aku kayak kulitnya orang-orang Eropa," celetuk Desi.  "Terserah kamu deh, yang penting kamu seneng."  Seperti biasa, ketika mereka akan pulang mereka berdua selalu menyempatkan untuk mampir ke salah satu warung makan langganan mereka.  Mereka mampir untuk makan sebelum pulang. Tapi kali ini ada yang berbeda, saat tiba di parkiran Tania melihat mobil milik Reynard.  "Eh ini bukannya mobilnya Reyn, ya?" tanya Tania pada Desi. "Iya kayaknya. Tapi mana mungkin Reynard mau makan di tempat kaya gini. Secara dia kan CEO perusahaan besar, gak mungkinlah, mungkin aja mobilnya emang mirip doang, ya gak?"  "Aku ingett, ini mobilnya Reyn. Ngapain dia disini?"  "Samperin aja ayok, kali aja dia lagi makan sama cwek haha," ujar Desi berniat untuk menggoda Tania. "Ngaco banget sih kamu!"  Tania dan Desi masuk ke dalam. Mereka berdua celingak-celinguk untuk mencari keberadaan Reynard. Tapi tampaknya tidak ada Reynard di tempat itu.  "Kayaknya ga ada deh," sahut Desi.  "Kamu nyariin aku?" Tiba-tiba Reynard muncul tepat di hadapan Tania. "Kamu ngapain disini?" tanya Tania heran.  "Makanlah, ngapain lagi coba? Oh iya, sekalian makan bareng aja yuk, aku yang traktir," ajak Reynard yang langsung mendapat anggukan kepala dari Desi. Jarang-jarang kan dia bisa makan gratis.  "Ayok ih, aku udah laper banget. Untung aja dapet traktiran," celetuk Desi dengan polosnya.  Tania setuju, mereka kemudian mencari tempat duduk. Tidak menunggu waktu yang cukup lama pesanan mereka sudah tiba.  Desi dengan tingkah polosnya langsung mulai mencicipi makanan yang baru saja tiba.  "Ih, baca doa dulu kenapa!" tegur Tania. Desi hanya cengengesan saja seperti tidak memiliki malu. Ia kemudian menengadahkan tangannya dan membaca doa, Tania juga melakukan hal yang sama. Sedangkan Reynard, ia menyatukan kedua tangannya lalu berdua.  "Seamin namun tak seiman," celetuk Desi. Mendengar itu Reynard langsung menatap Tania sedangkan Tania hanya bisa tersenyum lalu menunduk. Apalagi yang lebih menyakitkan dari ini?  Tania berusaha untuk tetap tenang. Bagaimana pun ia berusaha untuk menutupinya, Reynard bisa tau bagaimana perasaan Tania. Ia bisa mengerti seperti apa luka yang saat ini coba untuk ia tutupi.  "Reyn, aku mau nanya serius deh sama kamu." Tiba-tiba Desi membuka suara, Tania dan Reynard hanya bisa saling menatap.  "Kamu mau nanya apa?" tanya Reynard.  "Kamu sebenarnya serius gak sih sama Tania?"  "Desi, kamu ngomong apaan sih?" tegur Tania yang langsung mendapat senggolan dari Desi. Desi ingin tau seberapa serius Reynard dengan sahabatnya itu. "Emang aku salah nanya keseriusan pacar kamu sama sahabat aku? Aku cuma mau tau seberapa serius pacarnya sahabat aku!"  "Aku serius sama Tania. Kamu fikir waktu 5 tahun itu sedikit, huh?" Reynard menatap Desi dengan tatapan serius.  "Kalau kamu serius sama Tania kenapa kamu gak coba buat dateng ke rumah Tania untuk minta restu sama orang tuanya? Bukti keseriusan kamu itu dimana, sih?" desak Desi. Ia selalu punya cara untuk membungkam mulut Reynard.  "Kamu fikir se-gampang itu apa? Aku harus persiapin banyak hal. Dan yang paling penting yang kamu harus tau adalah, ini bukan perkara mudah karena aku sama Tania itu beda keyakinan!" Degg!! Tania menatap Reynard, mulut Tania bungkam. Kenyataan yang baru saja Reynard katakan memberi tamparan keras untuk Tania. Sampai kapanpun ini gak aoan pernah berhasil, segimana pun mereka mencoba buat pertahanin hubungan mereka tetap ga bakalan bisa bersama.  "Gimana bisa kamu tau hasilnya kalau kamu sendiri belum berani buat dateng ke rumah orang tua Tania? Kamu fikir semua bakalan gampang? Emang ga gampang. Makanya coba buat dateng dan kasih tau ke orang tua Tani kala—" "Cukup!!! Aku gak mau kalian bahas soal ini lagi! Please," potong Tania dengan cepat. Ia tidak mau situasi mereka menjadi canggung hanya karena perihal ini. Desi sepertinya mengerti, ia diam lalu kembali melanjutkan makannya. Sedangkan Reynard? Dia menjadi diam, mungkin karena apa yang telah Desi katakan ada benarnya.  "Kamu gak makan?" tanya Tania pada sang kekasih.  "Enggak, kamu makan duluan. Aku mau ke toilet dulu." Reynard melangkah pergi. Setelah Tania merasa Reynard sudah tidak terlihat, ia segera bergeser dan duduk di samping Desi.  Tania menatap Desi dengan tatapan serius, "Kamu kenapa sih bilang gitu sama Reynard? Sekarang situasi jadi canggung banget, Des." Desi menoleh, "Kamu mau sampai kapan sih kayak gini terus? Mau sampai kapan kamu diem aja? Hubungan kamu sama dia itu udah berlangsung lama loh, bukan hubungan yang baru dimulai kemaren sore! Sekali-kali tegas sama dia, Tan. Kenapa sih kamu kayak susah banget?"  Tania menghela nafas pelan, sahabatnya ini terkadang memang sulit mengontrol dirinya sendiri.  "Iya, aku tau tapi ya—" "Tapi apa? Sampai kapan kamu mau jalin hubungan sama orang yang sama sekali ga pernah ngasih kamu kepastian? Kalian udah pacaran bertahun-tahun kok dia belum bisa nunjukin keseriusan dia sama kamu sih? Dia sebenarnya serius apa enggak?" Desi sudah terlihat sangat kesal.  "Dia belum siap, Des. Dia juga janji kok bakalan berusaha, tapi nggak sekarang. Kamu tau kan aku sama dia beda agama, ya ini yang jadi masalahnya. Gak akan mudah," ujar Tania. Ia tetap tenang ketika Desi sudah sangat kesal.  "Gak ngerti lagi aku sama jalan pikiran kamu." Desi mengalihkan pandangannya.  Untuk urusan cinta Tania memang orang yang sangat keras kepala. Dia tidak peduli dengan pendapat orang lain. Tania hanya percaya pada Reynard saja dan disitulah letak kebodohannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD