Lima

1362 Words
Kini hari-hari Alesha sudah kembali berjalan normal, membiasakan diri tanpa Eza dan Darel. Alesha lebih bersemangat lagi untuk bekerja, karena masa depan jauh lebih penting daripada hanya menerima cinta. Setelah memastikan penampilannya sudah rapi, Alesha pun mengambil kunci motor, dan melepaskan keluar dari kamar. Alesha kaget dia melihat Eza tiba-tiba berada di ruangan sambil memegangi boneka besar. "Kok lo bisa di sini?" tanya Alesha, "sekarang lo keluar." "Tadi pintu ruang bicara nggak dikunci, ini buat kamu." Eza menyerahkan boneka itu ke Alesha. " Selamat  ulang tahun ." Alesha tersenyum tipis. "Simpan aja buat cewek lo. Gue engga butuh." Eza meletakkan boneka itu di atas kursi lalu dia berdiri dan maju ke depan Alesha, membuat perempuan itu mundur selangkah. "Nggak usha dekat-dekat." "Aku udah putus dan sadar aku salah. Tolong maafin aku, aku sayang kamu, Al." Alesha menghela napas kasar. "Omongan, itu kayak, nasi yang sudah disimpan. Basi!" "Al, dari Bandung ke sini aku butuh perjuangan, lihat jalan aja masih belum normal." "Terus gue peduli?" Eza terus memeluk Alesha, namun gadis itu langsung mendorong Eza hingga tersungkur. "Za, kitd udah kelar, ya. Gue udah nggak can terima lo di Hidup gue, APA pun alasannya. Kalau lo pengin industri tahu gue udah  pindah  pada  Belum APA, jawabannya Belum, KARENA lima Tahun Bukan Waktu Yang Singkat Dan Banyak banget kenangan Yang kitd lalui bareng-bareng. " Alesha mengembuskan napasnya. "Tapi gue lagi belajar buat lupain lo dan semua tentang kita. Pengkhianatan yang lo lakuin sangat melukai hati gue." Eza bangkit, lalu menatap Alesha dengan penuh pengharapan, namun gadis itu langsung mengalihkan pandangannya. "Selingkuh adalah kesalahan fatal yang nggak bisa ditolerir oleh siapa pun, aku tahu itu, tapi apa nggak ada peluang kedua? Aku janji akan jadi manusia yang lebih baik lagi." "Gue udah jijik sama lo, Za. Gue nggak mau bisa dipakai!" "Al." "Mending sekarang lo pergi, jangan pernah muncul lagi di hadapan gue. Bagi Alesha Shafaluna, Alfahreza Galenio udah mati!" "Al, please ...." "Pergi atau gue bakal teriak, biar semua warga gebukin lo sampai mampus. Mau?" Eza pun mengangguk. "Oke, tapi aku nggak akan nyerah buat dapatin kamu lagi, Al. Tolong terima boneka itu, ya." "Nggak sudi. Bawa pulang!" Eza pun meraih boneka itu lalu keluar dari rumah Alesha, dia yakin suatu saat nanti Alesha pasti akan luluh. *** Eza membawa semua barang-barangnya yang ada di indekos ke apartemen Darel, memang dia ingin tinggal dengan saudara kembarnya itu, tentu ada syarat dan ketentuan, yaitu bayar sewa patungan, dan kebersihan apartemen menjadi tanggung jawab bersama, yang paling utama tidak boleh membawa perempuan menginap, kecuali keluarga. "Rel, apartemen lo oke juga. Kenapa pas kuliah gue nggak tinggal di apartemen aja, ya?" Darel memutar bola matanya. "Lo kan emang bego." "Sialan." "Buktinya lo b**o sia-siain cewek baik." "Sindir aja terus, Bambang." Eza dan Darel dua kembar yang identik, dari kecil selalu akur, walau kadang terjadi perdebatan ringan, tapi tidak pernah sampai baku hantam, kecuali kemarin Darel yang menonjok Eza. Mereka selalu mempunyai selera yang sama, bahkan dalam urusan perempuan keduanya mempunyai selera yang sama, terbukti Darel menyukai Alesha yang notabene adalah mantan Eza. "Za, mending lo istirahat biar anu lo cepat sembuh, gue mau kelur." "Ke mana?" "Kepo." Darel pun langsung keluar dari apartemen, dia akan ke kafe milik Alesha. Setelah mobil Darel terparkir rapi di depan kafe, dia pun masuk ke dalam dan mencari tempat paling nyaman. "Mbak," panggilnya kepada pelayan. "Mau pesan apa, Mas?" "Saya mau dilayani sama pemilik kafe ini, bisa panggilkan?" "Tapi—" "Ingat, pembeli adalah raja." Akhirnya pelayan itu langsung memanggil Alesha di dalam ruangannya. Tujuan Darel ke sini memang bukan untuk makan, tapi untuk ketemu Alesha, dia sudah rindu dengan perempuan itu. Tak lama kemudian Alesha muncul di hadapan Darel. "Mau apa?" "Mau kamu." "Serius!" "Aku juga serius." "Darel!" Darel terkekeh, dia pun berdiri dari tempatnya langsung menggendong perempuan itu ala bridal style. Berontakan Alesha pun tak dipedulikan oleh Darel, kini mereka jadi pusat perhatian seluruh pengunjung. Darel membawa Alesha ke mobilnya, membuat perempuan itu kesal setengah mati. "Rel, buka. Aku mau keluar!" "Kalau nggak dipaksa, kamu nggak bakal mau. Sekarang kita jalan-jalan." "Aku mesti kerja, Rel." "Bos mah santai." Darel pun melajukan mobilnya, sementara Alesha hanya memasang wajah masam, dia tidak bawa ponsel juga yang bisa jadi pengalihan kebosanannya. "Al, aku belum hafal Jakarta, bisa jadi penunjuk jalan?" Alesha memutar bola matanya. "Apa gunanya google maps, kalau masih tanya orang?" Darel tersenyum tipis. "Yes, akhirnya Alesha mau bersuara." Akhirnya Alesha kembali diam. "Al, kamu kok beda? Waktu chat asyik banget, kok sekarang judes banget?" Alesha tidak peduli apa pun yang dikatakan oleh Darel, dia lebih memilih menatap jalanan dan tidak bersuara sama sekali. "Tiga bulan kita kenal via chat kamu sama sekali nggak ngerasa nyaman sama aku?" Tidak ada jawaban dari Alesha. Darel pun sudah kehabisan kata-kata karena dari tadi tidak digubris, akhirnya Darel pun menepikan mobilnya. Darel menarik wajah Alesha agar menatapnya, mata mereka bertemu. Setiap kali Alesha melihat wajah Darel, selalu mengingatkannya dengan Eza. "Al, kamu cantik." Alesha hendak memalingkan wajahnya, namun langsung ditahan oleh Darel. "Tatap aku. Kamu kenapa kayak musuhin aku? Aku salah apa? Karena aku kembarannya Eza?" Alesha masih bergeming. "Aku dan Eza emang kembar, kami pernah berada dalam rahim dalam waktu bersamaan, saling berbagi makanan, wajah kami sama, tapi kami tetap dua orang yang berbeda. Kalau aku kejar, jangan menjauh. Beri hatimu kesempatan untuk mengenal aku lebih dalam." Alesha pun menghela napas, dan menyeka air mata yang sudah tidak bisa ditahan lagi. "Nangis aja, Al. Kamu boleh pinjam pundak atau d**a aku." Darel pun membawa kepala Alesha ke pundaknya. "Aku siap jadi teman untuk kamu berkeluh kesah." Alesha hanya menangis, dan Darel pun tidak berkata apa-apa lagi. Berjuang sendiri melawan kerasnya hidup, dan kini hatinya dihancurkan oleh laki-laki, tidak mudah untuk Alesha, tapi dia tidak ingin terlihat lemah. Setelah puas menangis, Alesha pun menegakkan kepala, lalu menyeka air matanya. "Sudah merasa lega?" Alesha mengangguk. "Thanks." "Kalau kamu butuh pundak, hubungi aku aja." Alesha tersenyum tipis. "Cengeng banget." "Al, nangis itu perlu untuk terapi hati biar bebannya jadi terasa ringan, yang nggak boleh itu pendam di hati dan suatu hari nanti akan meledak. Air mata itu adalah bentuk pengungkapan rasa." Alesha kembali menatap jalanan. "Aku terlahir dari keluarga utuh yang harmonis, hampir setiap tahun kami selalu liburan, entah di dalam negeri atau di luar negeri, menjadi anak tunggal yang nggak pernah kekurangan kasih sayang membuat hidupku terasa begitu sempurna." Alesha menerawang ke masa lalu. "Puncaknya lima tahun lalu, kami berlibur ke Bandung, terjadi kecelakaan beruntun yang menewaskan beberapa orang, termasuk orangtua aku, tapi aku selamat meski sempat mengalami koma selama beberapa hari, entah aku harus senang atau sedih. Saat aku mendengar kabar bahwa orangtuaku meninggal, hidupku hancur sehancur-hancurnya, di usiaku yang baru 16 tahun harus menjadi anak yatim piatu, yang berjuang sendiri melawan kerasnya hidup. Beberapa dari keluarga meminta agar aku tinggal bersama mereka tapi aku tolak. Dari kecil aku emang nggak pernah dekat sama mereka dan merasa nggak nyaman kalau harus serumah, aku hanya dekat dengan Mama dan Papa, bahkan sahabat pun aku nggak punya, seintrovert itu hidupku saat itu." Darel tetap mendengarkan tanpa berkomentar apa-apa. "Aku mulai terbiasa hidup sendiri, bahkan masak pun sendiri, pernah satu waktu setelah pulang sekolah aku masak, dan entah karena aku yang ceroboh kompor gasnya meledak, aku udah panik nggak sempat pikir apa-apa, dan langsung lari keluar, dan biarkan rumah itu terbakar, bahkan air dari pemadam kebaran nggak bisa selamatin rumah itu. Tapi untungnya aku masih punya kafe yang bisa menjadi penunjang hidupku, dari penghasilan kafe aku bisa kredit rumah yang aku tempati sekarang. Aku bersyukur bisa bertahan sampai sekarang." "Saat itu kamu udah kenal Eza?" "Beberapa hari setelah kebakaran aku baru kenal Eza, hidupku saat itu benar-benar frustasi, orangtua meninggal, rumah terbakar, itu terlalu berat, tapi aku bersyukur Tuhan mempertemukanku dengan Eza, dia yang selalu yakinkan aku untuk tetap bertahan, dia selalu menjadi penyemangat aku. Sampai akhirnya kami jatuh cinta, banyak rencana masa depan yang udah dirancang, tapi ternyata berakhir menyedihkan." "Kalau Eza minta balikan, kamu mau?" Alesha menggeleng. "Nggak, Rel. Pengkhianatan itu nggak bisa ditolerir." Darel tersenyum lebar. "Bagus, berarti aku masih ada kesempatan." "Eh?" Darel pun kembali melajukan mobilnya dengan perasaan yang cukup senang karena Alesha sudah mulai terbuka kepadanya, itu artinya selangkah lebih maju. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD