Empat

1184 Words
Pagi-pagi sekali Darel sudah sampai rumah masa kecilnya, di Bandung. Setelah menyapa Bundanya, dia langsung menuju kamar Eza untuk menghajar saudara kembarnya itu. Terlihat Eza yang sedang rebahan sembari memainkan ponselnya. "Eh  kembar ," sapa Eza yang langsung mengalihkan pandangannya ke Arah Darel. Beralih ke organ vital Eza. "Kata Bunda lo belum bisa jalan normal, gara-gara  itu  lo dilempar pot bunga?" Eza hanya mengangguk sebagai jawaban. Darel langsung menerjang Eza di atas kasurnya membuat laki-laki itu terkejut. Tanpa aba-aba Darel menonjok pipi kanan Eza. "Itu karena lo udah selingkuh." Darel pun menonjok pipi kiri Eza. "Yang itu karena lo udah sakiti cewek yang gue sayang." Eza terkejut atas penuturan Darel. "Maksud lo, Rel?" Darel pun berbaring di sebelah Eza. "Gue sayang sama Alesha." "Lo kenal Alesha? Di mana? Kok bisa? Lo kan tinggal di London, Rel." "Bukan urusan lo!" Eza menyampingkan menentang, lalu menatap Darel. "Rel, gue kangen nih sama lo, lo nggak kangen sama gue? Daripada bahas cewek mendingan lo peluk gue." "Dih, udah gede, nggak usah peluk-pelukan. Yang ada dikira homo, bego." Tanpa peduli dengan omongan Darel, Eza langsung memeluk Darel. "Hanya kangen kembaran gue kok, yang nggak pernah pulang ke Indonesia selama empat tahun." Pada dasarnya Eza dan Darel dari bayi memang sangat akrab, bahkan jarang sekali mereka berdebat atau bertengkar. Namun, jika Eza lebih mudah mengutarakan rasa rindunya, beda dengan Darel yang punya ego lebih tinggi. "Lo kangen nggak sih sama gue, Rel?" "Hmmm." "Mesti gengsian." Darel pun terkekeh, lalu membalas pelukan saudara kembaranya itu. "Iya kangen, bawel lo." Tak lama setelah itu Darel berdiri lalu menendang organ vital Eza. "DAREL SIALAN, LO MAU BUNUH GUE?" Sudah sakit dibuat tambah sakit. Benar-benar tidak ada yang kasihan sama tempat pipisnya Eza. Darel tertawa puas, lalu turun dari kasur. "Harusnya sudah lo potong biar nggak nakal." "Ya gue nggak bisa pipis dong." "Pake kateter aja." "ALDAREL GALENIO!" Darel langsung berlari keluar kamar Eza, dan menemui Bundanya yang sedang membuat kue di dapur. Lita sosok ibu yang dekat dengan keluarganya, selalu meluangkan waktu untuk bercengkrama dengan putra-putranya, sehingga Darel ataupun Eza tidak sungkan mengutarakan isi hatinya kepada Lita. "Darel rindu banget sama red velvet bikinan Bunda, nggak ada yang seenak bikinan Bunda," ujar Darel sembari memperhatikan Bundanya yang sedang sibuk membuat kue. "Kamu paling bisa muji." Lita mengalihkan pandangannya ke Darel. "Eh, Rel. Bunda kira kamu bakal pulang bawa bule. Masa nggak ada yang kecantol satupun." "Buat apa cari bule, kalau yang lokal lebih menarik." "Emangnya udah ada?" Darel mengangguk. "Ada, suatu saat Darel pasti akan bawa dia ke rumah ini." "Dari dulu Bunda selalu ingatin kamu, standar menantu di rumah ini adalah pendidikannya harus sederajat, harus berasal dari keluarga asal-usul jelas, smart, lembut, dan punya sopan santun. Bunda harap cewek yang kamu bawa nanti seperti itu kriterianya." Darel menghela napas. "Itu semua nggak penting, yang penting Darel sayang." "Darel!" Pasti sebentar lagi Lita akan mengamuk, akhirnya Darel langsung ke kamarnya. "Darel, awas aja kamu bawa cewek yang nggak sesuai keinginan Bunda, nanti Bunda musuhin seumur hidup!" Samar-samar Darel mendengar ucapan Lita, namun tidak dia hiraukan. *** "Mbak, ada paket." Seorang pelayan kafe masuk ke ruangan Alesha untuk memberikan sebuah paket yang diantar oleh kurir. Setelah Alesha menerimanya, dia pun keluar. Alesha membuka paket itu dan berisi sebuah boneka teddy bear, dan selembar surat. Kamu pasti lupa hari ini hari apa, kamu kan gitu selalu lupa hari lahir sendiri. Alesha pun melihat kalender, dan baru ingat ini hari ulang tahunnya. Selamat ulang tahun yang ke 21 tahun, Sayang. Tahun ini kita nggak bisa rayain bareng kayak tahun-tahun kemarin, aku mau ke Jakarta tapi kondisiku lagi nggak memungkinkan. Harapan aku masih sama, semoga kamu bahagia selalu dan apa yang menjadi wish kamu dikabulkan oleh Tuhan, tetap menjadi Alesha yang selalu aku sayang. Maaf, karena aku udah sakiti kamu, yang pada akhirnya aku menyesali hal itu. I love you. Dari orang yang akan memperjuangakanmu kembali. -Eza Kali ini Alesha tidak mau menerima pemberian Eza, bahkan semua barang pemberian Eza sudah berakhir di tempat sampah, bahkan foto-foto mereka sudah lenyap. Bagi Alesha, Eza telah mati. Alesha pun membuang boneka dan surat itu ke tempat sampah. Semuanya sudah berbeda. Alesha berusaha tetap tegar, dia tidak ingin menangis lagi, tidak ingin terlihat rapuh, dan yang terpenting dia harus move on dari Eza. Seandainya pengkhianatan itu nggak pernah ada, mungkin sampai detik ini kita masih sama-sama, Za. *** Sedari tadi Eza terus memandangi foto dirinya dengan Alesha. Saat Eza tiba-tiba datang ke rumah Alesha untuk merayakan anniversary yang ke 5 tahun beberapa bulan lalu, dengan membawa balon yang banyak dan sebuah boneka, balon itu ditabur di kasur Alesha. Eza datang secara tiba-tiba membuat Alesha kesal.          "Za, kenapa dadakan? Lihat pakaian aku kayak gini, tahu gitu kan aku bisa ganti baju dulu!" kesal Alesha pada saat itu. Eza menanggapinya dengan santai. "Kalau aku bilang dulu, ya nggak surprise dong, Sayang." Potongan kenangan pada masa itu, terlintas begitu saja di benak Eza. "Kenapa menyesal selalu datang di akhir?" ujar Eza kepada dirinya sendiri. "Hukum aku sepuasnya, asalkan setelah itu izinkan aku untuk kembali dengan Alesha, perempuan yang pertama mengenalkanku cinta." Selamat ulang tahun, Al. Eza beranjak dari kasurnya dan mengemasi barang-barangnya, lalu keluar dari kamar dengan berjalan seperti orang yang baru disunat. Di ruang tengah dia bertemu Darel, Ayah, dan Bundanya. Lita langsung bertanya, "Za, kamu mau ke mana? Kondisi kamu belum sembuh betul, balik ke kamar." "Aku mau balik ke Jakarta. Hidup aku di sana." "Eza, nggak usah aneh-aneh. Nggak malu kamu jalan kayak orang sunat gitu!" ujar Andri, sang Ayah. Darel ikut bersuara. "Lo kenapa pengin balik sekarang?" "Ada cinta yang mesti gue kejar." Darel terkekeh. "Bucin." "Ini namanya bukan bucin, tapi ini cinta yang tulus." "Kalau cinta, nggak mungkin lo berkhianat apa pun alasannya, Za. Tulus itu nggak akan meninggalkan apa pun kondisinya, lo nggak mungkin ingkar atas janji yang pernah lo ucapin." Eza bingung kenapa Darel tahu banyak tentang hubungannya dengan Alesha. "Za, lo nggak tahu seberapa hancurnya Alesha waktu ketahuan lo selingkuh? Hatinya hancur, harapan dia udah melambung tinggi karena janji-janji lo yang hanya berakhir dusta." Darel membuang napasnya kasar. "Lo salah, Za. Lo meninggalkan berlian hanya untuk sebiji jagung." "Maka dari itu gue pengin perbaiki kesalahan gue, gue pengin minta maaf ke dia. Gue yakin Alesha masih cinta sama gue. Lima tahun bukan waktu yang singkat, kenangan itu akan tetap membekas." Darel tersenyum tipis, dia beranjak dari tempatnya, lalu menatap Eza dengan intens. "Sebelum lo perjuangin dia, gue duluan yang akan perjuangin dia, Za." Andri tersenyum ke arah dua putranya itu yang sama-sama merebutkan seorang wanita. "Ayah jadi pengin tahu, siapa yang berhasil dapatin dia. Yang berhasil Ayah beliin mobil baru sesuai keinginan kalian." Eza dan Darel berucap secara bersamaan. "Dengan atau tanpa adanya mobil baru, aku pasti yang akan dapatin Alesha." "Dasar kembar, ngomong aja kompak," sindir Andri. Sementara Lita hanya menghela napas berat. "Coba aja kalian bawa dia ke rumah, dengan senang hati Bunda akan usir dia." Si kembar jawab secara bersamaan lagi. "Yaudah aku nggak akan bawa ke sini, tapi akan bawa hidup bersama di rumah baru." Andri tertawa mendengar kekompakan itu, berbeda dengan Lita yang sudah kesal sampai ke ubun-ubun. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD