5. Bunga Untuk Kiara

1410 Words
Seperti pesanan Bumi semalam, Roy dengan cepat memesan satu unit motor sport berwarna hitam. Sesuai kesukaan warna Bumi, selain warna putih. Roy datang ke kediaman Bumi pukul setengah lima pagi, karena ia tahu bosnya juga mempunyai kebiasaan bangun pagi. Tepat saat ia datang, Bumi sang bos tengah menuruni tangga, dengan pakaian sekolahnya. "Selamat pagi, Bos," salam Roy. "Pagi juga, Roy. Apa kamu sudah bawa pesananku semalam?" tanya Bumi, datar seperti biasa. "Sudah, Bos. Motor beserta helm sudah siap di garasi, sedangkan ini bunga yang Anda pesan. Semoga saya tidak salah memilihkan warna untuk bunganya," ucap Roy sedikit takut, karena pagi ini dia tengah membawa bunga mawar merah. Seraya mengulurkan bunga kepada Bumi. "Tidak! Bunga ini sangat cantik, dan indah. Bunga mawar merah lambang dari 'Cinta Sejati'. Good job, Roy, karena kamu telah memilihkan bunga yang tepat," puji Bumi, seraya sedikit tersenyum ketika menerima bunga dari Roy orang kepercayaannya. "Terima kasih, Bos,'' ucap Roy tulus, dan terlihat senang. "Sekarang pergilah?" suruh Bumi, tapi pandangannya tidak lepas dari rangkaian bunga mawar merah yang saat ini ia pegang. "Baik, saya permisi dulu." Bumi tidak menyahut, karena fokusnya masih ke bunga mawar. 'Kiara pasti senang mendapatkan bunga mawar merah ini, karena ini adalah lambang cinta yang tulus dariku untuknya. Ya, aku akan mewarnai cinta dalam hidupnya tentunya di muali dari kencan kami.' 'Meskipun aku tahu, dia belum membalas perasaanku. Aku tidak peduli, yang terpenting cintaku saja sudah cukup untuk kami,' gumam Bumi, seraya melangkah ke garasi dan bersiap menjemput bidadarinya yang saat ini masih tertidur. Bagaimana Bumi bisa tahu semua aktifitas Kiara, tentu saja karena dia melihat melalui CCTV yang sengaja ia pasang di setiap sudut rumah Kiara. Tentu saja tanpa sepengetahuan Kiara pastinya, karena Bumi ingin selalu memastikan kehidupan Kiara dalam keadaan aman. Mengingat gadis yang mulai ia cintai tidak mempunyai siapa pun, dan tinggal sendirian di rumahnya. Bumi memerintahkan orang kepercayaannya memasang CCTV di rumah Kiara, di saat gadis itu tengah bekerja dan tentu saja ia melarang orang kepercayaannya memasang CCTV di kamar mandi. Karena ia tidak ingin melihat privasi Kiara di dalam kamar mandi bisa terekspos dan di lihat oleh orang lain mau pun dirinya sendiri. *** Sinar mentari masih belum menampakkan diri, dan udara dingin di pagi masih menusuk ke tulang. Namun, Bumi tidak menyurutkan niatnya pergi ke rumah gadisnya untuk pertama kalinya sebagai seorang kekasih. Bumi mengendarai motornya dengan sedikit kecepatan, mengingat hari masih sangat pagi dan kendaraan belum terlalu ramai. Jarak rumahnya dan Kiara yang lumayan jauh membuat ia datang lebih pagi. Karena ia tidak mau terkena macet, dan gagal menjemput gadisnya. Lima belas menit kemudian Bumi memberhentikan motornya tepat di jalan dekat rumah Kiara, setelah turun ia membetulkan penampilannya dan tidak lupa membawa bunga mawar merah untuk Kiara. Bumi mulai melangkah memasuki pelataran rumah sederhana itu, rumah jaman dahulu yang mulai lapuk. Sesungguhnya ia tidak tega membiarkan Kiara tinggal sendirian di rumahnya, tapi ia bisa apa untuk saat ini ia masih belum menggenggam sepenuhnya hati gadis yang mulai di cintainya beberapa bulan ini. Bumi tidak langsung mengetuk pintu sederhana itu, toh ia tahu kebiasaan Kiara bangun tidur jam berapa. Gadis yang di cintainya itu tidak akan biasa bangun pagi, karena aktifitas malam yang dia buat untuk bekerja membuat gadis mungil itu kelelahan. Kiara akan bangun pagi, setelah suara deringan jam weker di atas nakas mengganggu tidur nyenyaknya. Ketika jam menunjukkan jam setengah tujuh, Bumi mulai menghitung mudur. Karena ia tahu tidak lama lagi di dalam kamar sederhana, dan terlihat sempit itu akan terdengar suara keributan. 'Tiga, dua, satu ...." Ketika Bumi menghitung waktu kapan Kiara bangun tidur dengan senyuamannya, di dalam kamar sederhana itu terlihat Kiara yang tengah semoyongan berteriak karena mengeluh bangun kesiangan. Bruk! 'Aww ... sakit!" Kiara terjatuh dari ranjang. 'Aaaa ... aku terlambat lagi, gimana ini? Handuk, mana handuk. Ah, pelajaran apa hari ini, kenapa aku bisa lupa menyiapkan semalam." 'Ah, masa bodoh semua buku aku masukin saja semua. Sekarang waktunya mandi,' Brak! 'Oh, tidak jam tujuh kurang dua puluh menit. Aku harus cepat mandi,' gumam Kiara heboh di dalam kamar sempitnya. Setelah itu ia berlari ke kamar, dengan menutup pintu dengan kasar. Dalam kamar mandi ia mandi bebek dan sikat gigi secara singkat saja.' Setelah mandi dan ganti baju di kamar mandi, rambutnya sedikit basah lalu sengaja Kiara gerai. Jika biasanya ia selalu kepang dua, untuk hari ini ia membiarkannya. Karena semalam waktu pulang kerja ia sengaja keramas, dan rambutnya akan terlihat lurus. Selesai sisir Kiara memakai bedak tipis, dan memakai pelembab bibir sedikit. Agar tidak terlihat pucat, ketika penampilannya dirasa sudah bagus dengan gerakan cepat ia mengambil tas dan sepatu. 'Aiss, aku lupa beli roti buat sarapan,' keluh Kiara sambil memegangi perutnya, karena semalam ia melewatkan makan malamnya. 'Nanti aku makan di kantin saja,' gumam Kiara seraya memakai sepatu, setelah itu ia melangkah keluar. Cklek! Kiara membuka pintu dengan menundukkan kepala, ia tidak tahu kalau di hadapannya Bumi tengah berdiri dengan gagah seraya menyembunyikan bunga mawar merah di balik punggungnya. "Selamat pagi, Pacar," sapa Bumi dengan senyumannya. Merasa mendengar suara yang tidak asing, Kiara langsung mendonggakkan kepalanya. 'Ka--kak, Bumi! Ngapain pagi-pagi kemari?!" tanya Kiara kaget seraya menunjuk Bumi dengan telunjuk tangan kanannya. "Menjemput pacarku, dan itu kamu Baby," goda Bumi. Blus! Wajah Kiara langsung merona malu, seraya mengipasi wajahnya. "Ini ... untukmu," Bumi mengulurkan bunga ke arah Kiara yang tengah mengipasi wajahnya. "Bu--buat, Kiara. Apa, Kak Bumi tidak salah kasih bunga ke Kiara," tanya Kiara ragu. 'Iya, bunga ini untukmu dan aku tidak salah memberikan padamu. Karena kamu sekarang pacarku, pacar dari Bumi Mahandra." Blus! Lagi-lagi ucapan Bumi membuat Kiara salah tingkah, dan malu. Dengan gemetar ia menerima bunga dengan perasaan yang sulit ia artikan, bahkan detak jantungnya semakin berdebar. 'Aiss, Kak Bumi. Kenapa membuat jantungku berdetak begini, sih. Apa ada masalah dengan jantungku, lebih baik nanti pulang sekolah aku periksa saja ke dokter,' batin Kiara binggung dengan perasaannya. ''Kenapa bengong, memandangi bunga itu? Lekas simpan di kamar sempitmu sana, atau mau kamu pamerkan di sekolah kalau mawar merah itu pemberianku?" goda Bumi lagi. "Ti--tidak, tidak. Biar Kiara taruh di rumah saja,'' teriak Kiara tanpa sadar, setelah itu ia berlari memasuki rumah lebih tepatnya ke kamarnya. 'Bunga mawar yang indah, aku suka bunga mawar merah ini. Harum, dan cantik. Apalagi dari Kak Bumi, tidak akan kubiarkan siapa pun melihat kalau Kak Bumi kasih aku bunga. Bisa-bisa di ambil, nanti,' gumam Kiara, seraya menciumi harum mawar merah yang ada di tangannya. Setelah itu ia menaruh di dalam gelas kaca besar. Ketika Kiara tengah asyik memandangi mawar pemberian Bumi, tiba-tiba ia disadarkan oleh suara khas Bumi. 'Pacar cepat keluar, kita berangkat sekolah sekarang. Apa kamu mau kita terlambat.'' ''Puk! Ah, aku lupa lagi, ini sudah hampir jam tujuh, setengah jam lagi masuk kelas,'' keluh Kiara sambil menepuk dahinya keras. Tap! Tap! "Kenapa lama sekali? Apa kamu tengah memakan bunga pemberianku tadi, Pacar?'' tanya Bumi, dan langsung menggenggam tangan Kiara lembut. Lalu menuntun langkah, ke arah motornya. "Ti--tidak, siapa yang makan bunga. kak Bumi, aneh-aneh saja," gugup Kiara, seraya melihat tangannya yang saat ini berada dalam genggaman Bumi. "Ini,'' ulur Bumi, memberikan helm berwarna pink ke arah Kiara. ''Kiara naik angkutan saja, Kak.'' "Jangan membantah, apa kamu mau terlambat terus. Mengingat saat ini sudah jam tujuh lewat," kesal Bumi, seraya memasangkan helm pink ke kepala Kiara. Jarak keduanya begitu dekat, hingga Kiara menahan napas sebentar ketika Bumi memasang kan tali di bawah dagunya. ''Selesai!'' puas Bumi, ketika telah selesai memasakan helm pada gadisnya. Setelah itu ia pun memakai helm berwarna hitam, dan mulai menaiki motor sport mewah yang lumayan tinggi. "Naiklah,'' suruh Bumi. Kiara binggung ketika melihat motor di hadapannya terlalu tinggi, di saat ia memakai rok pendek. Bumi yang mengerti kebingungan gadisnya langsung mengarahkan bagaimana cara naik motornya. "Injak pedal di depanmu itu, sambil pegangi pundakku." Tanpa disuruh dua kali, Kiara melakukan apa yang di ucapkan Bumi. Ia pun naik dan duduk dengan baik. "Sudah, Kak." "Sekarang pegangan," suruh Bumi. "Begini saja, Kak. Tidak apa," tolak Kiara. Brum! Bumi menyalakan mesin motornya, lalu menjalankan sebentar dan mengerem mendadak. Citt! Bruk! Membuat Kiara terkejut dan langsung memeluk Bumi dengan erat. "Makanya, kalau aku suruh pegang, ya, pegang. Kalau kamu jatuh di saat aku mengerem mendadak seperti tadi bagaimana," keluh Bumi. "Maaf," cicit Kiara. "Ya sudah, pegangan seperti ini biar tidak jatuh, ya," ucap Bumi, seraya membetulkan letak tangan Kiara yang melingkari perutnya. "I--iya, Kiara akan pegangan," jawab Kiara dengan nada gugup. Bumi yang mendengar itu tersenyum bahagia, ia pun mulai menyalakan mesin motornya kembali dan melajukan menuju sekolah mereka. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD