8. Malam Mingguan

1448 Words
Ting Terdengar suara pesan dari ponsel yang tergeletak di meja, dengan terburu Kiara bergegas mengambil lalu membuka pesan whatshap dari sang Kekasih. [Bersiapalah, sedikit lagi aku sampai] Pesan Bumi. [Baik, Kak] balas Kiara. Kiara di dalam kamar tengah mengembangkan senyum ketika membaca ulang pesan dari sang kekasih, ia masih tidak menyangka kalau saat ini ia telah menjadi kekasih dari Bumi Mahendra. Ketika apa yang Kiara anggap tidak mungkin, dengan kuasa Allah segala hal tidak mungkin menjadi mungkin terjadi. Begitu pula hubungan Kiara dan Bumi, ketika ia mengganggap kekasihnya tidak bisa ia raih tapi nyatanya pria yang ia anggap khayalan semata kini menjadi kekasihnya. Kini sudah selama seminggu, Bumi dan Kiara telah resmi berpacaran. Seperti selayaknya muda-mudi tengah kasmaran, mereka pun melakukan hal yang sama. Jalan-jalan, makan malam bersama dan nonton bioskop selalu mereka sempatkan selepas pulang sekolah atau selepas pulang kerja. Karena keduanya ingin menikmati jalinan kasih, seperti layaknya sepasang kekasih yang ada di luaran sana. Seperti malam ini, tepatnya di malam minggu Bumi sudah berada di depan pintu sang kekasih. Ia sudah tampil fresh dengan memakai kemeja hitam, dan celana jins hitam. Tidak lupa bunga mawar merah untuk Kiara. Entah mengapa Bumi memilih warna hitam, di saat ia akan pergi malam mingguan untuk pertama kali dengan sang kekasih. Yang di pikirannya, warna hitam cocok untuknya. Bumi terlihat tampan, dimana badannya yang tinggi dan kekar di usianya yang cukup muda. Ia sudah bisa membentuk tubuhnya seperti saat ini. Tok! Tok! Ketukan pintu terdengar cukup keras, membuat gadis yang tengah melihat pantulannya di cermin setelah menyelesaikan dandananya terkaget. 'Itu pasti Kak Bumi,' gumam Kiara seraya mengambil tas slempangnya, lalu bergegas keluar kamar dengan sedikit berlari. "Iya sebentar, Kak," teriak Kiara. Cklek! Pintu pun terbuka, Bumi yang mendengar suara bunyi langsung mengarahkan pandangannya ke arah kekasihnya. Beberapa detik ia terpesona akan kecantikan alami sang kekasih, dimana malam ini Kiara tengah memakai dres warna biru, rambut sebahunya tergerai dengan make up tipis Bibir merah alaminya sengaja ia kasih pelembab bibir saja, membuat Bumi tidak melepaskan pandangannya dari bibir semerah cerri itu. "Kak! Kak Bumi," panggil Kiara, membuyarkan keterpesonaannya. ''I--iya." "Ehem ... ini untukmu," ulur Bumi, memberikan bunga pada Kiara. "Wah, indah sekali," Kiara langsung menenggelamkan hidungnya di tumpukan bunga mawar merah yang ia pegang. "Lama-lama kamar Kiara akan jadi toko bunga, kalau Kak Bumi tiap hari bawain Kiara bunga terus," lanjutnya seraya tersenyum hangat. "Apa kamu tidak suka, Pacar?!" "Bu--bukan begitu, Kak. Kiara suka, suka sekali dengan semua bunga pemberian Kakak," gagap Kiara, takut kekasihnya marah. 'Ihh, Kak Bumi mesti begitu suka sekali ngambekkan kayak anak kecil,' monolognya seraya memandang Bumi. "Jangan ngambek, ya. Kiara tidak bermaksud menyinggung Kakak, kok," bujuk Kiara. "Jangan pernah berdandan di depan pria lain selain aku, karena kamu terlihat jelek jika berdandan," ujar Bumi bohong. 'Aku tidak mau pria lain melihat kecantikanmu, Pacar. Semua yang ada di dirimu hanya milikku, tidak akan kubiarkan siapa pun melihatnya selain aku,' batin Bumi, seraya masih mengagumi kecantikan alamai sang kekasihnya. "Be--benarkah, Kiara saat ini terlihat jelek. Kalau begitu lebih baik Kiara hapus saja make up-nya," jawab Kiara lesu, seraya ingin berbalik ke dalam rumahnya. Namun, dengan sigap Bumi menahan langkah sang kekasih. ''Jangan! Kalau bersamaku kamu boleh berias, tapi jangan mencoba merias wajahmu jika tidak bersamaku. Aku akan marah. Apa kamu mengerti, Pacar," "Iya, mengerti. Tapi, apa Kak Bumi tidak malu kalau jalan dengan gadis jelek sepertiku?'' tanya Kiara polos. "Tentu saja aku tidak malu, karena kamu sekarang kekasihku. Apa pun yang ada dalam dirimu aku selalu menyukainya, meskipun wajahmu jelek sekalipun aku tetap suka." "Benarkah?" "Hem ... sekarang taruh dulu bunga itu di kamar, baru kita berangkat." suruh Bumi. "Baiklah," patuhnya, setelah itu ia berlari kecil ke arah kamarnya, dan seperti biasa ia menaruh bunga mawar itu di dalam gelas kaca besar. 'Ah, jika tiap hari begini. Aku harus membeli beberapa gelas lagi,' gumamnya, seraya menyentuh bunga yang sudah tersemat cantik dalam gelas kaca. Jangan lupakan senyum di bibirnya ketika melihat bunga-bunga pemberian sang kekasih. Kiara berlari keluar rumah, tapi tidak lupa ia mengunci pintu rumahnya. Lalu menghampiri sang kekasih yang telah menunggu dengan bersandar di body mobil. Begitu melihat Kiara telah berada di depannya, Bumi dengan sigap langsung membuka pintu mobil. "Masuklah," ujar Bumi. "Makasih, Kak." Setalah menutup pintu, Bumi berjalan cepat lalu membuka pintu samping kemudi. "Apa sudah kamu pakai sabuk pengamannya, Sayang," tanya Bumi perhatian. "Hehe, belum," jawab Kiara dengan kekehannya. Bumi sedikit beringsut mendekati Kiara, jarak di antara mereka pun begitu dekat. Sesaat Bumi menatap wajah gadisnya dari dekat tepatnya di bibir semerah cerri itu, entah setan apa yang merasuki dirinya hingga tiba-tiba ia langsung mendaratkan ciuman di bibir gadisnya. Cup! Kiara yang mendapatkan ciuman tiba-tiba langsung membulatkan matanya, ketika bibir lembut menyentuh bibirnya. 's**t, kenapa begitu manis bibirnya. Rasanya aku tidak bisa berhenti untuk menciumnya, ini membuatku gila,' batin Bumi di sela-sela ciumannya. Kiara yang mulai kekurangan oksigen mulai memukul-mukul pundak Bumi, agar pria yang telah mengambil ciuman keduanya agar menghentikan aksinya. "Maaf--maafkan aku, Sayang. Aku kelepasan," ujar Bumi dengan ekspresi bersalah. "Ti--tidak apa, Kak," gugup Kiara, seraya memegang bibirnya yang terasa tebal. 'Kak Bumi, kenapa bisa menciumku seperti tadi.' "Maaf tadi Kiara memukul Kakak, habisnya Kiara tidak bisa bernapas jadinya memukul Kakak. Apa terasa sakit?" sesal Kiara dengan nada polosnya, seraya memegang pundak yang ia pukul. "Tidak! Sama sekali tidak sakit, Sayang," jawab Bumi lembut, seraya memegang tangan Kiara. Lalu ia kecup. Blus. 'Kak Bumi benar-benar membuatku malu, kenapa dia selalu bersikap manis seperti ini,' monolognya merasa malu. "Bibir kamu manis, aku suka," jujur Bumi, seraya menyapu bibir Kiara dan memajukan wajahnya dengan pandangan sayu. Kiara langsung menunduk menyembunyikan rona malu di wajahnya, seraya mengalihkan pembicaraan. "Apa kita tidak jadi malam mingguan, Kak. Lebih baik kita berangkat sekarang," ucap Kiara, masih menyembunyikan rona merah di pipinya. "Ehem ... baiklah, tapi aku pasangkan dulu sabuk pengamannya," jawab Bumi, seraya memasangkan sabuk pengaman pada tubuh Kiara. Setelah itu ia hi memakai sabuk untuk dirinya sendiri. 'Bodoh kamu Bumi! Kenapa selalu lepas kendali setiap melihat bibirnya, nanti kalau Kiara marah bagaimana?' batinya kesal dan sekaligus takut. Di dalam mobil situasi menjadi canggung, Kiara tengah menatap pemandangan dari balik kaca di sampingnya. Sedangkan Bumi tengah berkonsentrasi mengendarai mobilnya, dengan sesekali menoleh ke arah Kiara. "Sayang, kenapa memandang ke luar terus? Apa ada hal yang menarik dibandingkan aku, hemm ...?'' tanya Bumi, seraya meraih tangan mungil Kiara lalu ia genggam. "Maaf, tidak ada Kak. Hanya saja Kiara merasa malu," jawab Kiara polos. "Malu?" "Iya, Kiara malu sama Kak Bumi." Chit! Karena ingin mengetahui apa yang dirasakan sang kekasih, Bumi pun menghentikan mobilnya. Melepas sabuk pengamannya, lalu membalik badan sang kekasih. "Apa yang membuatmu malu, Sayang. Apa karena ciuman tadi, hingga membuat di sini berdetak cepat?" tanya Bumi, seraya menunjuk d**a Kiara. "Iya," angguk Kiara. "Sama, Sayang. Aku pun merasakan hal yang sama, rasa yang kamu miliki sama persis dengan yang kurasakan saat ini," ujar Bumi, seraya menangkup wajah gadisnya. "Jadi jangan mendiamiku karena alasan malu, aku merasa terabaikan jika kamu diam dan menatap hal lain selain diriku," keluh Bumi. "Aku mencintaimu, Sayang. Sangat," ungkap isi hatinya. Bruk! Kiara menatap mata elang itu, mencari kesungguhan di dalam sana. Setelah mendapatkan jawaban tanpa malu lagi ia langsung menghambur ke dalam pelukan Bumi. "Maaf, tidak akan Kiara ulangi." "Kiara juga mencintai Kakak, sangat," jawab Kiara yakin. "Untuk merayakan malam mingguan pertama kita, kamu menginginkan pergi kemana?" bisik Bumi lembut. "Kita ke taman saja, Kiara ingin melihat bulan dan bintang bersama Kak Bumi," jawab Kiara dengan nada antusias, setelah melepas pelukannya. "Baiklah, apa pun yang kamu mau Sayang," setuju Bumi, seraya tersenyum dan mengacak puncak kepala Kiara penuh sayang. *** Ketika Bumi dan Kiara tengah dalam perjalanan malam mingguan, di kediaman Mahendra terlihat Pak Bayu tengah memeriksa laporan dari orang kepercayaannya. Tersirat wajah tidak suka. "Apakah gadis ini, yang beberapa hari ini telah membuat anak pemberontak itu selalu mengabaikan pekerjaanannya?'' tanya Pak Bayu seraya membaca secara detail isi dari kertas laporan yang ia pegang. "Iya, Pak. Saya sudah memastikan dan mengikuti Tuan Muda beberapa hari ini. Kalau setiap hari, Tuan Muda selalu mengantar jemput gadis itu." "Cih, gadis miskin dan yatim piatu sepertinya. Mau mempengaruhi putraku hingga putraku melupakan tanggung jawabnya, tidak akan kubiarkan!" "Akan kupastikan gadis sepertinya jauh dari Bumi, gadis rendahan itu sama sekali tidak pantas menjalin kasih dengan calon pewaris keluarga Mahendra!" "Pantau terus hubungan mereka, jangan sampai gadis itu memanfaatkan kekayaan putraku untuk kesenangannya. Laporkan setiap aktifitasnya, agar aku bisa cepat menyingkirkan gadis itu dari sisi Bumi!" perintah Pak Bayu tegas. "Baik, Pak." Setelah mendapatkan perintah, orang kepercayaan Pak Bayu pun meninggalkan kediaman Mahendra, dengan memakai pakaian serba hitam, dan masker hitam lalu masuk ke dalam mobil dan mulai menjalankannya menuju tempat yang sudah ia ketahui. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD