2. Malam Mencekam

1080 Words
Kalimantan, 1992 Gelegar tangisan bayi terdengar keras dan lantang di sebuah kamar bersalin di salah satu rumah sakit. Setelah mengalami kontraksi kurang lebih 8 jam, akhirnya Harti berhasil melahirkan seorang putri mungil. “Selamat Bapak, bayinya perempuan. Sehat, dan cantik. Biar kami bersihkan dulu, nanti Bapak akan kami panggil ketika seluruh proses persalinan sudah selesai,” ucap seorang dokter berbadan gempal dan berambut tipis pada Husin yang sedang menunggu proses kelahiran istrinya. “Terimakasih Dok!” Jawabnya sambil menyalami sang dokter, ditemani beberapa keluarga terdekat. Rumah sakit tempat Harti melahirkan merupakan sebuah rumah sakit tua yang sudah beroperasi puluhan tahun lamanya. Ditandai dengan bentuk gedung yang hanya satu lantai dengan koridor-koridor panjang. Tiang-tiang dari kayu ulin bercat hijau menjadi salah satu tandanya. Dikabarkan rumah sakit ini sudah ada sejak awal kemerdekaan. Koridor-koridor remang terlihat dari kejauhan, mengelilingi sebuah taman dengan tanaman-tanaman hias dan bunga-bunga berkelopak kecil berwarna merah. Sejenak Husin memandang sekitar dan memejamkan matanya sekilas. Tangannya menengadah. Ia sedang berdoa dan berucap syukur kepada Sang Pencipta atas kelahiran buah hatinya. Juga atas kelancaran dan keselamatan istrinya. Hari masih terlalu dini untuk bisa memandang bebas ke sekitar. Beberapa keluarga dekat sedang riuh berbisik dan berceloteh bahagia. Mereka menyambut hadirnya sang keponakan baru sambil meminum teh yang dibeli dari penjaja keliling yang membawa termos. Dan seorang perawat datang menghampiri. “Mari Bapak, istri dan bayinya sudah bisa dijenguk. Seluruh proses persalinan sudah selesai. Tapi masuknya maksimal dua orang ya,” ucap seorang perawat berjilbab berpakaian putih dengan aksen garis hijau di bagian pinggir pakaian dinasnya. “Baik, Sus.Terima kasih,” ucap Husin, disusul anggukan seluruh keluarganya. Mereka pun bergegas menuju kamar perawatan yang hanya berjarak beberapa kamar dari tempat mereka menunggu. *** Sebulan berlalu. Harti dan Husin sangat menikmati waktu-waktu bersama merawat putri mereka yang masih sangat kecil. Terkadang beberapa saudara datang untuk mampir dan membawakan beberapa makanan kecil sambil melihat keadaan sang putri kecil. Rosiana, nama putri kecil itu. Rosi saat itu masih sering dibedong, dan itu memberikannya kehangatan dan ketenangan untuk bisa terus tidur maksimal setiap harinya. Dan Harti jelas bisa mengerjakan urusan dapur layaknya ibu rumah tangga lainnya. “Bu, aku berangkat ya. Nanti pulang kayak biasa, jam 11 selesai piket. Mudahan gak kelamaan di jalan,” ujar Husin sambil berpamitan pada Harti dan tak lupa mengecup dahi Rosi yang masih terpejam. “Iya, jangan mampir-mampir. Tau sendiri di sini tuh agak-agak.” Harti selalu khawatir ketika sang suami dinas hingga larut malam. “Iya, nggak akan mampir-mampir," jawab Husin sambil menyodorkan tangannya. Harti menyambut sambil mencium punggung tangan suaminya. Husin yang sudah berpakaian sekuriti lengkap berlapis jaket pun akhirnya pergi. Suara vespa yang seperti kaleng akhirnya menjauh dari rumah dan perlahan menghilang. Kini hanya tinggal Harti dan Rosi. Ada kecemasan di dalam hatinya, pikiran-pikiran berkecamuk jika ia memikirkan bahwa akan pergantian gelap dan terang hanya berdua. Lingkungan gang tempat mereka tinggal memang padat penduduk, guyub dan saling bantu. Namun ketika selepas isya, maka hampir semua orang akan masuk ke dalam rumah untuk beristirahat, menonton drama Oshin, atau mungkin bersiap menonton Friday The Thirteen. Saat itu akses informasi mereka sangat terbatas, bahkan tv berwarna adalah barang mewah yang tak dimiliki masyarakat kebanyakan, terutama kelas menengah ke bawah. Mayoritas dari mereka hanya memiliki tv tabung hitam-putih dengan cover seperti flipping door pada ruko sebagai penutup layar. Rangka tv rata-rata dari kayu dengan kenop dan bingkai layar dari besi. Juga pada kaki-kakinya. Harti memutuskan untuk menyulam kain dengan motif bunga, ditemani suara tv yang sedang menyiarkan Berita Malam di TVRI. Rosi sedang tidur dengan dibekali beberapa benda tajam sebagai penjagaan. Gunting kecil, jarum, bulu landak, juga bawang tunggal dibungkus dan diletakkan di atas kepala dekat si bayi. Sebuah kepercayaan masyarakat yang katanya bisa membantu menjaga sang bayi dari roh dan hal-hal jahat. Meskipun bukan orang Kalimantan asli, Harti mengikuti adat dan kepercayaan setempat sebagai cara untuk menghormati budaya. Karena seperti yang banyak diketahui, Kalimantan merupakan tanah dengan budaya lokal yang kuat. Ditambah, info dan kabar-kabar tentang keberadaan kuyang memang santer terdengar. Karena itu, ia mengikuti saran-saran dari para tetangga dan menyediakan benda-benda penjaga untuk Rosi. …. Kondisi ruangan menghangat, padahal di luar malam cukup dingin. Harti memandang jam dinding untuk memastikan berapa lama lagi ia harus menunggu sang suami pulang dari piketnya. Pukul sembilan malam, keadaan di luar rumah sudah benar-benar sepi dan hampir tidak ada suara. Hanya ada suara jangkrik dan kodok bersahutan lirih dari seberang rumah. Tanah rawa yang ditumbuhi beberapa tanaman liar. Harti menyesap teh hangatnya, lalu meletakkannya kembali ke atas meja Oshin sambil sesekali melirik Rosi yang masih tertidur tenang. Memang, hampir semua orang memiliki meja kayu bundar seperti yang biasa dilihat di drama Oshin. Karena memang drama itu sangat populer saat itu. Drama Jepang berlatar era Meiji yang cukup sedih. Entah, namun rasa gugup dan tidak tenang berkecamuk di dalam dirinya. Rasa khawatir yang selalu ia rasakan jika sang suami piket dan pulang tengah malam. Dan seketika keadaan mendadak hening. Bersamaan, suara kodok dan jangkrik menghilang. Suasana di luar rumah menjadi hening total, hanya tersisa lirih suara tv, denting jam dinding, dan detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang tanpa sebab. Harti meletakkan perlengkapan menyulamnya, dan segera menghampiri Rosi yang sedang tertidur. Didekapnya putri kecilnya itu sambil merapal doa. Ia sadar, keadaan sedang tidak baik-baik saja. Dan tiba-tiba, suara-suara langkah terdengar di atas atap. Suara serupa pijakan kaki pada seng yang menyebabkan bunyi. Juga suara-suara deheman yang mulai terdengar dari pojok rumah. Tepat di sebelah tanaman pandan. Setelah suara dehem menghilang, maka berganti suara kecipak air kotor di bawah kolong rumah. Seperti suara bebek yang sedang mencari makan di rawa dan kubangan. Suara itu seolah berjalan dari depan menuju belakang rumah dan menghilang. Digantikan derak seng yang seperti diinjak. Sementara tak akan mungkin ada orang yang bisa berjalan di atas atap karena kemiringan atap yang cukup curam. Siklus itu terus berlangsung selama kurang lebih setengah jam. Tak ada jalan keluar, tak ada kemampuan untuk berteriak dan meminta tolong pada tetangga yang hanya bersekat dinding kayu. Harti tercekat dan suaranya tertahan hingga pangkal rongga mulutnya. Harti mulai panik, hanya ada ia berdua di rumah itu. Suara-suara aneh lain juga terdengar bergantian. Seolah ada yang sedang sengaja mengelilingi rumah. Bukan, bukan berkeliling. Seolah ada sosok yang berdehem di pojok depan rumah, memasuki kolong rumah, dan kembali naik ke atap. Harti tak tahu apa yang sedang mengitari rumahnya. Yang ia tahu dan ia kenali adalah suara deheman yang tak lagi asing di telinganya. Deheman seperti seorang perempuan tua, dan suara itu baginya sangat mirip dengan suara seseorang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD