3. Termakan Ego

1017 Words
Kalimantan, 1993 “Mbak, aku turu kono ya, soale iki malem Minggu. Sesok kerjone awan,” cetus Roni yang merupakan adik Harti ketika Harti dan Husin sedang mampir ke tempat kerja Roni yang merupakan toko elektronik di area komplek perbelanjaan Prima Niaga. -Mbak, aku ikut nginap di sana ya, soalnya ini kan malam Minggu. Besok masuk kerjanya siang. Harti hanya mengangguk dan tak banyak bicara, begitu pula dengan Husin. Mereka hanya ingin berjalan-jalan sambil ingin makan bakso di area itu. Yang mana area itu terdiri dari toko-toko elektronik, pakaian, pusat perbelanjaan dan area lapangan untuk pagelaran dan biasanya dijadikan tempat penyewaan sepeda anak-anak. Tahun 1993, belum banyak pilihan tempat untuk jalan-jalan. Prima Niaga adalah tempat yang bisa dibilang murah, banyak pilihan dan cukup populer. Hanya saja memang kebanyakan diisi oleh deretan ruko. “Pak, Mbak dapet telegram, katanya si Mbok sakit. Kayaknya kita mesti pulang ke Jawa, sekalian jemput Akmal," ucap Harti disela-sela menyesap segelas es kelapa muda. “Kalo memang sampe dapet telegram, berarti emang penting. Aku masih ada tabungan beberapa ratus ribu kalo memang mau dipakai buat pulang ke Jawa," jawab Husin sambil mengunyah bakso. “Ya udah, nanti biar tak kasih tau dulu si Roni. Siapa tau dia mau nginep di rumah," ujar Harti sambil menimang Rosi di dekapannya. “Tapi aku gak bisa lama, mungkin beberapa hari terus pulang duluan. Nanti balik bisa adek aja, suruh tinggal di rumah sementara. Itupun kalo memang mau ikut." “Ya udah ndak apa-apa, yang penting ak pulang dulu. Mau rawat si Mbok, soalnya sudah terlalu tua.” Suaminya pun mengangguk. Sebagai seorang sekuriti yang bergaji 70 ribu per bulan, memiliki simpanan beberapa ratus ribu adalah sebuah berkah yang besar. Karena beruntungnya biaya persalinan dijamin oleh tempat kerja Husin. Mereka bertiga akhirnya menyelesaikan makan bakso bergantian. Karena memang harus ada yang menggendong Rosi sembari salah satu dari mereka makan. Menjelang jam sembilan malam, mereka pulang dengan berbonceng vespa. Jalanan malam itu masih bisa dibilang ramai, lampu kuning di sepanjang tepian sungai menyinari jalan. Beberapa bagian menjadi remang karena cahaya terhalang rindangnya pohon besar. Dari kejauhan, mereka melihat sebuah rumah bagus yang tergolong mewah tepat di tepi sungai. Rumah itu bersebelahan langsung dengan SPBU. Asri, bagus namun terlihat seram meskipun bangunannya cukup terawat. Rumah itu menghadap ke jalan, di halaman sampingnya ada sebuah pohon beringin tua yang sangat besar dan rindang. Kabar mengatakan, dahulu presiden pertama pernah tinggal dan menginap. Dan rumor mengatakan bahwa di bawah rumah itu ada terowongan rahasia yang menghubungkan rumah dengan bangunan di seberang jalan, di atas bukit. Tentu saja belum ada bukti konkrit mengenai terowongan yang dirumorkan. Namun banyak orang yang mengamini bahwasanya sang proklamator pernah tinggal dan menginap di rumah itu. Hampir satu jam, akhirnya mereka berdua memecah keheningan gang sempit tempat mereka tinggal dengan cemprengnya suara knalpot vespa tua. Maklum, vespa memang sedang menjadi kendaraan yang sangat digandrungi. Kebetulan ini adalah malam Minggu. Husin hanya bekerja sampai hari Jumat, sehingga ia bisa berakhir pekan dengan Harti seperti sebelumnya. Dan kemungkinan besar, Roni juga akan datang sekitar pukul sepuluh lewat selepas kerja. Mereka memasuki rumah dengan tak lupa mengucap salam. Memang sudah kebiasaan, ada atau tidak ada orang di dalam bangunanumah pasti tetap mengucap salam. Meskipun sebenarnya akan menakutkan jika ada yang menjawab, padahal rumah sudah dipastikan kosong. Sebenarnya rumah mereka hanya terdiri dari dua ruangan yang bersekat. Ruang tamu/tv dan kamar tidur hanya disekat dua lemari yang dijejer bersampingan dan dapur ada di sekat yang lain. Memang sebenarnya kontrakan bangsal ini masih jauh dari kata layak. Apalagi jika ada Akmal yang berumur lima tahun sedang aktifnya bermain. Mereka berdua akhirnya berbincang sambil menidurkan Rosi yang setengah terbangun karena gelegar suara vespa. Televisi hitam-putih yang sudah mulai usang menampilkan MacGyver yang konon bisa membuat alat-alat canggih dari barang seadanya. Meskipun terkesan mustahil dan tak masuk akal, namun tetap saja itu merupakan tontonan yang menarik. Selain Friday The Thirteen yang tayang pukul 11 malam setiap malam Jumat. Husin menonton sambil bersandar dinding plywood. Dinding yang berbatasan langsung dengan kontrakan sebelah. Sementara Harti menepuk-nepuk paha Rosi sambil menyusui. Mereka berbincang pelan hingga akhirnya suara ketukan terdengar. Roni sudah selesai bekerja dan menginap seperti biasanya. Husin membukakan pintu dan menyuruh Roni segera masuk. Sebelumnya ia melongo ke luar pintu dan menoleh kiri dan kanan. Takut ada tetangga yang terganggu. Di tangan Roni, ada sekresek terang bulan isi kacang. “Ron, aku intuk telegram teko njowo, jarene mbok loro. Dadine aku arep muleh, nak iso kowe ra usah turu kene dewean. Soale ngarep omah nek bengi onok mbah-mbah sing ngguyu cekikikan, " ujar Harti sambil menyodorkan piring yang baru saja diambilnya dari dapur. - “Ron, aku dapat telegram dari Jawa, katanya si Mbok sakit. Jadinya aku mau pulang, kalo bisa kamu gak usah nginep di sini sendirian. Soalnya di depan rumah kalau malam ada nenek-nenek ketawa cekikikan,” “Halah, mosok?! Ngapusi, sing koyok ngono iku ra ono. Wes ah, ak ben turu kene ae pas sampeyan muleh," Roni menyambar dengan nada meremehkan dan sok berani. - “Halah, masa sih?! Bohong aja, yang begitu itu nggak ada. Dah lah, aku biar nginap di sini aja pas sampeyan pulang kampung.” “Sing penting ak wis ngomong lho yoo. Ra nanggung nek awakmu ditekani. Soale pas meteng Rosi, yen bengi mesti ono sing ngguyu nang ngarep omah," Harti malas dengan sikap adiknya yang satu ini memang suka sok berani. - “Yang penting aku sudah bilang loh, ya. Nggak tanggung jawab pokoknya kalo sampe kamu didatangi. Soalnya pas hamil Rosi, tiap malam pasti ada yang ketawa di depan rumah.” Mereka bertiga akhirnya makan terang bulan bersama hingga hidangan benar-benar tandas. Lalu Harti memutuskan untuk tidur bersama Rosi. Sementara Husin dan Roni masih mengobrol lirih sambil menonton MacGyver. Hingga beberapa waktu kemudian, Husin menyusul istrinya dan tinggallah Roni sendirian menonton sambil minum kopi. Ia hanya tidur beralaskan karpet seadanya sambil berselimutkan sarung yang bau apeknya tidak karuan. Beberapa saat setelah ditinggal sendirian, ia merasa kantuknya sudah menggantungi pelupuk kedua matanya. Maksud hati Roni ingin membuktikan perkataan sang kakak, namun tak ada tanda sama sekali. Sehingga akhirnya ia memutuskan untuk bergegas tidur berselimutkan sarung apek. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD