4 | Daddy Liam Duda

1164 Words
Sudah seminggu ini Sasi tidak ada kegiatan. Makan, maskeran, menonton televisi lalu tidur. Siklus itu berulang-ulang sampai membuat Sasi bosan dan muak sendiri. Rasanya pikiran Sasi mumet dan ingin disegarkan dengan belanja dan memanjakan diri. Tetapi, apalah daya itu hanya angan-angan saja. Karena isi dompet tidak mendukung.Tas Sasi sudah banyak berkurang karena terus-terusan dijual, sementara email panggilan interview kerja sama sekali tidak pernah masuk. Niat untuk meminta maaf dengan nyonya tua rasanya maju mundur, Sasi ogah sekaligus bingung. Prinsip Sasi, kalau Sasi tidak salah maka Sasi tidak akan pernah mau meminta maaf. Tapi, ini ... kondisi Sasi terjepit. Yudistira pun tidak ada kabarnya lagi. Mungkin saat ingat Sasi adalah perempuan penggoda, Yudistira mundur dengan keinginannya. Huh, kenapa, sih, pria tampan, mapan dan rupawan selalu sudah ada pawangnya? Kenapa tidak menyisakan satu untuk Sasi? Jam menunjukkan pukul sepuluh, dengan ogah-ogahan Sasi bangkit dari rebahannya lalu menuju dapur untuk melihat apa saja yang bisa dimakan di sana. Sayangnya, kosong. Mie instan, roti, telur dan lain-lain semuanya habis tak menyisakan satu pun. Sasi menghela napas panjang, nyaris meringis melihat kengerian yang ada di dapur kontrakannya. Langkah Sasi terkesan lunglai begitu kembali dari dapur. Sasi mengambil dompetnya yang terletak di atas meja, kemudian membukanya. Kekehan Sasi keluar, bahkan Sasi terbahak-bahak. Selucu ini kondisi hidupnya saat ini. Satu lembar dua puluh ribu terakhir di dalam dompet segera Sasi ambil. Kemudian Sasi mengambil cardigannya untuk menutupi tanktop, lalu Sasi mencepol rambutnya asal dan langsung keluar dari rumah. Niatnya mau membeli bubur untuk mengisi perut, tapi melihat penjual buburnya tidak berjualan hari ini, Sasi langsung putar langkah menuju mini market terdekat. Seperti biasa, suara ribut anak-anak TK yang bersiap akan pulang meramaikan suasana. Sasi sudah akrab dengan situasi ini, kadang Sasi ikut ceria melihat mereka dan lebih banyak bosan karena bising yang ditimbulkan. Sasi mengambil roti rasa vanila dan juga jus botolan. Setelah membayar di kasir, Sasi langsung keluar dan menempati bangku yang tersedia di sana. Baru saja Sasi akan membuka bungkus roti, suara panggilan khas anak kecil membuat Sasi mengurungkan niatnya. “Tante Sasi!” Liam berlari-lari kecil kemudian mengambil tempat duduk di seberang Sasi. “Tante Sasi kenapa tidak terlihat beberapa hari ini? Aku selalu melihat-lihat di sini dan mencari Tante Sasi.” “Memangnya buat apa?” tanya Sasi malas, kemudian lanjut membuka bungkus dan mengunyah rotinya. “Kamu jangan sok akrab gitu. Takutnya aku dituduh mau nyulik lagi.” “Enggak, enggak! Sudah aku suruh daddy menasihati ibu guru.” Terdengar gerutuan Liam. “Tante, gimana, sih, cara menghadapi orang dewasa yang keras kepala?” “Tanya sama mamamu sana. Aku juga tidak tau.” Dengan sekali putar, Sasi membuka tutup botol lalu meminum jusnya. Mata Sasi melirik pada Liam, kemudian mencoba menawarkan, “Kamu mau?” “Terima kasih, tapi aku tidak diperbolehkan meminum minuman yang ada pengawetnya. Daddy akan memarahiku.” “Hidupmu terlalu membosankan.” “Memang, tapi aku menyukainya. Aku menyayangi daddy jadi aku menurut semua yang disuruhnya.” “Bagaimana dengan mommy-mu?” “Aku menyayanginya tapi dia jarang di sini.” “Kenapa?” Liam mengangkat bahunya kemudian membuang pandangan ke arah lain. “Mereka bercerai. Aku tahu kalau aku masih anak kecil, tapi aku mengambil kesimpulan dari apa yang kulihat. Sepertinya bercerai itu memisahkan dad dan mom. Mereka tidak bertemu satu sama lain lagi, kalau bertemu pun paling mengobrol sebentar. Mom hanya mau menghabiskan waktu denganku saat dia di Indonesia, tidak mau menghabiskan waktu dengan daddy.” Sasi terdiam dengan tatapan terpaku pada Liam. Rupanya ... anak ini sama sepertinya, tumbuh dari keluarga broken home. Tapi, Liam termasuk beruntung karena Liam bersama dengan ayahnya, sementara Sasi kecil hanya dibesarkan oleh kakek dan neneknya. “Tapi aku salut, untuk ukuran anak kecil, kamu tumbuh dengan baik dan dewasa.” Beberapa saat Sasi terdiam, kemudian langsung melotot kaget. “Berarti, sekarang ayahmu duda?!” “Hah, duda? Apa itu, Tante?” Langsung dikibaskan Sasi tangannya kemudian Sasi tersenyum sumringah. “Liam, kamu mau berteman denganku?” Mata Liam langsung memicing. “Aku pernah menawarkan hal serupa, tapi Tante menolakku. Sekarang kenapa berubah pikiran? Apa yang membuat Tante berubah pikiran?” “Eh, tidak ada,” jawab Sasi cengar-cengir. “Oh, lihat, itu gurumu, bukan?” tunjuk Sasi pada perempuan yang menoleh ke sana kemari dengan wajah kesal, seolah sedang mencari sesuatu. “Sepertinya dia kehilangan anak murid kesayangannya lagi. Gimana bisa, sih, sampai dua kali kecolongan?” “Dia itu pembohong. Kelihatannya saja perhatian, tapi aslinya menyebalkan dan sering memarahiku. Katanya aku anak yang bandel dan susah diatur.” “Lha, terus yang dia omongin di depan ayahmu itu apa?” “Pencitraan, mungkin. Untuk menarik daddy.” “Daddy kamu emang menggoda, sih.” Sasi mengangguk-angguk atas jawabannya. “Eh, samperin, gih.” “Tidak. Tante mau menemaniku menunggu daddy di sini?” “Mau. Tentu saja mau,” jawab Sasi cepat. “Gimana kalau kamu ke rumahku saja. Tapi, bilang dulu sama gurumu. Supaya dia tidak menuduh-nuduh aku nyulik kamu lagi. Mana tatapannya nggak banget, pengen kujambak rambutnya.” “Okay, Tante. Tunggu aku di sini, ya.” Liam langsung berdiri, kemudian berlari untuk menghampiri gurunya. Sasi melihat dari kejauhan sambil bertopang dagu, dapat Sasi lihat sendiri kalau gurunya Liam melemparkan tatapan sinis dan penuh permusuhan padanya, tapi Sasi tak ambil pusing. Beberapa menit kemudian, Liam kembali dan tersenyum lebar. “Ayo, Tante. Dia percaya dengan apa yang kukatakan, kalau Tante itu teman daddyku.” “Hm, bagus.” Sasi bangkit lalu menepuk-nepuk puncak kepala Liam. “Mari menunggu daddymu di rumahku.” *** Yudistira mendapat telepon dari nomor Sasi saat menghentikan mobil di dekat sekolah Liam. Ditekan Yudistira tombol terima lalu membawa ponsel ke kupingnya. “Halo,” sapa Yudistira. “Ada apa?” “Oh, hai, saya Sasi. Hanya ingin memberitahu saja, Liam ada di rumah saya sekarang. Kalau Anda ingin menjemput, sebaiknya jemputnya di rumah saya. Masih ingat ‘kan di mana tempatnya?” “Kenapa anak itu ada di tempat Anda?” tanya Yudistira menyelidik. “Emmm ... kebetulan kami bertemu di tempat yang dulu, jadi saya ajak saja dia ke tempat saya.” Terdengar embusan napas beberapa saat sebelum kemudian dilanjutkan, “Liam-nya tertidur. Saya harap Anda cepat ke sini.” Setelah itu sambungan telepon diputuskan. Yudistira memandangi layar ponselnya beberapa saat lalu meletakkannya di dashboard. Beruntung sabuk pengaman belum dilepas, sehingga Yudistira langsung menyalakan mesin mobil kemudian memutarnya ke arah yang sebaliknya. Rumah Sasi tidak terlalu jauh dengan sekolah Liam, hanya saja rumah Sasi ini letaknya masuk ke jalan yang lebih kecil. Yudistira memilih memarkirkan mobilnya tepat di samping perkomplekan, juga menitipkan pada sekuriti untuk masalah keamanan. Yudistira memberi satu lembar seratus ribu lalu berjalan kaki untuk masuk ke dalam komplek. Cukup satu kali Yudistira ke sini dan kaca mobil lengkap dengan spionnya dirusak, tidak untuk kedua kalinya. Saat hampir di depan rumah Sasi, Yudistira langsung menghubungi nomor Sasi lagi kemudian menunggu beberapa saat. “Saya di depan,” kata Yudistira langsung setelah panggilan diterima. “Bukakan pintu, nanti saya akan membawa Liam langsung. Maaf merepotkan.” Namun alih-alih mendapat jawaban, Yudistira justru menemukan pintu rumah dibuka dan Sasi muncul di sana dengan celana pendek sepaha, juga tank top hitam yang menonjolkan d**a dan kulit putih Sasi yang mulus. “Hai. Liam di kamar saya,” jawab Sasi tersenyum. “Tadi kami banyak mengobrol dan rupanya itu membuat Liam mengantuk.” “Maaf merepotkan Anda.” Yudistira mengangguk sekali. “Liam biasanya tidak pernah mau dekat dengan orang asing. Entah kenapa anak itu berbeda dengan Anda.” “Selera Liam bagus. Silahkan masuk,” ujar Sasi. Saat Sasi berjalan, barulah Yudistira mau mengikuti. Perempuan itu tepat di depan Yudistira. Caranya berjalan luar biasa mengundang kaum adam, belum lagi tank top yang terlalu pendek, sehingga saat Sasi bergerak maka kulit bagian pinggul mengintip malu-malu. Yudistira diam-diam menghela napas. Yang seperti ini menjadi nanny anaknya? Apa jadinya rumah mereka nanti? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD